Selama ini, Arya Penangsang didongengkan berseteru dengan Joko Tingkir. Namun fakta menyebut, keduanya menjadi pilar peradaban Islam Jipang Padangan. Di sini terdapat “anomali” yang menarik untuk dipertanyakan: benarkah keduanya berperang?
Catatan paling tua membahas konflik Joko Tingkir (Pajang) dan Arya Penangsang (Jipang), bersumber dari karya penulis Belanda bernama Johannes Jacobus Meinsma, berjudul prosa Babad Tanah Jawa (1874 M). Karya ini menghimpun cerita dengan mengambil nama Para Wali dan tokoh nyata pada zamannya. Namun, ditulis dengan peran yang tak semestinya.
Baca Juga: Serat Nitisruti, Pusaka Kesultanan Pajang
Meski berasal dari Belanda, JJ Meinsma bisa menulis Babad Tanah Jawa karena mencontoh dari Babad sebelumnya. Yaitu Babad Carik Adilangu yang dibuat atas perintah Sunan Pakubuwana I (1722 M), dan Babad Carik Tirtowiguno yang dibuat atas perintah Sunan Pakubuwana III (1788 M). Dari referensi itu, JJ Meinsma memodifikasi cerita baru yang dikenal dengan Babad Tanah Jawa(1874 M) versi prosa.

Karya JJ Meinsma inilah, yang kelak populer di Pulau Jawa. Sebab, keberadaannya dikampanyekan melalui lakon kesenian Ketoprak. Selain itu, karya J.J Meinsma ini kian populer karena dijadikan sumber referensi untuk Babad-babad lain yang dibikin setelahnya, seperti misal Babad Kediri (1932 M) dan lainnya.
Dr. G.A.J. Hazeu dan Dr. Th. G. Th. Pigeaud, menyatakan Babad Tanah Jawa bukan karya ilmiah, tapi sastra pujangga. Menurut dua ahli sejarah Belanda itu, Babad Tanah Jawa tak bisa dipercaya karena bercampur pakem dongeng. Kisah leluhur para raja yang lahir dari rahim makhluk halus, tentu sebuah pakem pewayangan.
Secara konstruksi cerita, karakter tokoh dalam Babad Tanah Jawa seperti diambil berdasar wuku “Pawukon” Jawa. Sementara alur ceritanya disesuaikan kitab “Al Bulhan” dari Baghdad. Sebuah metode penulisan sastra berbasis pencangkokan momentum. Hazeu dan Pigeaud menyebut, Babad Tanah Jawa lemah untuk pijakan ilmiah, karena berbasis pakem wayang.
JJ Meinsma (1833 – 1886 M) menulis kisah Babad Tanah Jawa, selang 300 tahun dari masa hidup Arya Penangsang. Artinya, jarak 3 abad tentu sangat cukup untuk mengarang karakter tokoh sekaligus mengglorifikasi konflik kecil menjadi dramaturgi dongeng peperangan yang maha dahsyat.
Dari Babad Tanah Jawa (1874 M) ini, Jawa pada abad 16 M terkesan sangat tidak ilmiah. Sebab, JJ Meinsma menulis para “Brahmana Islam” seperti Arya Penangsang (Jipang), Joko Tingkir (Pajang), Sunan Kudus, hingga Sunan Kalijaga dengan karakter yang politis dan tak semestinya. Padahal jika melihat Serat Nitisruti (1591 M), Kesultanan Pajang merupakan masa puncak ilmu pengetahuan.
Karangan JJ Meinsma, sesungguhnya bisa dikonfirmasi Manuskrip Padangan. Setengah abad sebelum JJ Meinsma mengarang Babad Tanah Jawa (1874 M), Sidi Abdurrohman Alfadangi sudah menulis karya ilmiah Manuskrip Padangan (1820 M). Naskah yang di antaranya membahas keluarga Kesultanan Pajang itu, menunjukan data bertolak belakang.
Manuskrip Padangan menyebut, para dzuriyah Kesultanan Pajang justru muncul, tumbuh, dan hidup secara baik di Bumi Jipang. Lembaran yang membahas keluarga Kesultanan Pajang, kerap disegel dengan frasa berbunyi “Biladi Jipang” Padangan, yang seolah menunjukan persaudaraan antara Jipang dan Pajang.
Bani Kesultanan Pajang justru muncul dari Jipang. Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Jojogan, muncul dari Jipang. Mbah Ageng Mruwut, Mbah Kohar Blora, hingga Mbah Mutamakkin juga demikian. Jipang pada abad 16 M meliputi Bojonegoro, separuh Blora, hingga Tuban Selatan, termasuk Rengel dan Singgahan.

Bumi Jipang punya makna penting bagi pondasi Kesultanan Pajang. Leluhur jalur lelaki Sultan Hadiwijaya adalah Syekh Jumadil Kubro (Mbah Jimatdil), figur pembangun peradaban Islam abad 14 M yang berpusat di Gunung Jali Jipang. Artinya, Kesultanan Pajang dan Bumi Jipang memang tak terpisahkan.
Penggunaan istilah “Biladi Jipang” juga bukti bahwa Jipang sangat islami. Figur-figur pemimpin Jipang, tentu punya tingkat keislaman tinggi. Ini bukti bahwa Arya Penangsang figur Brahmana Islam dan Waliyul Amri, tokoh yang lahir dari keluarga ulama, dan tumbuh dididik Para Wali. Karakter Arya Penangsang tentu tak seperti karangan JJ Meinsma.
Secara tidak langsung, Manuskrip Padangan menunjukan bahwa Jipang dan Pajang justru punya hubungan baik. Buktinya, Manuskrip Padangan tak sedikitpun membahas peperangan antara Arya Penangsang dan Joko Tingkir. Padahal, ia ditulis 54 tahun sebelum JJ Meinsma mengarang Babad Tanah Jawa.
Energi Kesultanan Pajang
KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) mengatakan, Kesultanan Pajang merupakan kerajaan yang berusaha dilupakan. Bahkan, sisa dan bekasnya pun dihilangkan. Tak ada sisa berupa benda atau bangunan kuno. Namun, energi dan esensi Kesultanan Pajang selalu hidup sebagai bagian dari kekuatan besar peradaban Islam Al Jawi.
Gus Dur menegaskan, Keluarga Pajang memang disingkirkan. Namun, energinya tetap hidup secara konstan, untuk membangun kekuatan dari luar keraton. Mereka membangun peradaban melalui pesantren dan lembaga tarbiyah Islamiyah. Bahkan menurut Gus Dur, energi Pajang menjadi inspirasi lahirnya Non Government Organization (NGO) di Indonesia.

Penulis Atlas Wali Songo, KH Agus Sunyoto mengatakan, keturunan Pajang mengalami nasib memilukan. Rezim Amangkurat menghancurkan semua berbau Kesultanan Pajang, baik benda, hak hidup, ataupun semua keturunannya. Inilah zaman ketika nama berbau Arab mulai diganti, dalam rangka penyamaran.
Menurut Agus Sunyoto, Keluarga Pajang hidup dalam buruan Rezim Amangkurat selama berlapis zaman. Mulai zaman Sunan Amangkurat I (berkuasa 1646-1677 M), Amangkurat II (1677 – 1703 M), Amangkurat III (1703 – 1705 M), hingga Sunan Pakubuwana I (1704 – 1719 M). Di zaman itulah, Keluarga Pajang hidup dalam persembunyian.
KH Mustofa Bisri dan KH Yahya Staquf dalam sebuah perbincangan mengatakan, Rezim Amangkurat merupakan zaman ketika banyak manuskrip dan catatan, beserta simbol-simbol huruf Al Jawi dihancurkan. Bahkan, wajah berbau Arab juga diburu karena dikaitkan dengan eksistensi Kesultanan Pajang.
Filolog Islam Nusantara, KH Ahmad Baso, mengutip Babad Sengkala (1742 M) menceritakan bagaimana Sunan Pakubuwana I mengeksekusi para sayyid. Sunan Pakubuwana I memburu dan mengincar para sayyid dan dzuriyah Kesultanan Pajang, karena tak sejalan dengan kepentingan politiknya.
Selain memburu Kesultanan Pajang, rezim Pakubuwana I hingga Pakubuwana III juga rajin membangun propaganda melalui karya tulis. Babad Carik Adilangu (1722 M), pertamakali muncul pada zaman Pakubuwana I. Dari sinilah, penulis Belanda bernama JJ Meinsma itu kelak menghimpun dan membuat Babad Tanah Jawa versi prosa (1874 M).
Data-data di atas, sesuai dengan sumber lokal yang menyebut bahwa konflik yang sesungguhnya pernah terjadi, adalah dzuriyah Kesultanan Pajang dengan Rezim Amangkurat. Bukan antara Jipang dan Pajang, tapi antara dzuriyah Kesultanan Pajang dan Rezim Amangkurat.
Mayoritas keturunan Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Jojogan menentang Amangkurat dan Belanda. Keturunan dari ketiga tokoh di atas, dikenal tak bisa berkompromi dengan Amangkurat. Mbah Mutamakkin Kajen juga masyhur melawan Amangkurat IV dan Sunan Pakubuwono II.
Benteng Jipang Padangan
Jipang Padangan, dikenal wilayah paling sulit ditaklukan Rezim Amangkurat. Baik dari sisi politik maupun kebudayaannya. Di Jipang Padangan, terdapat sejumlah tempat dikenal dengan istilah Kedhung Kramat, tanah penghakiman bagi Rezim Amangkurat. Tanah pemangsa apapun yang berbau aristokrasi Keraton Amangkurat.
Baca Juga: Kedhung Kramat, Tanah yang Mengincar Rezim Amangkurat
Kedhung Kramat dikenal sebagai tempat yang mengincar kepala Londo Jowo. Hikayat Kedhung Kramat, sudah jadi rahasia umum bagi mayoritas masyarakat Padangan. Bahkan, menjadi konsensus para ulama yang hidup di Padangan secara turun temurun, dari zaman ke zaman.
Kedhung Kramat tanah yang disabda Para Masyayikh Padangan, sebagai respon atas kejamnya aristokrasi Rezim Amangkurat. Kedhung Kramat seolah “dirajah” secara khusus untuk mengincar kepala Londo Jowo Rezim Amangkurat. Ia dikenal sebagai “pengapesan” Rezim Amangkurat.
Pada perang-perang setelahnya, termasuk Perang Jawa (1825 – 1830) maupun Perang Revolusi (1945 – 1949), banyak Para Pejuang yang mengambil “sarat” berupa serpihan tanah dari wilayah Kedhung Kramat. Mereka membawa segenggam tanah dari tempat itu, sebagai azimat dan rajah untuk melumpuhkan penjajah.
Mungkin benar jika sabda tak mengenal kata oknum dan kuota, sampai saat ini pun, titik-titik Kedhung Kramat dikenal sebagai tempat yang sangat dijauhi aristokrat dan para birokrat. Sebab, kala itu, para aristokrat sangat identik berafiliasi dengan Londo Jowo Rezim Amangkurat.
Hipotesa Konsklusif
Istilah “Biladi Jipang” Padangan ditulis Mbah Abdurrohman Alfadangi pada 1820 M. Sementara JJ Meinsma menulis Babad Tanah Jawa pada 1874 M. Keduanya sama-sama ditulis sekitar 300 tahun dari masa pemerintahan Kesultanan Pajang. Justru, Manuskrip Padangan 54 tahun lebih tua dibanding tulisan JJ Meinsma.
Artinya, 54 tahun sebelum JJ Meinsma menulis Babad Tanah Jawa, kemungkinan besar belum ada dongeng perang antara Arya Penangsang dan Joko Tingkir. Jipang dan Pajang, bisa jadi hanyalah objek “devide at impera” yang dilakukan Londo Jowo Amangkurat melalui pakem wayang.
Sampai saat ini pun, masyarakat Padangan tak percaya dongeng perang antara Arya Penangsang dan Joko Tingkir. Mayoritas masyarakat Padangan lebih meyakini bahwa Arya Penangsang figur Waliyul Amri, figur pemimpin yang lahir dari keluarga ulama, dan dididik Para Wali.
Manuskrip Padangan (1820) menyebut Jipang dengan istilah BiladiNur. Dan menyebut Padangan dengan istilah FiddariNur. Konsep “cahaya” di atas, tentu bisa dimaknai sebagai semiotika petunjuk bagi “penggelapan” sejarah yang pernah dibuat oleh JJ Meinsma dan Rezim Amangkurat Belanda.
Pegon Padangan menulis kata “Jipang” dan “Pajang” dengan susunan جيفغ dan فجاغ yang menunjukan JIPANG dan PAJANG sebagai satu kesatuan Japa (doa). Jipang dan Pajang dua entitas yang tak terpisahkan. Jim kasroh dan Jim fathah yang berperan sebagai botol dan tutup peradaban Islam al Jawi abad 16 M.