Kemenkes menyatakan 7 dari 10 sumber air rumah tangga di Indonesia tercemar limbah tinja. Jangan-jangan yang kita konsumsi adalah hehe
Masyarakat Indonesia harus lebih awas mengenai kebersihan lingkungan. Khususnya terhadap emas kuning di perairan. Hmm ~
Berdasar studi terbaru yang diadakan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 2020, menyatakan hampir 7 dari 10 sumber air rumah tangga di Indonesia telah tercemar limbah tinja.
Pendapat lain disampaikan juga oleh UNICEF, bahwa 70 persen dari 20 ribu sumber air di Indonesia telah tercemar limbah tinja.
Berdasarkan data Bappenas tahun 2020 dikatakan bahwa capaian sanitasi aman di Indonesia baru mencapai 7 persen.
Yang artinya, presentase ini lebih rendah dari Thailand (26 persen) dan India (46 persen). Pencemaran sumber air ini menyebabkan berbagai macam penyakit, diantaranya adalah dapat menyebabkan gizi buruk dan diare yang merupakan salah satu penyebab kematian pada balita.
Selain masalah kesehatan, pencemaran sumber air di suatu negara juga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Spesialis air, Sanitasi dan Higenitas (WASH) UNICEF Indonesia, Marita Litya Sari menjelaskan bahwa sanitasi yang buruk akan memberikan kerugian sebesar 2,3 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) negara.
Maka dari itu, permasalahan ini sangat memperihatinkan dan tidak dapat dianggap remeh.
Salah satu akar permasalahan dari pencemaran sumber air di Indonesia adalah kesadaran masyarakat yang rendah mengenai pengelolaan tangki septik.
Tercatat kurang dari 8 persen rumah tangga di Indonesia yang rutin membersihkan tangki septiknya minimal satu kali dalam lima tahun.
Fakta yang mengejutkan ini menjadi suatu problematika yang harus diperhatikan. Pencemaran sumber air bukanlah suatu permasalahan sepele yang dapat diacuhkan. Pasalnya sumber air merupakan kebutuhan yang tidak bisa lepas dari masyarakat.
Robert gass menegaskan bahwa sanitasi yang tidak dapat dikelola dengan baik akan menyebabkan lemahnya daya tubuh anak yang mana akan menimbulkan dampak permanen hingga kematian.
Menyikapi masalah ini, UNICEF mengadakan kampanye secara daring bertajuk #DihantuiTai yang bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Indonesia mengenai sanitasi yang aman serta apa saja dampak bagi Kesehatan manusia dari pencemaran sumber air karena limbah tinja.
Kampanye tersebut akan memberikan pemahaman kepada masyarakat Indonesia bagaimana cara untuk memasang, menguras dan mengganti tangki septik yang harusnya dilakukan minimal tiga hingga lima tahun sekali.
Pemerintah sendiri telah mengambil sikap yang didukung oleh UNICEF dan beberapa mitra yang lain untuk menyusun peta jalan percepatan akses ke sanitasi yang dikelola secara aman.
Selain itu, pemerintah juga akan mengadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) pada bulan Mei nanti mengenai sanitasi dan air minum di Jakarta. Tujuan dari KTT ini adalah untuk mendiskusikan percepatan akses kepada air minum, sanitasi dan kebersihan yang nantinya akan diikuti oleh Menteri dari seluruh dunia, Mulai dari Menteri yang bertanggung jawab mengenai air, sanitasi, lingkungan hidup dan perekonomian.
Selain pemerintah, masyakarat juga harus ikut berkontribusi dalam permasalahan ini. Kesadaran masyarakat yang rendah mengenai Kesehatan menjadi salah satu faktor pencemaran air di lingkungan.
Masyarakat hendaknya mulai memperbaiki sarana toilet yang terhubung dengan tangki septik yang tertutup dan mengelola dengan baik serta menguras tangki septiknya setiap tiga hingga lima tahun sekali untuk mengurangi pencemaran air. Pemerintah setempat juga dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakatnya mengenai permasalahan pencemaran air karena limbah tinja dan apa saja dampaknya bagi Kesehatan.
Selain penyuluhan Pemerintah setempat juga dapat merencanakan kegiatan peduli lingkungan bersama dengan masyarakatnya sebagai langkah awal untuk memulai hidup yang lebih sehat.