Kebahagiaan bukanlah kata benda atau kata kerja. Dia adalah kata sambung. Jaringan penghubung — Eric Weiner
Untuk mendefinisikan kebahagiaan, memang sulit. Sebab ia berdiri secara nisbi. Apa yang orang bahagiakan, tidak serta merta bisa kita maknai sebagai kebahagiaan.
Sebaliknya, apa yang orang sedihkan, tidak serta merta pula menjadi sesuatu yang kita sedihkan. Tapi, kebahagiaan dan kesedihan memang semacam pasangan kekasih yang harus ada.
Berbahagia dan bersedih, memang tidak bisa dilepaskan dari sebuah proses mediasi bernama gerutuan. Sambatan. Keluhan. Meski, sambat-keluh-gerutu kerap berkonotasi pada sesuatu yang kurang mengenakkan. Alias me-nge-luh.
Nabs, 20 Maret yang diperingati sebagai Hari Kebahagiaan Internasional atau World Happiness Day, memang bisa dimaknai sebagai hari sambat-bahagia sedunia. Hari banyak orang mengungkapkan kebahagiaannya.
Ngomong-ngomong soal kebahagiaan, saya teringat sebuah buku berjudul The Geography of Bliss — Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan — karya seorang jurnalis bernama Eric Weiner.
Buku dengan tebal 569 halaman ini, memang mustahil dibaca sampai selesai jika tidak ditulis dengan gaya yang asyik, nakal dan penuh storytelling. Sehingga, meski tebal, ia tetap enak dibaca.
Buku ini memang non-fiksi yang lebih mirip dengan catatan perjalanan. Dalam buku ini, Weiner berkisah tentang perjalanannya berkeliling dunia demi mencari negara yang paling membahagiakan.
Weiner yang seorang jurnalis menggambarkan dirinya sebagai sosok kurang bahagia. Dari sana, muncul sikap menggerutu akan kehidupan. Dia penasaran akan apa sesungguhnya yang membikin orang merasa bahagia.
Saat seperti itulah, di titik kejenuhan yang membabi-buta, Weiner berpikiran ingin mencari tahu apa yang sebenarnya membuat seseorang bahagia.
Kenapa penduduk di suatu wilayah bisa lebih bahagia dibanding yang lain? apa uang membuat seseorang bahagia? ataukah keluarga? atau apa?
Dari gerutuan dan ketidakbahagiaan itu, Weiner memulai perjalanannya berkeliling ke sejumlah negara demi mencari bahagia. Lebih tepatnya, meneliti faktor apa yang membikin seseorang di sebuah negara itu bisa merasakan bahagia.
Nggak geme-geme, dia berkeliling ke- 10 negara yang mencakup kawasan Eropa, Timur Tengah, Skandinavia, Asia, hingga mbalik lagi ke Amerika — mulai dari Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia. Lalu Moldova Thailand, Britania Raya, India, hingga kembali lagi ke Amerika.
Di tiap negara yang dia singgahi, dia menemukan banyak fakta tentang kebahagiaan. Meski, tentu saja, masing-masing negara memaknai kebahagiaan secara berbeda. Weiner menuliskan perjalanannya dengan kelucuan tertentu namun penuh referensi.
Yang membikin buku sangat tebal ini terasa tidak membosankan adalah gaya penulisannya sangat berkisah. Lucu dan penuh gerutu yang nakal. Selain itu, ada bumbu-bumbu filsafat disertai teori-teori yang sesungguhnya sangat berat, namun terasa nikmat karena diceritakan dengan tepat.
Setelah menjalani perjalanan puluhan ribu kilometer, dengan semena-mena buku ini ditutup dengan pemaknaan kebahagiaan yang ternyata tidak perlu jauh-jauh mencarinya. Wqwqwq asyemm.
Kebahagiaan, kata Weiner, ada di rumah. Kebahagiaan, katanya lagi, berada di dalam diri sendiri.
Di akhir buku, penulis yang awalnya cenderung penggerutu dan mudah marah, berubah menjadi sosok yang teramat dewasa dan mudah menerima banyak hal dalam hidup— tak terkecuali sesuatu yang dulunya kerap membuatnya naik pitam.
Buku ini menyimpulkan bahwa kebahagiaan kita sebenarnya saling terkait dengan orang lain: keluarga, teman, serta tetangga hingga orang yang sering membersihkan kantormu —- yang sialnya nyaris tak pernah kau perhatikan.
Kebahagiaan bukanlah kata benda atau kata kerja. Dia adalah kata sambung. Jaringan penghubung. (hal: 543).
Kebahagiaan-adalah-jaringan penghubung. Sebuah kalimat yang unik dan melegakan, bukan? Saat kita dipertemukan dengan teman yang memiliki visi dan pemikiran yang sama, adalah kebahagiaan yang teramat luar biasa.
Ketika kita dipertemukan dengan sosok kekasih maupun pasangan hidup — yang menurutmu sesuai keinginanmu, misalnya — itu juga kebahagiaan yang sungguh-sungguh teramat luar biasa.
Sebab, ternyata ada daya sambung yang menghubungkan kita pada kebahagiaan orang lain. Ada jaring-jaring halus yang akhirnya mempertemukan kita pada orang lain, untuk menuju tempat yang sama: bahagia.
Pada akhirnya, sebagai pembaca, saya pun mengamini bahwa kebahagiaan memang berada di dalam diri sendiri. Seberapapun menyedihkan apa yang kita alami, jika hati sudah siap, perih pun jadi perihal yang patut dipelajari dan disyukuri.
Selamat berbahagia —- dengan berbagai macam pemaknaan bahagia yang kau rasakan —- ya, Nabs.