Kenangan Herinneringen, anak Residen yang pernah menduduki Bodjonegoro. Tentang kehidupan pribadi, sosial, dan segela sesuatu yang dirasakan ketika berada di kabupaten yang konon sebagai lumbung pangan dan energi.
Johanes van Bloemen dan keluarga berasal dari Negeri Kincir Angin. Ia ditugaskan oleh pihak Kerajaan Belanda untuk mengurus sebuah daerah di Hindia Belanda. Ia tidak bisa pergi seorang diri, maka dari itu ia memboyong keluarganya untuk sementara waktu menetap di Hindia Belanda.
Johanes van Bloemen memiliki satu istri bernama Anna Wilhelmnia dan dikaruniai seorang anak perempuan. Johanes dan isrtinya sangat menyangi anak perempuannya yang bermata biru itu. Sebelum meninggalkan Leiden, ia agak cemas dengan masa depan keluarga, khususnya buah hati yang ia beri nama Cornelia Wilhelmina.
Kecemasan akan masa depan dipatahkan begitu saja oleh Johanes van Bloemen. Maka dari itu, ia bersama dua bidadari cantik (istri dan anak) hijrah ke Hindia Belanda. Dalam pelayaran menuju pulau yang terkenal dengan spicy island ia menikmati hari-hari di tengah lautan dengan membaca.
Johanes sangat suka membaca ensiklopedia, wordenboek, dan lain sebagainya. Khususnya mengenai geschiedenis/sejarah sebuah tempat yang akan mereka tuju. Ketika rasa bosan menghampiri, Johanes menghampiri istri dan anaknya yang sudah memasuki usia remaja.
Sampainya di sebuah bandar, Johanes langsung disambut kawan-kawannya dari Belanda. Kemudian barang-barangnya ia serahkan pada dua orang pribumi yang bekerja sebagai kuli angkut. Setelah agak lama berbicara, mereka menuju sebuah mobil. Dalam perjalanan Johanes menyaksikan beragam fenomena seperti pembangunan rel kereta api, orang-orang yang bekerja di sawah, dan berbagai aktivitas lain.
Johanes dan keluarga amat sangat menikmati perjalanan menuju sebuah tempatnya untuk melakukan pengabdian sekaligus bekerja untuk kerajaan. Mengisi waktu perjalanan, Johanes juga sesakli bertanya pada istrinya.
“Wat dacht je over Bodjonegoro?”
“Ruwe olie, onde-onde, en Solo River.”
Johanes berharap memperoleh jawaban yang keluar dari putrinya juga ‘Cornelia Wilhelmina’. Namun tak sepetah kata pun keluar dari mulut buah hatinya. Cornelia hanya diam, dan menikmati pemandangan dari balik kaca kendaraan.
Tak ada angin dan hujan, tiba-tiba Cornelia berkata, “In Bodjonegoro zijn er Nederlansce Indies Railway, cinema en graves.”
“Hoe weet je dat?, sahut ibunya.
“Java town plans.”
Tibalah mereka di sebuah rumah berwarna putih yang berada di sekitar pusat kota, tepatnya di Sudirmanstraat. Johanes membuka pintu rumah, betapa terkejutnya Johanes dan keluarga karena di dalam rumahnya sudah ada barang-barang seperti meja, kursi, mesin tik, sepeda ontel, dan lukisan-lukisan menghiasi diniding rumah mereka.
Mereka sedikit-sedikit juga bisa mengenali bahasa pribumi. Karena sebelum hijrah ke Hindia Belanda telah belajar bahasa melalui wordenboek. Rumah Johanes yang berada di Sudirmanstraat juga berfungsi sebagi ruang kerjanya. Ketika ia mengalami kejumudan berpikir, ia mengisi waktu dengan berkebun di depan rumah bersama istri dan anaknya.
Ketika Sang Surya menyapa bumi, Johanes sudah duduk dengan santai bersama teh dan roti, sembari menunggu datangnya kurir yang mengantar surat kabar. Ketika surat kabar tiba, menghabiskan waktu di pagi hari untuk membaca. Selain surat kabar, ia juga telah membawa dua buah peti berisi buku-buku yang telah ia kemas sebelum bertolak ke Hindia Belanda.
Di rumah itu dihuni oleh empat orang. Johanes dan istri, Cornelia, dan pembantu rumah tangga. Pembantu itu bernama Rukiyem, dia sering dipanggil Mbok Yem. Berasal dari daerah yang agak jauh dari Bodjonegoro District yakni Ngorogoenoeng.
Suami dari Mbok Yem bekerja di sebuah pers dan penerbitan yang dikelola oleh pendatang dari Negeri Van Oranje. Penerbitan itu berdiri di tanah Hindia Belanda. Suami dari Mbok Yem bernama Djoko Djatikoesoemo, meskipun Djoko lulusan Sekolah Rakyat (SR) namun Djoko memiliki keistimewaan dalam hal membaca dan menulis. Maka dari itu, selepas menempuh bangku pendidikan di SR, Djoko memberanikan diri bekerja di sebuah lembaga pers dan penerbitan.
Kesaktian Djoko dalam hal membaca dan menulis membuat dirinya diberikan kepercayaan untuk mewartakan segala sesuatu yang ada di Bodjonegoro. Pada suatu hari, Djoko sangat geram dengan perilaku petinggi desa, tuan tanah dan centengnya, yang bekerjasama dengan Belanda namun lebih sering berfoya-foya dari pada kerja nyata serta kurang mau membantu tetangganya yang kesulitan dalam hal finansial khususnya.
Tak jarang ketika Djoko mengayuh sepeda ontel melewati depan balai desa, saban pagi ia menyaksikan kulit kacang yang berserakan. Malam harinya, gema orang muntah terdengar di telinga Djoko. Lain sisi, kondisi rakyat Desa sedang susah dan beberapa orang mengeluh ke Djoko karena ulah lintah darat, petinggi desa, tuan tanah dan centengnya.
Djoko tak ambil pusing. Kemudian menuliskan laporan di surat kabar tentang kebobrokan aparat desa dan beberapa orang Belanda. Ketika berita itu mau terbit, dirobek terlebih dahulu oleh pemimpin lembaga pers dan penerbitan. Berita tak jadi terbit, Djoko tak mendapat komisi, malahan ia dijebloskan ke prison atau hotel prodeo yang berada di Kepatian. Tepatnya dekat dengan gang kecil yang memiliki land mark sumur dan pohon beringin.
Djoko dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Sudah bertahun-tahun Djoko mendekam di bui yang berada di bilangan Diponegorostraat. Tempat itu juga tak jauh dari tempat istrinya bekerja yakni Sudirmanstraat. Karena itulah, Mbok Yem menjadi pembantu rumah tangga untuk menyambung hidup bersama anaknya. Pasangan Djoko dan Mbok Yem dikaruniai seoarang anak laki-laki yang baru saja menyelesaikan pendidikan dokter di Nederlands Indische Artsen School (NIAS) dan menyandang gelar Dokter Jawa.
Putra sulung dan satu-satunya bernama Tedjo Djoko Djatikoesoemo, akrab dipanggil Tedjo. Kecerdasan dan ketangguhan Tedjo dalam menghadapi kehidupan tak jauh dari bapak dan ibunya. Setelah beberapa tahun Tedjo melakukan pengabdian masyarakat ke beberapa daerah, akhirnya ia memilih menetap di tanah kelahirannya dan bertekad untuk membangun pusat kesehatan bagi rakyat Bodjonegoro.
Tedjo tumbuh dan berkembang dalam dekapan alam Ngorogoenoeng. Tedjo kecil menjadi saksi hidup tetangga desanya terlibat dalam pembangunan jalur kerta api. Hati Tedjo merasa tergugah dan sedih ketika melihat penindasan dan perlakuan sewenang-wenang beberapa orang Belanda kepada pribumi dalam rodi maupun cultur stelsel.
Tedjo merasa kasihan ketika ada orang tua yang sudah tidak kuat bekerja namun dipaksa untuk bekerja. Tak jarang cambukan mendarat di punggung seorang, punggung yang mengkilat karena keringat dan pancaran sinar mentari. Ketika sudah tumbang, masih dibiarkan. Tidak diberi pertolongan yang layak. Karena di masa itu segregasi antara pribumi dengan pihak asing begitu kentara.
Hal tersebut menjadi salah satu di antara beragam alasan Tedjo ngansu kaweruh dengan sungguh-sungguh. Hal tersebut didukung dengan kakeknya, yang bekerja di Djawatan Pertanian. Kakeknya memperoleh posisi yang startegis dan mendapat rumah dinas yang berada di lorong kecil yang ada di Diponegorostraat. Usia remaja, Tedjo dititipkan di rumah kakeknya. Ia juga dibantu dalam hal biaya dan pengadaan buku-buku.
Setelah kakeknya meninggal dunia, Tedjo menempati rumah itu. Tepatnya setelah ia berhasil meraih gelar Dokter Jawa, ia kembali menghuni rumah kakeknya dan membuka praktik di sana. Sebelumnya, rumah itu kosong, dan seskali ketika ada agenda di daerah Kota Bodjonegoro, Djoko dan Mbok Yem menempati rumah itu.
Tedjo memiliki keinginan kuat untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme dan bergerilya bersama kawan-kawannya untuk mendirikan pusat kesehatan. Sesekali Tedjo juga menjenguk bapaknya yang mendekam di bui. Berbagai upaya telah dilakukan Tedjo untuk membebaskan bapaknya, namun tak kunjung menemui titik terang. Tak jarang Tedjo meneteskan air mata ketika menjenguk bapaknya. Ia teringat bagaimana bapaknya mendidiknya, mengantarnya dan memberikan semangat sebelum berangkat menuju Soerabaja dari Stasiun Bodjonegoro yang berada di Soekordjokampoeng.
Selain itu, berkali-kali Tedjo meminta ibunya untuk berhenti bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah yang berada di bilangan Sudirmanstraat. Karena menurut Tedjo, gajinya sebagai dokter kiranya cukup untuk menghidupi ibu dan bapaknya. Namun, ibunya selalu menolak, karena ibu Tedjo beranggapan walau usianya memasuki senja, tak ingin terlalu merepotkan anaknya.
Ibu Tedjo telah beberapa kali menjadi pengabdi setia di sebuah rumah yang berada di bilangan Sudirmanstraat yang dekat dengan kios buku. Sebelum keluarga Johanes, sudah ada keluarga-keluarga yang lain. Kawasan Sudirmanstraat mayoritas diduduki oleh orang-orang Belanda.
Suatu hari Tedjo mengantarkan rantang yang berisi makanan kepada ibunya. Tedjo terbiasa berpakaian rapi dengan kemeja berkerah hawai, celana panjang, dan bersepatu. Tak lupa ketika Tedjo keluar rumah selalu membawa tas hitam berisi alat tulis dan perlatan kedokteran.
Sepeda ontel warna hitam menjadi kawan setia Tedjo ketika menghitamkan aspal jalanan di Bodjonegoro District. Ketika di wilayah pedesaan, seperti Ngorogoenoeng ban sepeda Tedjo menjadi berwarna putih. Karena jalalan di desa bukan aspal, melainkan tersusun dari pecahan batu kapur. Selain itu, juga ada yang masih tanah dan tak jarang ketika hujan tiba, jalanan becek.
Ketika mengantarkan rantang di rumah Johanes pada pagi hari, terdengar suara dari gramofon. Ada Cornelia Wilhelmina yang sedang menyapu halaman.
“Nona…, permisi, apakah saya bisa bertemu Mbok Yem?”
“Siapa kamu?”
“Saya anaknya Mbok Yem. Mau mengantarkan rantang ini untuknya.”
“Oke. Saya terima, nanti saya kasihkan rantang ini untuk Mbok Yem karena sekarang ia sedang mencuci di belakang rumah.”
“Baik, Nona. Danke.”
Rantang diterima Cornelia. Kemudian diberikan kepada Mbok Yem. Tedjo bergegas menuju pusat kesehatan yang berada di sebuah desa. Tedjo berangkat di pagi hari dan pulang menjelang Sang Surya bersembunyi. Ketika bertugas di area Kota Bodjonegoro, Tedjo senantiasa menunaikan salat magrib di sebuah masjid yang dekat dengan Aloon-aloon. Masjid itu berdiri di atas tanah Desa Kahoeman.
Setelah dari masjid, kemudian Tedjo mengayuh sepeda ontel menuju rumahnya yang berada di Kepatian. Ketika ia pulang agak awal dari tempatnya bekerja, tak lupa ia mengarahkan sepeda ontelnya menuju kawan satu angkatan ketika belajar di NIAS, Soerabaja. Kawan Tedjo bernama Lim Keng Tio, akrab dipanggil Bung Tiok. Kediamannya berada di Karangpatjar.
Bung Tiok merupakan kawan akrab Tedjo. Bung Tiok dulunya aktif di Padvinders Tionghoa Bodjonegoro. Mengingat mereka sahabat yang dekat, maka dari itu mereka terbiasa berdialog dalam rangka cecurhatan. Tedjo berusaha menemui Bung Tiok di suatu sore. Tedjo mengusahakan bertemu dengan karibnya, karena beberapa bulan lagi Bung Tiok akan terbang ke Negeri Van Oranje. Melanjutkan studi kedokteran ke Amsterdam.
“Bung. Beberapa waktu yang lalu, Aku melihat sesosok bidadari turun ke bumi Bodjonegoro?”
“Iyakah? Siapa gerangan yang kau anggap sebagai bidadari itu?”
“Wah…lupa, saya tidak tanya namanya. Noni itu kayaknya anak dari majikan dimana ibuku bekerja. Di sebuah rumah yang berada di bilangan Sudirmanstraat.”
“Nampaknya, sahabatku ini sedang jatuh cinta, hahaha.”
Ibu dari Tedjo tidak pulang ke rumah yang berada di gang kecil dimana Tejo tinggal. Mbok Yem juga tidur di rumah yang ditempatinya untuk bekerja. Mungkin Mbok Yem akan pulang di rumah yang dihuni Tedjo sebulan sekali atau ketika majikannya sedang pergi ke luar kota dalam waktu agak lama. Rumah masa kecil Tedjo yang berada di Ngorogoenoeng telah di bumi hanguskan oleh sejumlah masa karena tipu daya pihak yang kurang suka dengan keluarga Tedjo.
Suatu hari, ketika Tedjo mengantarkan rantang lagi ke rumah keluarga Johanes, tak lupa ia memberikan sepucuk surat yang berisi unek-unek sanubarinya untuk noni. Ia berharap yang menerima rantang itu adalah nona Belanda ‘noni’ yang beberapa hari lalu menerima rantang untuk ibundanya.
Tedjo selalu berdandan rapi. Dan tak lupa sebelum menginjakkan kaki menuju ke rumah itu, ia bergumam, “Ya Gusti…, mugo-mugo rantang iki ditampani noni.”
Dengan kesantaian ala penunggang tjikar, Tedjo menuju rumah putih tempat ibunya bekerja. Tedjo berharap alam raya mendukung usahanya. Ladalah, ternyata noni sedang di dalam rumah, rantang itu langsung diterima ibunya yang sedang menyapu halaman.
“Buk…niki rantange.”
“Pripun, cah bagus kerjane? Lancar to?”
“Hehehe…Nggih. Buk, Tedjo bade tangklet, gadis sing biasane nyiram kembang niku sinten?”
“Oalah..iku Non Cornelia. Anake tuan residen ‘Johanes’.”
“Nggih pun, Buk. Tedjo arep budal nyambut gawe. Pangestunipun nggeh.” Tedjo bergegas mengayuh sepeda ke tempat ia bekerja sebagai dokter. Sebelumnya, Tedjo bertanya-tanya tentang apa yang ia rasakan. Tedjo begitu bimbang, bagaimana ia mengungkapkan perasaannya kepada Cornelia.
Malam harinya, Tedjo nekat meletakkan surat itu ke kotak pos yang berada di bagian depan rumah Cornelia. Keesokan harinya, Cornelia mengambil beberapa surat yang masuk di kotak pos. Salah satu di antaranya surat dari Tedjo Djatikoesoemo.
Ketika membaca surat dari Tedjo, Cornelia Wilhelmina seketika merah mukanya.
“Nduh,…kok senyum-senyum dewe, Non?” Mbok Yem bertanya kepada Cornelia.
“Tidak apa-apa, Mbok.” Cornelia menyimpan surat itu, ia juga tidak bilang ke Mbok Yem bahwa yang nulis ialah anaknya ‘Tedjo Djatikoesoemo’. Di bagian akhir suratnya, Tedjo memberikan penutup berupa pantun.
Jalan-jalan di Radjekwesi
Jangan lupa mampir Bandjarsari
Jika nona menaruh hati
Mari mempertemukan sanubari
Bersambung…..