Di luar sana pastinya banyak yang kehilangan orang tua. Tapi semangat melanjutkan hidup tetap membara. Aisyah (mungkin) kurang membuka mata.
“Ais.. Bangun Ais. Sudah jam tiga pagi.” Bapaknya memegang bahu Aisyah. Membangunkannya untuk salat malam.
Hari ini Aisyah bangun terlambat. Semalam ia harus segera menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang kian bertambah. Sehari bisa lima tugas dari tujuh mata pelajaran. Sebenarnya Aisyah bukan tipe pelajar yang mengerjakan tugas dalam waktu mepet. Tapi entahlah. Beberapa hari ini ia disibukkan dengan pikiran bermacam-macam. Tentang virus, keadilan, nasib dan bapaknya.
“Ais..” Bapaknya membangunkan sekali lagi.
Tangan Aisyah mengucek kelopak mata. Matanya memerah berjibaku dengan tugas hingga jam setengah satu sebelum matanya terlelap dengan buku yang masih terbuka dan tangan memegang pena di atas meja belajar.
“Jam berapa, Pak?” Tanyanya pada Bapak.
“Tiga Ais” Ia tersenyum pada Ais. Di kepalanya masih terpasang songkok lusuh yang warnanya sudah menjadi merah.
Aisyah segera bangkit. Ia berjalan menuju kamar mandi di belakang rumah. Berwudhu dan kembali masuk kamar. Menggelar sajadah, memakai mukena dan takbir untuk salat malam.
Di ruang tamu, bapak melihat Ais salat. Senyumnya kembali mengembang. Ia bersyukur memiliki anak yang rajin bangun malam dan menegakkan tahajud. Memang, sebelum akhirnya mereka tinggal berdua, tiap mereka akan membangunkan satu sama lain dan salat tahajud. Kadang bersama-sama kadang pula sendiri-sendiri. Tapi Tuhan berkehendak lain, istri dan anak lelakinya telah berpulang dahulu.
Bapak menunduk. Ia berharap putrinya diberikan ketabahan dan keluasan hati melebihi dirinya. Ia yakin, putrinya akan tumbuh dewasa dengan segala cobaan hidup yang amat lebih kompleks. Bukan saja hari ini, tapi nanti ketika ia sudah tiada. Aisyah tetap memegang teguh ajaran agama dan nasihat keluarga. Menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.
Bapak mengedipkan mata berkali-kali. Tak dibiarkannya air mata itu menetes. Al-qur’an ditutup lantas beranjak ke kamar dan berganti pakaian. Ia mengambil kayu bakar dan bersiap-siap menyalakan tungku untuk masak.
Aisyah baru selesai salat, ia menengadahkan tangan. Bait-bait doa ia langitkan. Ia tahu doa di sepertiga malam terakhir bagai busur anak panah yang dilepaskan tepat sasaran. Lantas Tuhan akan menjawabnya dengan penuh kasih sayang. Jawaban itu memang tidak sekarang, bisa jadi nanti atau diganti dengan yang lebih baik menurut-Nya.
Di tengah doa, ia mengingat pertemuan kemarin pagi.
Seorang pemuda sedang mengerjakan sesuatu di suatu gubuk samping jalan sawah. Dekat sekali gubuk itu dari tempat sepeda yang biasa ia parkir ketika mengirim makan untuk bapaknya di sawah.
“Aisyah!” panggil pemuda itu.
Aisyah menengok ke arah sekitar. Memastikan bahwa benar yang pemuda panggil itu ialah dirinya.
Pemuda itu meletakkan buku dan laptopnya. Berdiri dan menuruni gubuk lalu mendekati Aisyah.
“Sedang mengirim makanan untuk bapakmu?” tanyanya ketika sampai.
“Iya, mas Ali” pemuda itu bernama Ali. Mahasiswa semester akhir di salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini. Ia pulang saat virus baru menyerang di kota-kota besar. Jauh sebelum pemerintah memberlakukan larangan mudik tahun ini.
“Mas Ali sedang apa di sana?” tanya Ais sambil menunjuk gubuk.
“Ngerjain skripsi, Ais. Kalau kamu tidak terburu-buru untuk pulang, aku ingin mengajak kamu ngobrol sebentar. Apa kamu bisa?” tanyanya dengan hati-hati.
“Bisa. Ais tidak buru-buru mas” jawabnya segera.
Keduanya menuju gubuk. Aisyah meletakkan sepedanya di depan gubuk lantas naik ke atas gubuk.
“Skripsi itu seperti UAS ya mas?” Ia bertanya terlebih dahulu kepada Ali, tetangga yang berjarak lima belas rumah darinya. Ia sama dengan Ais. Anak orang yang tak mampu. Ekonomi yang di bawah rata-rata memaksanya untuk berusaha dan kerja lebih keras.
Ia cerdas dan ramah. Pelbagai lomba ia ikuti ketika baru saja resmi menjadi mahasiswa. Alhasil di akhir semester satu, ia mendapat juara satu lomba karya tulis tentang pemberdayaan desa. Tulisannya mengagumkan, ia berharap mampu membangun desanya sendiri. Kurang lebih, ia mampu mewujudkan harapan seperti dalam tulisannya.
Laptop di hadapannya adalah hadiah dosen ketika ia memenangkan lomba itu. Dosennya tau bahwa Ali anak yang cerdas dan dia tak mau keterbatasan ekonomi membuatnya tidak berprestasi. Walau laptop itu bekas, tapi didapatkan dari kerja keras seorang pemuda desa yang tak henti berusaha. Ali layak mendapatkannya. Dan Aisyah, tentu saja juga bisa.
Ali tersenyum. Aisyah melipat kening.
“Skripsi itu tugas akhir mahasiswa yang wajib ia penuhi sebelum mendapat gelar sarjana. Kalau UAS itu di bangku perkuliahan sama dengan UAS seperti biasa. Ada lagi ujian komprehensif yang mana mata kuliah dari awal sampai akhir itu diujikan seperti ujian nasional kalau sekolah” jawabnya pelan-pelan.
Aisyah manggut-manggut. Ia mengerti jawaban Ali.
“Ngomong-ngomong, kamu kelas berapa?”
“Kelas dua SMA mas”
“Wahh bentar lagi kelas tiga ya. Bakalan sibuk-sibuknya belajar. Hehe..” Ia mengambil krupuk dan memakannya. Tak lupa ia juga menawarkannya pada Ais.
“Emang, kuliah itu berat ya mas?” tanyanya sembari mengambil krupuk.
“Berat. Kamu tidak akan kuat, biar Dilan saja. Haha..” jawabnya bercanda.
Aisyah menatap nanar ke Ali. Tentu ini bukan waktunya bergurau menurut Ais. Ia sedang bertanya serius perihal kuliah. Berharap ia mampu mewujudkan keinginan bapaknya meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Kuliah tentu saja berbeda dengan sekolah. Ia lebih berat dari pada sekolah dari pagi sampai sore. Walau kuliah masuknya tidak selama sekolah, namun beban pemahaman, tugas hingga hal lain jauh melebihi sekolah.” Jawabnya serius.
Aisyah menatap langit gubuk. Matanya menerawang jauh ke depan. Membayangkan kuliah dan meninggalkan bapaknya. Sungguh jika itu terjadi, ia akan lebih memilih tetap bersama bapaknya walau tidak meneruskan kuliah. Tapi perkataan bapaknya tempo hari membuatnya kian bingung untuk memilih.
“Ais” Tangan Ali melambai di depan mata Ais. Pandangan Ais tetap ke atas.
“Aisyah..” panggilnya sekali lagi.
Aisyah terperangah. Pipinya memerah.
” Oalah, jadi seperti itu ya mas. Apa saya bisa juga kuliah seperti mas Ali dan membuat bangga keluarga?” tiba-tiba Aisyah menjadi pesimis. Tentu ini bukan kepribadiannya. Entahlah, akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi bermacam-macam pertanyaan.
“Aisyah harus yakin suatu saat nanti pasti akan buat bapak, ibu dan kakak Ais bangga. Mas Ali pernah tak percaya diri bisa sejauh ini. Bisa kuliah dan membiayai adik sekolah. Walau bapak dan ibu tidak melihat Mas Ali berjalan sejauh ini. Mas yakin bapak dan ibu di sana juga akan tersenyum. Sama seperti ibu dan kakak Ais. Mereka tentu akan tersenyum ketika Ais bisa melampaui keinginan beliau” jawabnya sambil menutup laptop.
Ais jauh lebih beruntung dari pada Ali. Ia masih memiliki bapaknya, sedangkan Ali ia harus kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil. Kini ia hidup dengan adiknya. Namun saat kuliah, adiknya ikut saudara bapaknya. Tetapi tetap, biaya hidup dan sekolah Ali yang bertanggungjawab.
Aisyah menunduk. Raut mukanya sedih. Seharusnya ia lebih banyak bersyukur masih memiliki bapak. Tapi nampaknya selama ini ia masih kurang bersyukur. Di luar sana pastinya banyak yang kehilangan orang tua. Tapi semangat melanjutkan hidup tetap membara. Aisyah kurang membuka mata. Itu kesimpulannya sendiri.
“Waduh.” Ali berteriak. Sekali lagi Aisyah kaget.
“Kamu hobi melamun ya, Ais. Sejak tadi melamun terus. Ada apa gerangan?” Ali melanjutkan
“Ais terlalu banyak pikiran mas. Tentang bapak, pendidikan Ais, nasib keluarga dan masa depan kami” jawabnya sedih.
“Tak perlu sedih dan bingung Ais. Bukankah kita harus terus berusaha dan berdoa? Bagaimana pun keadaan kita, hendaknya usaha dan doa terus kita lakukan. Bukan untuk menjadi orang yang kaya raya, sukses dan melupakan semuanya. Melainkan tetap rendah hati dan bermanfaat bagi sesama.
“Dua hal itu, usaha dan berdoa adalah jalan baik mengubah kita. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubahnya sendiri?” tanyanya pada Ais.
“Iya, mas” Ais membenarkan ucapan Ali. Saat ini usaha dan doa memang jalan terbaik. Tentu rasa syukur dan sabar akan menemani dua hal itu.
“Nah.. Sekarang kamu harus yakin mampu melakukan itu. Membuat bangga bapakmu. Tentu ibu dan kakakmu juga akan bangga” ucap Ali.
Memang benar. Aisyah bisa membuat bangga mereka. Aisyah hanya perlu menambah usaha dan kerja kerasnya.
“Tapi Ais..” Lanjut Ali.
“Kadangkala ketidakmampuan ekonomi seperti yang kita rasakan menjadi penghambat untuk mewujudkan cita-cita. Kita harus menghilangkan hal itu, Ais. Walau pada akhirnya kalau kita sukses, keadaan ekonomi kita tidak bisa sama dengan mereka yang sukses dengan ekonomi yang sejak awal sudah mapan.” Kata Ali sambil memasukkan buku dan laptopnya ke dalam tas.
“Mengapa begitu, mas? Bukannya kita memiliki kesempatan yang sama?” sergah Aisyah.
“Tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama Ais. Kita ini bukan hidup sekali lalu mati. Tetapi kita hidup setiap hari dan mati sekali”
Aisyah menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Ia bingung dengan perkataan Ali.
“Sepertinya kamu bingung Ais. Besok kalau kamu ada waktu, kita ketemu lagi di sini ya setelah kamu ngantar sarapan bapakmu. Besok akan mas jelaskan beberapa hal. Terutama tentang kemiskinan sistemik yang sampai saat ini menjadi sebab kenapa orang yang sukses dengan keadaan ekonomi keluarga di bawah rata-rata di masa lalu dibandingkan dengan yang berada ketika sukses di masa mendatang tetap berbeda dalam hal ekonomi” Ali memakai tas.
“Sekarang kita pulang dulu dan besok ketemu” lanjutnya.
“Ais, apinya sudah menyala” bapaknya memanggil Ais dari belakang. Tak sadar ketika berdoa tadi bapaknya sudah berdiri di pintu kamarnya.
Ia mencukupkan doanya, lantas melepas mukena, melipatnya beserta sajadah dan meletakkannya di lemari. Ia berdiri dan menyusul bapaknya ke dapur.
“Mas Ali, nanti kita ketemu lagi” gumamnya sambil tersenyum.
Sabtu cerah, awal Juni 2020