Saat masih kecil, saya menganggap hikayat ini hanya cerita fiksi. Hingga suatu hari, saya tahu bahwa “Budal Kaji Malah Rabi” adalah fakta ilmiah sesuai kronik sejarah.
Saya lahir dan tumbuh di sebuah lingkungan yang dipenuhi hikayat. Dinding rumah kami, seperti terbuat dari adonan semen dan hikayat. Semasa kecil, kami tak hanya makan nasi setiap hari. Tapi juga memakan banyak kisah hikayat yang diceritakan kakek-nenek kami.
Di kampung kami, memang ada sebuah tradisi, anak kecil harus sering diberi nasehat melalui hikayat. Anak kecil seperti kami, harus dekat dengan hikayat bermuatan hikmah kehidupan. Di tempat kami, dongeng tak hanya diantar saat menjelang tidur. Tapi juga diantar saat kami sedang makan.
Saya selalu ingat bagaimana mimik wajah nenek saat bercerita. Bahkan, saya selalu ingat, tiap kali mengakhiri cerita, nenek akan berkata: gagang ceblok putel. Artinya, cabang pohon jatuh dan patah. Maksudnya, cerita telah berakhir, besok saat makan akan disambung lagi.
Begitulah, masa kecil kami lekat dengan hikayat-hikayat kisah moral yang tak melulu menggurui. Dongeng-dongeng penghangat hati dan penyejuk sanubari sering didengarkan pada kami. Terlebih, cerita wali dan kisah hidup orang sufi.
Hal itu yang menginspirasi saya menulis buku tipis berjudul Dongeng Sebelum Makan (2017). Mungkin karena saya tak pandai bercerita lisan, kedekatan saya pada dongeng masa kecil, membuat saya tumbuh jadi lelaki yang suka menulis.
Diantara banyak hikayat masa kecil yang pernah saya dengar, ada satu kisah yang selalu saya ingat hingga hari ini. Orang-orang tua di kampung kami, sering menceritakan kisah itu kepada kami dengan judul Budal Kaji Malah Rabi.
** **
Syahdan, hiduplah lelaki bernama Amid. Anak saudagar dari Tuban, yang mukim di Singgahan. Amid lahir dan tumbuh di dalam keluarga yang taat beragama. Keluarganya dikenal dengan Bani Sodagaran, yang mewajibkan anak-anak mereka berangkat haji di usia remaja.
Serupa saudara-saudaranya, oleh kedua orang tuanya, Amid diminta berangkat haji sebelum menikah. Hal itu sudah jadi tradisi di dalam keluarganya. Mau tak mau, Amid harus berangkat. Sebab jika tidak, berarti ia tak melanjutkan tradisi baik yang sudah dibiasakan keluarganya.
Usia Amid memang sudah waktunya menikah. Tapi, ia masih enggan. Saudara-saudaranya menikah setelah berangkat haji. Sementara Amid belum melakukan rukun islam yang kelima tersebut. Hal itu membuatnya enggan menikah.
Tapi Amid yang semula enggan, akhirnya bersedia berangkat juga. Selain alasan birrul walidain, ia juga mulai serius berencana menikah dan membangun keluarga. Mengingat, usia Amid yang memang sudah waktunya.
Orangtua membekalinya dengan banyak bekal harta. Tak hanya berhaji, serupa tradisi di dalam keluarganya, di Makkah nanti, Amid juga berencana menuntut ilmu. Itu alasan kenapa bekal harta yang ia bawa cukup banyak.
Singkat cerita, Amid berangkat dari rumah dengan restu penuh kedua orang tuanya. Ia berangkat sesuai titah kedua orangtua, untuk jadi haji di usia muda.
Dari Singgahan Tuban, Amid sengaja berjalan menyusuri hutan bukit dan pegunungan, ke arah selatan. Tujuannya, mencari sungai yang bisa mengantarnya ke laut Gresik, untuk kemudian mencari kapal laut menuju Makkah.
Tapi dengan bekal yang cukup banyak di tangan, justru membuat niatnya goyah. Di tengah perjalanan, niat berangkat haji yang sudah matang itu, kian kendor. Uang dan bekal dari orang tuanya, pelan-pelan berkurang begitu saja.
Amid semacam mengalami kasyaf. Di tiap jalan yang ia lewati, ia menangis dan merasakan sedih luar biasa. Di tiap langkah menuju selatan, Amid kerap menjumpai orang-orang kelaparan yang berada di tengah hutan.
Amid selalu mendermakan apa yang ia bawa pada mereka. Tiap berpapasan fakir yang kelaparan, Amid menangis, lalu memberikan bekal yang ia bawa. Hingga tanpa ia sadari, bekal uang dan harta yang ia bawa, habis tanpa sisa.
Langkah kaki Amid terhenti di Dusun Bandar Kecamatan Kasiman, sungai perbatasan sisi utara Kuncen Padangan. Sesampainya di sana, ia tak lagi punya apa-apa. Bahkan, sarung yang ia bawa pun sudah diberikan pada seorang musafir yang terlantar di tengah hutan.
Praktis, Amid hanya membawa segembol nyawa dan pakaian yang ada pada tubuhnya. Amid menyeberang ke arah sisi selatan sungai, hidup seadanya di Kuncen Padangan, dan melupakan keinginannya untuk berangkat ke Tanah Suci Makkah.
Amid tak jadi berangkat haji. Semua bekal harta bendanya, ia sedekahkan pada fakir miskin di tengah jalan. Hingga ia tak memiliki apapun lagi. Amid sempat merasa sedih karena tak jadi berhaji. Tapi, ia lekas melupakan kesedihan itu dan bergegas untuk ridha.
Di Kuncen, Amid hidup seadanya. Memenuhi kebutuhan hidup dengan bekerja sebisanya. Meski hidup seadanya, Amid dikenal taat beragama hingga dipercaya membina sebuah musala.
Hal itu membuat seorang ulama di sana, menjadikan Amid sebagai mantu. Amid memang gagal berhaji sebelum nikah. Tapi, barokah dari kedermawanannya, ia berhasil membangun keluarga dengan menikahi putri seorang kiai.
** **
Hikayat tentang Amid masyhur di kampung kami. Ia menjadi tauladan tentang lelaki altruis yang tak mencari pahala secara oportunis. Sebab, hanya orang alim yang tahu betapa pahala bersedekah mirip pahala berhaji. Terlebih, untuk kepentingan yang lebih darurat. Amid sangat memahami itu.
Kisah Amid menjadi folklore yang sering diceritakan orang-orang tua pada anak-kecil seperti kami, agar kami tahu betapa mulianya berkorban. Agar kami paham betapa mulianya menjadi alim yang dermawan. Hampir semua anak seusia saya, pernah mendengar kisahnya.
** **
Kelak setelah dewasa, kami baru tahu bahwa sosok Amid yang melegenda itu, ternyata bukan tokoh fiktif. Amid figur manusia yang benar-benar ada. Hal itu kami ketahui dari telaah manuskrip, wawancara sumber, hingga observasi periode hidup yang telah kami lakukan.
Amid dikenal dengan sejumlah nama; Sarmith, Syamid, Sarmidi, bahkan ada yang mengenalnya Mbah Midi. Namun, ia memiliki nama asli Syahmid bin Abdulloh. Syahmid memang pernah mukim di Singgahan Tuban. Tapi, ia berasal dari Tuban pesisir. Kakeknya adalah kabilah dagang asal Gujarat yang berasimilasi dengan warga Tuban pesisir.
Kiai Syahmid hidup pada periode 1850-1940. Ia hijrah ke Kuncen Padangan sekitar tahun 1875, saat usianya 25 tahun. Setelah gagal berhaji dan hidup di Kuncen, beliau diambil mantu KH Musa Rowobayan, ulama Kuncen Padangan yang merupakan keturunan ke-7 dari Mbah Sabil Menak Anggrung.
Kiai Syahmid menikah dengan putri Kiai Musa Rowobayan yang bernama Amirah atau lebih dikenal dengan nama Nyai Syahmid. Kelak, dari pernikahan itu, menurunkan 3 anak dan 17 cucu. Mayoritas keturunan mereka menjadi pedagang dan pengusaha kuliner di Padangan. Kakek saya dari jalur ibu, adalah satu di antara 17 cucu Kiai Syahmid.