Mbah Sabil Padangan memiliki koneksi ideologis dan hubungan genealogis dengan Sunan Ampel Surabaya. Hal ini, tercatat secara ilmiah dalam sejumlah sumber empiris.
Pesantren Menak Anggrung Padangan seolah tak bisa dipisah dari Pesantren Ampel Denta Surabaya. Begitupun, nama Syekh Sabil Padangan (Pangeran Hario Timur) juga tak bisa dipisah dari Raden Ali Rahmatullah. Terbukti, setiap tarikh yang menceritakan manakib Syekh Sabil, pasti menyebut nama Sunan Ampel sebagai punjer ideologinya.
Secara ilmiah, ada sejumlah sumber kuno yang mengkonfirmasi hubungan ideologis dan hubungan genealogis antara Syekh Sabil dengan Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel). Diantaranya, Manuskrip Padangan dan Naskah Kedung Pakuncen yang masing-masing ditulis pada abad 18 M dan abad 19 M.
Naskah Kedung Pakuncen ditulis di era keulamaan Syekh Ahmad Rowobayan (1827-1915 M). Sementara Manuskrip Padangan ditulis di era keulamaan Syekh Abdurrohman Klotok (1776 – 1877 M). Kedua bukti literatur tersebut, bercerita tentang sosok Syekh Sabil Padangan dalam sudut pandang ilmiah.
Untuk diketahui, ada banyak manuskrip abad 18 dan 19 M yang berada di Padangan Bojonegoro. Selain berisi puluhan kitab ilmiah tulisan tangan, banyak pula berisi tarikh peradaban, jejaring ulama, hingga tentu saja, catatan nama-nama keluarga. Semuanya rapi tersimpan sebagai bagian dari museum khazanah keilmuan.
Naskah Kedung Pakuncen
Naskah Kedung Pakuncen menyebut, kehadiran Mbah Sabil ke Padangan berawal dari perjalanan menuju almameternya, di Pesantren Ampel Denta Surabaya. Belum sampai kembali ke Ampel Denta, beliau menghentikan perjalanan, untuk kemudian membangun tempat yang kelak dikenal dengan nama Pesantren Menak Anggrung Padangan.
Selain sebuah pesantren, Menak Anggrung juga jadi tempat pertemuan dan konsolidasi antara Mbah Sabil Padangan dengan dua keponakannya, Mbah Sambu Lasem dan Mbah Jabbar Jojogan. Mereka bertiga berasal dari keluarga besar Kesultanan Pajang. Kelak, Mbah Sambu dan Mbah Jabbar diambil mantu oleh Mbah Sabil Padangan.
Hubungan kekeluargaan antara Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Jojogan ini, tercatat secara detail di sejumlah lembar manuskrip. Ketiganya, kelak menjadi episentrum dan transmisi rantai peradaban islam di wilayah Bojonegoro, Rembang, dan Tuban.
Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Nglirip Jojogan adalah tiga tokoh yang kelak menurunkan generasi Fiidarinnur Padangan. Para ulama di periode Fiidarinnur Padangan, lahir dari genealogi kekeluargaan antara ketiga ulama besar tersebut.
Naskah Kedung Pakuncen menyebut, Mbah Sabil merupakan santri Ampel Denta yang era tarbiyahnya tak sezaman dengan Sunan Ampel. Ini logis. Mbah Sabil wafat circa 1665 M, sementara Sunan Ampel wafat pada 1481 M. Ada selisih 184 tahun (6-7 generasi kelahiran).
Keberadaan Mbah Sabil di Ampel Denta, bukan sekadar tarbiyah biasa. Sebab, Pesantren Ampel Denta, kala itu, jadi semacam lembaga keluarga yang fokus menggodok dan melahirkan para pemimpin islam. Hal ini dijelaskan secara detail dalam sebuah buku berjudul Sunan Ampel Raja Surabaya (2004).
Buku yang ditulis KH Agus Sunyoto dan diterbitkan atas kerjasama dengan Lembaga Pengajaran Bahasa Arab Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya itu, merupakan salah satu (untuk tak mengatakan satu-satunya) buku historiografi yang membahas figur Sunan Ampel secara ilmiah.
Dalam buku tersebut, secara ilmiah dijelaskan bahwa, selain figur penyebar agama, Sunan Ampel merupakan seorang raja. Sunan Ampel adalah pemimpin wilayah Surabaya (hal:67). Bahkan, Ampel Denta bukan pesantren biasa, tapi semacam lembaga keluarga yang fokus dalam menggodok lahirnya para pemimpin dan raja-raja Islam.
Ini bukan tanpa bukti. Kader-kader didikan Sunan Ampel di Pesantren Ampel Denta, banyak yang kelak menjadi raja dan pemimpin daerah di wilayah masing-masing. Sebut saja Prabu Satmata (Giri Kedhaton), Raden Patah (Demak), hingga Raden Kusen (Adipati Terung). Nama-nama di atas bukan hanya santri, tapi juga keluarga Raden Rahmat (hal:69).
Sunan Ampel adalah seorang raja. Sementara Pesantren Ampel Denta merupakan lembaga pendidikan politik yang melahirkan negarawan dan raja-raja islam. Ini terbukti dari pengakuan raja-raja Surabaya pada abad 16 dan 17 M yang sebagian besar masih dzuriyah Sunan Ampel. Data ini dicatat oleh Tome Pires dan Mendes Pinto, penulis asal Portugis, yang datang ke Pulau Jawa pada awal abad ke-16 M. (Agus Sunyoto: 70).
Pengkaderan dan penggodokan di Ampel Denta, dilakukan secara turun temurun. Bahkan, beliau mengirim sanak keluarganya untuk syiar di luar wilayah Ampel Denta (hal:92). Terbukti, dakwah secara sistematis ini kelak berlanjut di era Pangeran Hamzah (putra), Raden Qasim (putra), Khalifah Husein (saudara sepupu), hingga Pangeran Sepanjang (cucu).
Keberadaan Mbah Sabil di Ampel Denta, tentu bagian dari tradisi itu. Terlebih, lewat jalur neneknya, Mbah Sabil terhitung masih dzuriyah Sunan Ampel. Urutannya: Mbah Sabil bin Abdul Halim bin Abdullah bin Ratu Cempoko binti Sultan Trenggono bin Dewi Murtasimah (Ratu Asyiqah) binti Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel). Jarak antara Mbah Sabil dan Sayyid Ali Rahmatullah, terpaut 6 generasi.
Manuskrip Padangan
Jika Naskah Kedung Pakuncen menceritakan perjalanan Mbah Sabil sebagai santri Ampel Denta, Manuskrip Padangan yang berusia lebih tua, menceritakan hubungan keluarga antara Mbah Sabil Padangan dan keluarga Ampel Denta Surabaya. Lebih tepatnya, semacam upaya agar hubungan kekeluargaan tidak kepaten obor (terputus).
Hubungan keluarga antara Mbah Sabil Padangan dan Sunan Ampel Surabaya disebut beberapakali di lembar Manuskrip Padangan. Dalam lembaran-lembaran manuskrip itu, menyatakan jika putra ke-4 Mbah Sabil yang bernama Bagus Abdurrohim bin Sabil, diambil menantu keluarga Ampel Denta Surabaya.
Berikut ini sedikit petikan yang tertulis di lembaran ke-2 dan ke-3 Manuskrip Padangan:
Abdurohim nuten dipun pendet mantu kalih putra wayah Sunan Ampel Suroboyo. Abdurrohim nuten mantuk dateng Padangan malih. Nuten dados imam wonten Sendang Kaliwuluh, Sambeng. Nuten gadah putra setunggal, estri. Nuten Abdurrohim seda. Sasampuni seda, nuten Nyai Abdurrohim kalih putra wadonipun boyong dateng Ngampel Surabaya malih. Ngguri2, turunane iku Tuan Haji Muhammad Irsyad Kampung Ampel Surabaya (Hal 2 dan 3).
Artinya:
Abdurrohim diambil mantu oleh dzuriyah Sunan Ampel Surabaya. Abdurrohim kemudian pulang ke Padangan (bersama istrinya). Kemudian Abdurrohim menjadi ulama di Sendang Kaliwuluh, Sambeng (Kasiman). Kemudian Abdurrohim memiliki seorang anak perempuan. Abdurrohim kemudian wafat. Sepasca Abdurrohim wafat, sang istri beserta putrinya kembali pulang ke Ampel Denta Surabaya. Kelak, dari putri semata wayangnya itu, melahirkan seorang ulama bernama Tuan Haji Muhammad Irsyad Kampung Ampel Denta Surabaya.
Pernikahan Bagus Abdurrohim bin Sabil dengan dzuriyah Ampel Denta, adalah bagian dari upaya menyambung kembali ikatan keluarga yang sebelumnya telah terjalin lama. Ini sangat logis dan wajar. Dalam tradisi ulama terdahulu, selalu menikahkan anggota keluarganya dengan keluarga sendiri. Tujuannya, agar hubungan keluarga tidak kepaten obor.
Jika mau ditarik jauh ke belakang, jejak genealogi sudah dimulai sejak periode 1350 M. Sayyid Jamaluddin Akbar (kakek Sunan Ampel), adalah sosok yang membuka peradaban islam di wilayah Jipang Padangan. Gus Dur menulis, dakwah Sayyid Jamaluddin Akbar di Padangan ini, dilakukan sebelum beliau berdakwah di pusat kota Majapahit. (Gus Dur:161).