Jurnaba.co bekerja sama dengan Bakorwil Bojonegoro gelar acara Indieskusi pada Jumat (21/2/2020). Acara yang menggabungkan unsur seni dan literasi tersebut, diadakan di gedung East Java Super Corridor Bojonegoro.
Acara ini juga diharapkan jadi ajang diskusi dan bertukar ide bagi simpul-simpul literasi yang bergerak secara independent atau indie di Bojonegoro dan sekitarnya.
Selain pertunjukkan seni puisi dan musik, acara Indieskusi juga menghadirkan sesi diskusi untuk berbicara tentang gerak literasi di Bojonegoro.
Dalam sesi diskusi tersebut, ada tiga sosok yang maju ke depan. Mereka adalah Alfian Guritno dari Guneman. Chusnul Chotimah dari Bojaksara dan Wahyu Rizkiawan, Editor In Chief Jurnaba.co.
Mereka bertiga, merupakan sehimpun sosok yang tergabung dalam rumah besar Ngaostik. Tak pelak, kegiatan Indieskusi terasa mirip Ngaostik.
Sesi diskusi berlangsung dengan penuh riang gembira. Para pengunjung yang mayoritas adalah anak muda, terlihat melempar senyum dan tawa dengan gaya diskusi Alfian, Chusnul dan Rizky.
Namun, suasana diskusi yang tadinya berjalan dengan santai berubah jadi serius ketika salah satu pengunjung bernama Fetty Ilma mengajukan pertanyaan mengenai darurat literasi di Bojonegoro.
Fetty Ilma merupakan guru yang mengajar di salah satu Sekolah Menengah Atas di Bojonegoro. Sekolah Ilma tersebut, masih menggunakan konsep pondok pesantren.
Perempuan yang akrab disapa Ilma tersebut mengeluhkan bagaimana sulitnya menumbuhkan budaya literasi di lingkungan sekolahnya. Pasalnya, dengan konsep pondok pesantren, segala macam informasi dibatasi.
“Sulit sekali untuk meningkatkan budaya literasi. Penggunaan handphone dibatasi. Mengakses buku di perpustakaan pun sulit. Apalagi jenis bukunya juga terbatas,” jelas alumni Universitas Negeri Surabaya tersebut.
Ilma pun menanyakan bagaimana solusi untuk mengatasi itu semua kepada para pembicara di acara Indieskusi malam itu. Wahyu Rizkiawan pun dengan serius menjawab pertanyaan Ilma tersebut.
Menurut Rizky, memang agak tricky untuk menumbuhkan budaya literasi di lingkungan pondok pesantren yang cukup ketat dalam kebebasan informasi.
Dia pun berbagi pengalaman mengenai cara alternatif dalam menumbuhkan budaya literasi di pondok pesantren. Rizky pernah mengajak sejumlah santri ponpes untuk membuat buletin.
Dengan membuat buletin, para santri tersebut mau tidak mau harus banyak membaca dan mengakses informasi. Cara sederhana yang sedikit banyak mampu menumbuhkan budaya literasi di kalangan para santri.
Di sisi lain, Rizky tak sependapat dengan kalimat “Bojonegoro Darurat Literasi”. Karena menurutnya, Bojonegoro itu sebenarnya darurat buku.
“Bojonegoro tidak sedang darurat literasi. Bojonegoro itu darurat buku,” tegas pria asal Kecamatan Padangan, Bojonegoro tersebut.
Berbeda dengan sekolah umum, pondok pesantren seringkali punya aturan khusus mengenai buku bacaan yang bisa diakses santrinya. Alhasil, santri tidak memiliki kesempatan untuk yang luas untuk melahap aneka jenis buku.
Tak hanya di sekolah berbasis pesantren. Sekolah-sekolah umum pun, minim buku bacaan. Misal ada, yang ada hanya perpustakaan yang minim kegiatan. Karena itu, pemahaman soal literasi dinilai penting. Lebih penting lagi, keberadaan buku.
Persebaran buku bacaan memang harus ditingkatkan jika ingin budaya literasi di seluruh lapisan berkembang. Ini tentu jadi tugas semua pihak agar buku bisa diakses dengan mudah oleh semua orang.