Bisa dibilang, internet shutdown jadi jurus pemerintah untuk meredam konflik di masyarakat. Padahal, banyak dampak negaitf yang ditimbulkannya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar diskusi online pada Senin (1/7/2020). Diskusi yang bisa disaksikan lewat Youtube tersebut bertajuk; Internet Shutdown: Bahaya dan Ancaman Bagi Demokrasi.
Acara diskusi itu dipandu oleh Ellen Kusuma yang merupakan Kasubdiv Digital At-Risks SAFEnet. Ada 3 pemateri di acara tersebut. Mereka adalah Ketua Umum AJI, Abdul Manan, Ketua YLBHI, Asfinawati dan Peneliti Pusat Studi Hukum HAM, Universitas Airlangga Surabaya, Herlambang P Wiratraman.
Tema tersebut menyoroti kondisi Papua saat mengalami internet shutdown dari pemerintah Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi pada September 2019 lalu, saat terjadi gejolak di Papua.
Tak hanya di Papua, internet shutdown ini juga pernah terjadi di seluruh Indonesia. Tepatnya saat terjadinya kerusuhan pasca Pemilu 2019 silam.
Saat itu Pemerintah Indonesia memberlakukan pembatasan layanan messenger dan media sosial (medsos) seperti WhatsApp, Facebook, Twitter dan Instagram. Akibatnya, sarana komunikasi antar warga jadi sulit.
Bisa dibilang, internet shutdown jadi jurus pemerintah untuk meredam konflik di masyarakat. Padahal, banyak dampak negaitf yang ditimbulkannya.
Pembatasan akses internet tersebut dinilai merugikan banyak pihak. Contohnya yang dialami oleh Jurnalis Pemeriksa Data, Ika Ningtyas. Akibat internet shutdown, Ika tak dapat melakukan verifikasi fakta atas hoaks yang beredar saat itu tentang situasi di Papua.
Ketua AJI, Abdul Manan merasa internet shutdown adalah kebijakan yang lebih banyak mudharatnya daripada kegunaannya. Karena itu, dia berharap pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berpengaruh terhadap banyak orang.
“Pemerintah harus berhati-hati dalam membuat kebijakan. Harusnya, kebijakan yang berkaitan dengan banyak orang itu harus berdasarkan undang-undang,” ujar Abdul Manan.
Kebijakan internet shutdown dianggap Abdul Manan sebagai pisau bermata dua. Bagi pemerintah, hal tersebut dilakukan untuk mengendalikan informasi yang tidak benar. Namun bagi masyarakat, internet shutdown justru membuat mereka kehilangan akses informasi.
Sementara itu, menurut Herlambang Wiratraman, internet shutdown adalah bentuk pelanggaran HAM. Dia menilai internet shutdown merupakan bentuk pembatasan yang menabrak banyak hukum HAM internasional.
“Internet shutdown iitu kan artinya menghentikan segala macam interaksi, komunikasi, akses untuk mendapatkan informasi atau mengklarifikasi. Jadi ini berdampak terhadap persoalan HAM,” ujar Herlambang.
Internet shutdown ini sendiri menurut Herlambang tak hanya terjadi di Indonesia. Di beberapa negara lain pun sempat ada pembatasan akses internet yang dilakukan oleh pemerintah setempat.
Dalam diskusi online tersebut ada seorang viewers yang mengajukan pertanyaan mengenai dampak kebijakan internet shutdown dalam meredam konflik.
Ketua YLBHI Asfinawati merasa jika internet shutdown tak akan membantu meredam konflik. Menurutnya, justru keterbukaan informasi akan berperan besar dalam meredam kerusuhan atau konflik.
“Semakin bebas orang berbicara, maka semakin aman. Semakin informasi terbuka, situasi harusnya makin aman,” ujar Asfinawati.
Menurut Asfinawati, pembatasan akses informasi merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Karena, akses informasi merupakan bagian dari hak warga. Secara tidak langsung, internet juga punya manfaat dalam menjaga kesehatan warga. Dengan internet, warga bisa mendapatkan informasi mengenai cara hidup sehat.
Kebijakan pembatasan akses infromasi dengan cara internet shutdown pada faktanya memang tak berdampak positif. Apalagi banyak hak-hak warga negara hilang begitu saja akibat internet shutdown ini. Karena itu, tak berlebihan memang jika pembatasan akses informasi merupakan bagian dari pelanggaran HAM.
Ke depan, pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang lebih tepat dan tidak menimbulkan kerugian besar terhadap masyarakat. Jangan sampai Indonesia berjalan mundur karena pembatasan akses informasi.