Setiap hal yang hadir dalam kehidupan membawa pelajaran berharga untuk menempa dirimu. Laiknya pelajaran sekolah, ada yang secara personal kamu gemari, ada pula kurang kamu minati. Coba kamu ingat, mengapa (beberapa dari) kamu bergidik ngeri saat mendengar pelajaran Matematika?
Di satu sisi, Matematika mungkin cukup sulit untuk dipahami dan dimengerti. Sulit dan butuh waktu, daya dan upaya untuk mempelajarinya. Lalu, coba ingat-ingat, apa yang dulu kamu ucapkan dan lakukan saat menghadapi Matematika:
Belajar dan meningkatkan daya upaya untuk memahaminya? atau
Terburu-buru melabeli diri sendiri tidak bakat hitung-hitungan?
“Ah, aku tidak jago Matematika, aku emang tidak pandai ngitung, kemampuanku di ilmu sosial dan hal-hal kreatif. Aku orangnya otak kanan banget.”
Premis bahwa kamu pandai ilmu sosial mungkin memang benar. Kamu merasa menguasai bidang ilmu itu. Kamu merasa senang dalam proses mempelajarinya, sehingga outputnya kamu dapat nilai lebih baik di bidang keilmuan itu.
Atau mungkin, adakah faktor lain yang mempengaruhinya? Apakah guru ilmu sosial lebih cakap dan menyenangkan? Membuat proses belajarmu menjadi lebih segar? Terlihat dari sorot matamu, berbinar-binar saat mendalaminya.
Tapi, konon manusia cenderung takut pada hal-hal yang tidak mereka pahami. Dan ketakutan dengan mudah bisa berubah menjadi kebencian. Mungkin itulah yang terjadi saat (beberapa dari) bertemu dengan Matematika.
Otak manusia dan perjalanan hidupnya begitu kompleks. Tidak hanya hitam – putih, kanan – kiri, depan – belakang. Kadang hidup ini seperti berlari ke tenggara, berbelok ke kiri seketika, lalu menanjak ke arah barat daya. Begitu pula yang terjadi dalam otak manusia.
Untuk membuat proses memahami diri dan kehidupan ini lebih mudah, kita cenderung menggunakan label-label tertentu. Ada yang si paling Libra, ada yang moon-signnya Gemini banget, ada si INFP, ada pula yang merasa dominan otak kiri.
Tapi tau nggak sih, label-label ini sekarang udah nggak terlalu relevan lagi. Contohnya persoalan kanan vs kiri. Penelitian ini sudah ada sejak awal di tahun 60-an, banyak studi lain yang sudah mematahkan mitos otak kiri vs. otak kanan ini.
Penelitian terbaru justru menunjukkan bahwa pikiran manusia itu kompleks banget, terus berubah, dan diciptain buat belajar terus berkembang. Otak kanan dan kiri kita bekerja bersama untuk berpikir, menjalani kehidupan sehari-hari, dan mengambil keputusan kecil hingga besar.
Meskipun mengenakan label-label ini yang kita buat sendiri bisa membantu kita menavigasi dunia yang kompleks ini dan membangun hubungan dengan lebih mudah, proses “pelabelan” ini bisa terlalu menyederhanakan identitas kita, menghambat perkembangan kita, bahkan bisa sepenuhnya salah — seperti mitos lama tentang otak kiri vs. otak kanan.
Kembali tentang Matematika, ada beberapa faktor yang mungkin membuatnya seperti momok bagi otak:
Pertama, matematika sulit karena bentuknya abstrak. Berbeda dengan ilmu eksakta lain yang mempelajari objek konkret, bisa dilihat, bisa dibayangkan secara visual dan penginderaan lainnya. Ada banyak simbol simbol aneh. Padahal sekumpulan tersebut ditemukan dalam proses yang panjang. Namun, proses panjang munculnya simbol itu tidak diajarkan di kebanyakan sekolah.
Kedua, matematika bersifat hierarkis dan berjenjang. Untuk memahami konsep-konsep yang lebih kompleks, penting untuk memiliki pemahaman yang kuat terhadap dasar-dasarnya. Seperti sebuah tangga, jika pondasi awalnya rapuh, akan sulit untuk maju ke tingkat yang lebih tinggi.
Ketiga, matematika menuntut kecermatan yang tinggi. Kesalahan kecil bisa berdampak besar pada hasil akhir. Berbeda dengan mata pelajaran lain yang lebih mengizinkan kesalahan kecil, matematika tidak memberikan banyak ruang untuk kesalahan.
Keempat, faktor X, yang justru menjadi alasan utama, yaitu pengalaman buruk / traumatis seseorang yang dikaitkan dengan proses memahami Matematika. Bisa jadi karena mengingat pengalaman buruk dimarahi saat proses belajar. Dipermalukan di depan banyak orang ketika hasil yang dicapai belum maksimal. Dicemooh ketika proses untuk memahaminya lebih lama dibanding yang lain.
Melabeli diri sendiri maupun orang lain, apalagi dilakukan dengan cara yang mempermalukan bukanlah hal yang bijak. Kemampuan setiap otak berbeda dalam memproses suatu hal. Termasuk dalam memproses logika Matematika. Beberapa orang butuh waktu yang lebih lama dan cara yang berbeda untuk mempelajarinya.
Terburu-buru melabeli orang justru menutup kemauan seseorang untuk eksplorasi lebih jauh. Padahal, otak manusia begitu hebatnya. Otak tidak peduli seberapa muda atau tua seseorang, dia akan selalu bisa berubah dan berkembang. Otak hanya perlu diajak berjalan lebih jauh, menantang batasan ketakutan dan keraguan yang menghalanginya.
Ketika orang lain melabeli dirimu, kamu punya kuasa untuk meminta otakmu untuk tidak menghiraukannya. Kamu bisa katakan bahwa otakmu dan kemauan besarmu masih belum menyerah untuk mencapai titik yang ingin kamu tuju.
Namun ketika dirimu sendiri yang terburu-buru memberi label yang menahanmu tumbuh, mungkin kamu perlu berhenti sejenak dan berpikir ulang; tidak ada orang lain yang bisa menyembuhkanmu jika tanpa dibarengi dengan kemauanmu sendiri.