Bojonegoro Institute (BI), sebuah lembaga kajian dan advokasi kebijakan publik di Kabupaten Bojonegoro, mendorong Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro untuk menerapkan kebijakan pengaanggaran daerah berbasis ekologi.
“Kami melihat, selain permasalah kemiskinan, tantangan yang dihadapi Bojonegoro saat ini dan ke depan adalah pembangunan lingkungan hidup,” kata Aw Saiful Huda, Direktur Bojonegoro Institute.
Menurut Awe, panggilan akrabnya, ada beberapa alasan mengapa kebijakan anggaran berbasis ekologi ini perlu diterapkan Pemkab. Pertama, permasalahan lingkungan yang makin serius, meliputi deforestasi, bencana banjir, kekeringan, pengelolaan sampah hingga dampak krisis iklim di daerah.
“Benar menurut data, 40 persen wilayah Bojonegoro adalah kawasan hutan. Namun jika dilihat dari dekat, kondisi hutannya cukup miris, tutupan pohonnya semakin minim, seperti gurun”.
Awe menyebut tingkat deforestasi di Bojonegoro relatif tinggi, berdasarkan laporan Global Forest Watch, sejak tahun 2001 hingga 2023, Bojonegoro telah kehilangan 4.65 kha (ribu hektar) tutupan pohon, setara dengan penurunan 12% tutupan pohon. Dan luas ini setara dengan 2.36 Mt (metrik ton) emisi CO₂.
“Sejak tahun 2001 hingga 2023, Bojonegoro kehilangan tutupan pohon sekitar 4.65 ribu hektar, menempati peringkat tertinggi ke-3 di Jawa Timur, setelah Kabupaten Malang dan Bondowoso” ujar Awe.
Penurunan tutupan pohon ini berdampak pada semakin berkurangnya kawasan penangkap air, akibatnya air hujan langsung tidak tersimpan dalam tanah, tapi langsung lari ke bawah menjadi banjir bandang. Berkurangnya tutupan pohon menyebabkan banyak sumber mata air menjadi kering dan hilang.
“Banyak kita temui, sumber-sumber mata air di kawasan pegunungan di wilayah selatan Bojonegoro semakin menurun debit airnya, bahkan banyak yang mengering”.
Jika tidak diantisipasi mulai sekarang secara serius, Awe khawatir, sumber penghidupan masyarakat Bojonegoro, terutama yang berada dalam hutan akan terancam. Desa-desa sekitar kawasan hutan berpotensi mengalami krisis air bersih, yang kedepannya bisa berdampak pada krisis pangan, kesehatan dan kemiskinan kronis.
Alasan kedua Bojonegoro perlu menerapkan penganggaran berbasis ekologi adalah Bojonegoro turut berkontribusi besar menyumbang emisi karbon dari produksi minyak di daerah. Sekitar 1/4 (seperempat) produksi minyak dalam negeri berasal dari sumur-sumur minyak di wilayah Bojonegoro. Pendapatan APBD Bojonegoro pun sebagian besar bersumber dari pendapatan migas.
“Kita tahu salah satu penyumbang emisi karbon terbesar adalah penggunaan energi fosil, seperti minyak bumi. Dan sebagai kabupaten penghasil migas, kita sadar setiap tetes minyak dari Bojonegoro ini meninggalkan jejak-jejak emisi di mana-mana”.
Karena itu sebagai bentuk kesadaran moral, Pemkab Bojonegoro perlu membelanjakan sebagian anggaran yang bersumber dari migas tersebut untuk pembangunan lingkungan hidup, mengembangkan ekonomi rendah karbon, memperkuat ketahanan bencana dan adaptasi perubahan iklim.
Adapun mengenai kebijakan penganggaran kabupaten berbasis ekologi, Awe menyebut ada beberapa skema yang bisa diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, diantaranya dengan menerapkan kebijakan transfer kabupaten berbasis ekologi dalam pengelolaan ADD (Alokasi Dana Desa) dan bantuan keuangan desa.
Kebijakan transfer anggaran kabupaten berbasis ekologi (disingkat TAKE) merupakan suatu kebijakan dalam bentuk pemberian insentif anggaran oleh pemerintah kabupaten ke desa-desa berdasarkan kinerja pembangunan linkungan hidup (ekologi) yang dicapai. Penilaian kinerja ditentukan berdasarkan pengukuran indeks kinerja desa dengan indikator kinerja yang disepakai dan ditetapkan melalui peraturan Bupati.
“Indikator kinerja desa bisa didiskusikan, dirumuskan sesuai prioritas dan potensi daerah. Tapi usul kami paling tidak memenuhi tiga aspek, yakni tata kelola pemerintahan desa; pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan kelompok rentan; dan pembangunan lingkungan,” pungkas Awe.