You’re here, in the safest place you can find.
Ujuk-ujuk saya ingat kalimat itu, entah siapa yang mengucapkannya, tapi ucapan itu bisa hadir tiba-tiba. Kadang ia hadir kala saya sedang dalam naungan masalah atau dalam kondisi yang mungkin ribet.
Seperti sore kemarin, pukul 15.00 dan belum ada satu pun konten di web Jurnaba. Beberapa penulis andalan sedang sakit dan berhalangan. Sedang punggawa yang lain, masih sulit termotivasi secara alami.
Saat seperti itu, biasanya saya akan duduk, memejamkan mata, menarik nafas panjang, dan di dalam keterpejaman mata itu, saya meyakini hadirnya sebuah kemudahan. Dan Tuhan, kau tahu, maha menyayangi.
Seperti yang sudah-sudah, bala tentara bantuan pun datang. Sejumlah teman, yang sebelumnya jarang kirim tulisan atau bahkan jarang berkomunikasi: tiba-tiba menyapa, semacam memberi kelegaan.
Kawan seperti itu, kau tahu, serupa saat kau habis main bola dan kehausan, lalu dia datang menawarkan minuman. Dan tentu saja, dia bukan sembarang kawan. Tapi jelas kawan yang bukan sembarangan. Sebab hadir bukan karena sebuah kepentingan.
Beberapa tahun silam, saat masih suka pulang-pergi ke Sidoarjo pakai vespa lewat jalur Madiun, motor saya macet di perbatasan Balongpanggang. Sebenarnya naik vespa dan macet adalah kewajaran bagi seorang scooteris. Tapi, waktu itu kondisinya berbeda.
Saya sedang sendirian dan tak membawa sedikitpun alat di dalam tas. Sementara, malam kian dingin disertai rintik hujan. Dan posisi macet yang berada di tengah persawahan, membuat saya tak menemukan adanya tempat berteduh.
Dalam kondisi seperti itu, biasanya saya akan tidur di dekat vespa. Sialnya, hari sedang gerimis dan tak memungkinkan untuk sekadar memejamkan mata.
Sempat kepikiran menuntun vespa pakai kaki, tapi urung saya lakukan karena menyadari kaki saya cedera pasca main bola. Sementara, pagi masih lama.
Saya memang sempat membuka ponsel untuk menghubungi sejumlah kawan jaringan scooteris di kawasan terdekat. Tapi tak saya teruskan karena tak hanya kehabisan pulsa, baterei ponsel saya juga habis gara-gara lupa tak saya charge sebelum berangkat.
Praktis, tak ada yang bisa saya lakukan. Saya duduk di dekat vespa dan di bawah rintik gerimis. Saya menarik nafas panjang, memejamkan mata, dan basah kuyup pun tak bisa saya hindari.
Dari arah kejauhan, saya melihat pendar-pendar cahaya bersilauan, dan suara tren-teng-teng-teng yang amat melegakan. Ya, puluhan scooteris yang tak saya kenal tiba-tiba mendatangi saya, menyalami, memeluk dan memberi kelegaan yang membuat tubuh saya terasa hangat tak beraturan.
Puluhan scooteris itu datang memberi pertolongan. Mereka menderek vespa saya, sementara salah satu dari mereka, meminta saya duduk di sespan sisi kiri vespanya, bersebelahan dengan tas dan peralatan mekanik sambil seolah berkata: you are here, in the safest place you can find.
Kami mampir di sebuah warung kopi 24 jam yang berada sekitar 10 km dari lokasi macet, sebelum memperbaiki kerusakan vespa saya untuk kembali berjalan normal. Bahkan, untuk memastikan, mereka mengawal vespa saya hingga sampai pasar Sepanjang Sidoarjo.
Saya selalu berpikir, bagaimana bisa seseorang tergerak hatinya untuk menolong orang lain, yang bahkan tak dia kenal. Sementara, saya juga selalu berpikir, bagaimana seseorang menutup mata untuk mengabaikan pertolongan, sementara nyata-nyata itu sebuah kewajiban.