Liga Primer Indonesia atau LPI yang muncul pada 2010 menyisakan banyak cerita. Selain jadi awal mula dari dualisme sepakbola Indonesia, LPI juga jadi bahan perbincangan karena beragamnya pemain asing yang tampil di kompetisi tanah air.
Sebagai bentuk revolusi terhadap kepengurusan PSSI yang dianggap bobrok dan korup, sejumlah pihak sepakat membuat kompetisi tandingan. Liga tandingan yang bernama Liga Primer Indonesia itu muncul bersaing dengan kompetisi Indonesia Super League atau ISL.
Ada 3 klub ISL yang membelot ke LPI waktu itu. Mereka adalah PSM Makassar, Persibo Bojonegoro, dan Persema Malang. Ketiganya memilih bergabung dengan LPI dan tampil bersama belasan klub yang baru dibentuk.
Klub-klub baru bentukan konsorsium LPI punya nama dan logo keren yang pastinya sangat berbeda dari klub tradisional konservatif Indonesia. Sebut saja Real Mataram, Medan Chiefs, Batavia Union, atau Bali Devata.
LPI seolah ingin melakukan branding terhadap kompetisi sepakbola Indonesia dengan nama-nama klub tersebut. Ini jauh berbeda dengan mayoritas klub peserta ISL yang menggunakan nama “Per” di awal.
Tak hanya branding nama atau logo klub saja. Para pemain asing yang berkiprah di LPI pun lebih beragam lagi. Ketika itu, pemain asing di Liga Indonesia didominasi oleh legiun asal Amerika Latin, Afrika, dan sebagian Asia.
Saat LPI muncul, pemain asing yang tampil berasal dari semua benua yang ada di dunia. Mulai dari Asia, Eropa, Oceania, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan tentu saja Afrika.
Lihat saja pemain asing yang dimiliki salah satu peserta LPI, Semarang United. Saat itu, Semarang United memiliki pemain asing asal Jamaika, Robert Marco dan pemain Italia, Simone Quinteiri.
Keberadaan pemain Jamaika dan Italia ini tentu amatlah unik jika tak bisa dibilang random. Jamaika dan Italia bukanlah negara yang dikenal sebagai penyuplai pemain asing di Liga Indonesia.
Robert Marco dan Simone Quinteri tak sendirian. Ada pemain asing lain yang berasal dari berbagai negara di dunia yang ikut meramaikan LPI. Seperti Will Woodhouse (Inggris), Hendrik Helmke (Jerman), Ablahu Naiholo (Sudan), Pascal Heije (Belanda), dan Cosmin Vancea (Rumania).
Keberadaan pemain asing dari berbagai macam negara di dunia ini jadi daya tarik tersendiri. Apalagi ada beberapa marquee player atau pemain bintang khusus yang didatangkan seperti Lee Hendrie (eks timnas Inggris) dan Amaral (eks timnas Brazil).
Meski hadir dan menawarkan konsep sepakbola modern yang professional, LPI tak bisa bertahan lama. Kompetisi LPI hanya mampu bertahan setengah tahun saja. Klub-klub baru bentukan LPI akhirnya melebur ke klub Indonesia lain dan ada juga yang bubar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan gagalnya LPI. Salah satu yang terbesar adalah minimnya penonton. Selain Persibo, Persebaya 1927, dan PSM Makassar, tidak ada klub yang mampu menarik penonton ke stadion. Ini berbeda jauh dengan ISL yang sangat meriah karena jumlah penontonnya jauh lebih banyak.
Bertumpu kepada para pemain asing dari berbagai negara ternyata tak bisa menyelematkan atau memperpanjang usia LPI. Kompetisi yang punya slogan “change the game” ini tak bisa berjalan lebih jauh lagi.
Sejarah akan mencatat bahwa LPI adalah kompetisi ilegal yang gagal di tengah jalan. Semangat modern dan professional yang dibawa LPI ternyata tak bisa langsung diterapkan di Indonesia.