Kita lupa bahwa panas bukan hanya persoalan fisika, tapi juga politik ruang. Tentang siapa yang berhak menghirup udara sejuk, dan siapa yang harus bertahan di udara pengap.
Pada suatu siang yang tak lagi bisa dibedakan dari api, kota seperti tungku raksasa. Udara bergetar, aspal menguap, daun-daun di trotoar menguning sebelum waktunya. Bayangan pepohonan lenyap di antara deru knalpot dan proyek reklamasi yang menelan setiap jengkal ruang hijau.
Di gang sempit, seorang ibu menimba air dari sumur dangkal, wajahnya basah bukan karena kesejukan, melainkan keringat yang tak habis-habis. Di atas genteng rumahnya, seng memantulkan panas seperti dosa yang dipantulkan kembali ke langit.
Sementara itu, di ruang rapat berpendingin udara, pemerintah membahas “strategi adaptasi iklim”.
Ada grafik, ada jargon, ada kalimat yang dimulai dengan kata “komitmen”. Tapi di luar sana, komitmen tak bisa diminum, tak bisa menurunkan suhu, dan tak mampu mengusir nyamuk demam berdarah yang kini bersarang di selokan yang mengering separuh.
Kota makin panas bukan hanya karena matahari lebih dekat, tapi karena manusia semakin jauh dari nalar dan nurani. Gedung-gedung terus tumbuh ke langit, sementara akar-akar kehidupan tercerabut dari tanah. Setiap taman berubah menjadi mal, setiap kali banjir datang, orang miskin diminta “bersabar”—seolah sabar bisa menjadi pelampung.
Mereka yang tinggal di bantaran sungai atau di bawah jembatan tak punya kemewahan memilih suhu. Ketika malam tiba, dinding tripleks mereka menyimpan panas siang seperti amarah yang belum sempat diucapkan. Anak-anak terlelap dengan kipas seadanya, sementara di gedung-gedung tinggi yang berjendela kaca, pendingin ruangan berdesis lembut sepanjang malam—menciptakan kesejukan artifisial di atas penderitaan nyata.
Dan ketika media menulis “gelombang panas ekstrem”, pemerintah mengeluarkan imbauan: minum air putih yang cukup, hindari terik matahari. Tapi bagaimana caranya minum air cukup, jika air bersih pun harus dibeli dalam galon?
Bagaimana menghindari matahari jika mata pencaharian mereka bergantung pada jalanan? Tukang parkir, pedagang asongan, ojek daring, pemulung—mereka adalah warga yang tak pernah masuk hitungan dalam rancangan “smart city”.
Mungkin pemerintah sedang sibuk membuat branding baru: “kota hijau”, “kota berkelanjutan”, “kota layak huni”. Padahal yang hijau kini hanya logo, yang berkelanjutan hanyalah kontrak proyek, dan yang layak huni hanya bagi mereka yang mampu membeli hunian vertikal di pusat bisnis.
Kita sering lupa bahwa panas bukan hanya persoalan suhu. Ia adalah metafora tentang ketimpangan. Tentang jarak yang semakin jauh antara mereka yang punya pendingin ruangan dan mereka yang bahkan tak punya atap yang utuh. Tentang kota yang kehilangan keseimbangan, karena lupa bahwa pembangunan tanpa keadilan hanya menciptakan beton tanpa jiwa.
Suatu hari, mungkin kota ini akan benar-benar terbakar—bukan oleh api, melainkan oleh ketidakpedulian. Dan ketika itu terjadi, barangkali baru kita sadar: panas yang sesungguhnya bukan datang dari langit, melainkan dari kebijakan yang abai, dari politik yang dingin terhadap penderitaan.
Di hari itu, mungkin pemerintah akan kembali bicara tentang “mitigasi”. Tapi rakyat kecil sudah lama tahu: mereka sendiri adalah mitigasi terakhir dari bencana yang diciptakan kekuasaan.
Kota ini kini seperti kuali besar yang terus mendidih. Asap kendaraan, semen yang tak pernah berhenti dituang, dan pohon-pohon yang ditebang demi ruang parkir—semuanya bersekongkol menciptakan hawa yang menyesakkan. Di layar televisi, para pejabat berdiskusi tentang “ketahanan iklim”, tapi di lorong-lorong padat yang hanya selebar dua langkah, panas terasa seperti kutukan.
Fenomena urban heat island—yang bagi sebagian orang terdengar seperti istilah dari jurnal akademik—bagi warga miskin hanyalah kenyataan sehari-hari. Mereka hidup di antara dinding seng yang menyimpan panas siang dan memantulkannya kembali pada malam. Tak ada ruang hijau untuk bernaung, tak ada pendingin ruangan yang bisa dibeli, bahkan udara pun terasa seperti mewah.
Ketika gelombang panas datang, kota menyalakan alarm tak terlihat. Listrik melonjak, rumah sakit penuh pasien dehidrasi, dan tubuh-tubuh yang lemah menyerah pada suhu yang tak lagi manusiawi. Tapi kebijakan tetap dingin. Pemerintah belum menyiapkan rencana tanggap panas—karena barangkali, panas dianggap bukan bencana, hanya cuaca yang “sedang ekstrem”.
Padahal di sinilah ketimpangan berdiam paling nyata: di antara suhu yang tak sama untuk setiap kelas sosial. Di apartemen mewah, udara dijinakkan oleh mesin. Di rumah kontrakan pinggir kali, udara menjadi musuh yang tak bisa diusir.
Kita lupa bahwa panas bukan hanya persoalan fisika, tapi juga politik ruang. Tentang siapa yang berhak menghirup udara sejuk, dan siapa yang harus bertahan di udara pengap. Tentang kota yang menutup diri dari pepohonan, tapi terbuka untuk gedung-gedung baru. Tentang kebijakan yang sibuk mengatur lalu lintas kendaraan, tapi abai terhadap lalu lintas suhu yang kian mematikan.
Kota telah berubah menjadi cermin yang memantulkan ketidakadilan: makin banyak beton, makin sedikit kemanusiaan. Dalam setiap derajat yang naik, ada napas yang tersengal, ada tubuh yang kehilangan cairan, ada anak yang sulit tidur di bawah atap seng yang mendidih.
Dan kita masih bertanya, di mana pemerintah? Mungkin sedang menyusun master plan yang rapi di atas meja ber-AC, sambil lupa bahwa rencana tanpa empati hanyalah kertas yang kering—tak berbeda dari tanah yang retak di bantaran sungai.
Kita tak butuh jargon “kota berkelanjutan” jika warganya tak mampu bertahan. Kita butuh rencana tanggap gelombang panas—bukan sekadar untuk menjaga angka statistik, tapi untuk menyelamatkan yang paling rentan: para pekerja jalanan, anak-anak di pemukiman padat, lansia yang tak lagi kuat menanggung siang. Karena gelombang panas bukan sekadar cuaca, melainkan cermin tentang siapa yang dilindungi negara, dan siapa yang dibiarkan terbakar perlahan.
Barangkali sejarah kota ini memang ditakdirkan panas—bukan hanya karena iklim tropis, tetapi karena warisan cara berpikir yang tak pernah sembuh dari masa kolonial. Pada abad ke-18, Batavia sudah mengenal apa yang kini kita sebut urban heat island. Kota Eropa yang dibangun oleh pemerintah kolonial di tepi kanal dihiasi taman rindang dan rumah bata tebal—tempat orang kulit putih berlindung dari lembab dan malaria. Sementara di luar tembok itu, kampung-kampung pribumi terhampar gersang, berdebu, dan sempit.
Suhu yang berbeda di dua ruang itu bukan hanya karena bayangan pohon, melainkan bayangan kuasa. Di satu sisi, kesejukan diatur sebagai hak; di sisi lain, panas dibiarkan menjadi nasib. Pola itu bertahan hingga kini, hanya berganti nama dan wujud. Dari tembok kota menjadi pagar kompleks, dari rumah bata kolonial menjadi menara kaca modern.
Kota-kota besar Indonesia hari ini masih mewarisi “pulau panas sosial” yang sama: di satu sisi, kesejukan dan kenyamanan dijual sebagai komoditas; di sisi lain, warga miskin dibiarkan menjadi korban pertama dari krisis yang diciptakan oleh pembangunan tanpa keseimbangan.
Inilah bentuk kolonialisme yang paling halus dan paling abadi—yang tidak lagi berbicara tentang ras, tetapi tentang kelas dan akses terhadap udara yang layak dihirup. Dan jika sejarah benar-benar berulang, maka tugas generasi ini bukan sekadar menanam pohon, melainkan menanam keadilan. Agar suatu hari nanti, kota tak lagi menjadi tungku, melainkan tempat di mana setiap napas, dari mana pun datangnya, punya hak yang sama untuk merasa sejuk. []
Nitiprayan, 15 Oktober 2025








