Kiai Sadipo Sranak merupakan satu di antara pilar aulia berada di bantaran sungai Rajekwesi (Bojonegoro). Seorang figur yang menjadi bukti empiris bahwa islam masuk Rajekwesi lewat jalur sungai.
Tak banyak yang tahu nama Kiai Sadipo Sranak. Padahal, secara literatur, ia punya peran sangat besar bagi keberislaman masyarakat Rajekwesi (Bojonegoro). Khususnya masyarakat bantaran sungai antara Sranak Kecamatan Trucuk hingga Ledok Kecamatan Bojonegoro.
Baca Juga: Pengkol – Guyangan, Episentrum Ulama Bengawan Rajekwesi
Pada dekade akhir periode 1700 M, nama Kiai Sadipo Sranak punya pengaruh dan gema begitu besar. Ini terbukti ilmiah lantaran keberadaan pusat dakwah islam yang berada di Desa Sranak. Kiai Sadipo merupakan pandega Pesantren Sranak. Ini yang kelak menjadikan Sranak sebagai nisbat nama ulama.
Pengaruh dakwah Pesantren Sranak tak hanya berada di sisi utara sungai, tapi juga di sisi selatan sungai (Rajekwesi). Kewilayahan Kiai Sadipo tentu bisa dibuktikan secara empiris melalui besarnya atmosfer keberislaman masyarakat pinggir sungai di wilayah Ledok Rajekwesi.
Secara geografis, Pesantren Sranak berada pada posisi amat strategis. Ia menjadi “delta” pusat pendidikan islam yang berada di tengah sungai Bengawan dan Kali Kening. Jika aliran air dimaknai sebagai jalur peradaban, maka Pesantren Sranak berada di tengah dua jalur peradaban sekaligus.
Jejak dakwah Kiai Sadipo Sranak cukup besar. Khususnya di wilayah selatan Songapan Kali Kening (Alun-alun kota dan sekitarnya). Wajib diketahui, dakwah Kiai Sadipo Sranak pada periode 1700 M. Sebelum era Diponegoro (1825). Artinya, wilayah Alun-alun kota mungkin masih berupa pusat perdagangan saja.
Nama Kiai Sadipo Sranak tercatat empiris sebagai bagian dari keluarga besar Kasepuhan Padangan. Ia bagian dari rombongan keluarga yang melakukan migrasi pada periode 1700 M ke wilayah Rajekwesi (Bojonegoro). Khususnya wilayah bantaran sungai Rajekwesi dalam rangka “mulang santri”.
Manuskrip Padangan mencatat secara jelas keberadaan sekaligus pergerakan dakwah dilakukan Kiai Sadipo Sranak. Ia berdakwah di wilayah pertautan sungai, delta antara Kali Kening dan sungai Bengawan. Manuskrip Padangan jelas menyebutnya dengan kalimat: “Kiai Sadipo ono ing Desa Sranak brang lor songapan Kali Kening”.
Untuk diketahui, Kasepuhan Padangan tak hanya jadi pusat administrasi Kabupaten Jipang pada (1677-1725), tapi juga jadi pusat pendidikan agama, semacam “Kadewaguruan Islam” yang dimulai sejak Mbah Jimatdil Kubro membangun zawiyah di Puncak Gunung Jali Tegiri pada periode 1344 M (abad ke – 14 M).
Kiai Sadipo Sranak memang tak meninggalkan Masjid Tua yang bisa dijadikan tempat wisata reliji. Tapi dakwahnya tercatat. Asal-usulnya jelas. Keilmuannya bersanad. Barokah “kewilayahannya” terasa hingga kini. Kiai Sadipo adalah bagian dari rombongan Padangan yang melakukan pelebaran dakwah ke Rajekwesi pada titimangsa periode 1700 M.
Selain Kiai Sadipo Sranak, di antara nama rombongan yang berdakwah di Rajekwesi adalah Kiai Janudin Guyangan, Kiai Nalaterun Klangon, Kiai Sumoterun Sembung, Kiai Sadipo Sranak, Kiai Singoleksono Pengkol, Nyai Nadipah Tulung, Nyai Ireng Pengkol, hingga Kiai Yahya Klangon. Figur paling sepuh di antara nama-nama di atas adalah Kiai Januddin Paguyangan, yang pernah mendirikan pesantren di Guyangan Trucuk.
Manuskrip Padangan secara jelas mencatat, Kiai Sadipo Sranak beserta nama-nama di atas adalah dzuriah (keturunan) ke-4 dan ke-5 dari Mbah Sabil Menak Anggrung, lewat jalur putra pertama yang bernama Kiai Saban bin Sabil. Mayoritas nama-nama di atas, lokasi dakwahnya tak jauh dari sungai Bengawan wilayah Rajekwesi.
Kiai Sadipo Sranak beserta rombongan, adalah figur-figur yang berdakwah di bawah ancaman rezim Sunan Pakubuwana II. Karena hidup dalam perburuan, tentu tak sempat membangun masjid. Meski begitu, mereka tetap membangun energi peradaban melalui konsep “mulang santri”.
Kiai Sadipo menjadikan Sranak sebagai bagian dari segitiga peradaban islam (Guyangan, Pengkol, Sranak). Keberadaannya menjadi saksi empiris betapa islam sangat dekat dengan maritim sungai. Beliau seperti percaya, bahwa aliran sungai menjadi semiotika mengalirnya hayat ilmu dan hayat peradaban.