Para Ulama berada di Guyangan, Pengkol, dan Sranak menjadi saksi empiris betapa islam sangat dekat dengan maritim sungai.
Pada paruh kedua periode 1700 M, terdapat migrasi rombongan ulama dari Kasepuhan Padangan menuju Rajekwesi (Bojonegoro). Mayoritas membangun pemukiman di pinggir Bengawan Solo. Dengan berlokasi di tiga titik konsentrasi: Pengkol, Guyangan, dan Sranak.
Wajib diketahui, Pengkol adalah nama lama Desa Ledok Bojonegoro. Paguyangan, saat ini menjadi Guyangan Kecamatan Trucuk. Sementara Sranak juga menjadi nama desa di Kecamatan Trucuk. Pengkol, Paguyangan, dan Sranak pernah jadi jujugan rombongan keluarga dari Kasepuhan Padangan.
Baca Juga: Kasepuhan Padangan, Bukti Ilmiah Peradaban Islam
Catatan Syekh Abdurrohman Klotok dalam Manuskrip Padangan (1820), mencatat secara jelas nama dan titik lokasi perpindahan rombongan keluarga besar Kasepuhan Padangan itu menuju pinggir sungai Rajekwesi, sebagai bagian dari pelebaran titik-titik dakwah islam.
Catatan di atas berbunyi: “Kawula amiwiti turunipun Kiai Zainuddin ingkang sinareaken ing Paguyangan Jipang (Rajekwesi) Pinggir…”
Kiai Janudin Guyangan, Kiai Nalaterun Klangon, Kiai Sumoterun Sembung, Kiai Sadipo Sranak, Kiai Singoleksono Pengkol, Nyai Nadipah Tulung, hingga Nyai Ireng Pengkol, adalah rombongan keluarga dari Kasepuhan Padangan yang bermigrasi ke wilayah pinggir Rajekwesi (Bojonegoro), pada titimangsa periode 1700 M itu.
Migrasi tampaknya tak hanya dilakukan sekali. Pada gelombang berikutnya, disusul rombongan Kiai Yahya Klangon yang juga bermigrasi dari Kasepuhan Padangan menuju Rajekwesi, lebih tepatnya di wilayah Klangon-Kauman. Migrasi kedua ini, terjadi pada dekade terakhir periode 1700 M menuju periode awal 1800 M.
Manuskrip Padangan menulis, keberadaan nama-nama di atas menuju Rajekwesi, dalam rangka “mulang santri” atau membangun ekosistem tarbiyah dengan strategi tiga titik konsentrasi pinggir Bengawan. Strategi ini masyhur dilakukan Ulama Njipangan di sejumlah titik aliran Bengawan Solo lainnya.
Ulama Njipangan membangun titik-titik peradaban di pinggir bantaran sungai. Ini terdeteksi secara ilmiah. Dari bantaran paling ujung Margomulyo – Kradenan hingga bantaran ujung Kanor – Rengel, terdapat titik-titik peradaban islam yang didiami jejaring Ulama Njipangan.
Kasepuhan Padangan tak hanya menjadi pusat administrasi Kabupaten Jipang pada (1677-1725), tapi juga jadi pusat pendidikan agama, semacam “Kadewaguruan Islam” yang dimulai sejak Mbah Jumadil Kubro membangun Mesigit Tebon di Puncak Gunung Jali. Tepatnya pada periode 1300 M (abad ke – 14 Masehi).
Baca juga: Gunung Jali, Mercusuar Mbah Jumadil Kubro di Blora dan Bojonegoro
Kasepuhan Padangan memunculkan peradaban di tiap zaman. Setelah era Mbah Jumadil Kubro, dilanjut era Mbah Wali Jipangulu, dilanjut Mbah Ngudung Jipang Panolan, dilanjut Mbah Nursalim Tegiri, dilanjut era Mbah Menak Anggrung, era Mbah Abdurrohman Klotok, hingga era Tarekat-tarekat Padangan abad 20 M.
Untuk diketahui. Kiai Janudin Guyangan, Kiai Sadipo Sranak, Kiai Singoleksono Pengkol, hingga Nyai Ireng Pengkol adalah bagian dari Keluarga Besar Kasepuhan Padangan. Masyarakat Jipang dari Bani Kesultanan Pajang. Mereka tokoh empiris yang punya jasa bagi persebaran islam di Rajekwesi.
Mereka memang tak meninggalkan Masjid Tua yang bisa dijadikan tempat wisata reliji. Tapi dakwah mereka tercatat. Asal-usulnya jelas. Keilmuannya bersanad. Barokah kewilayahannya terasa hingga kini. Pada edisi berikutnya, semoga mereka bisa ditulis dari sisi biografi ilmiahnya secara mendalam.
Masyhur. Bani Kesultanan Pajang hidupnya diburu rezim Sunan Pakubuwana II (1726 – 1749) dan rezim setelahnya. Ini dikatakan KH Agus Sunyoto dan KH Yahya Cholil Staquf. Bahkan dicatat empiris oleh Babad Sengkala (1742 M). Karena itu, mereka tak banyak meninggalkan jejak bangunan.
Kiai Janudin Guyangan, Kiai Sadipo Sranak, Kiai Singoleksono Pengkol, hingga Nyai Ireng Pengkol adalah figur-figur yang berdakwah di bawah ancaman rezim Sunan Pakubuwana II. Karena hidup dalam perburuan, tentu tak sempat membangun masjid. Meski begitu, mereka tetap membangun energi peradaban melalui konsep “mulang santri”.
Meski diburu rezim Pakubuwana II, mereka menjadikan Guyangan, Pengkol, dan Sranak sebagai segitiga peradaban islam periode 1700 M. Keberadaannya menjadi saksi empiris betapa islam sangat dekat dengan maritim sungai. Mereka seperti percaya, bahwa aliran sungai menjadi semiotika mengalirnya hayat ilmu dan hayat peradaban.
Pada era Geger Perjanjian Giyanti (1755), komunitas islam di bantaran Guyangan, Pengkol, dan Sranak sudah besar. Ulama Pinggir Bengawan memang selalu punya peran penting di tiap zaman. Tapi keberadaannya selalu indie tanpa pernah bisa dipolitisasi. Ini terbukti.
Perjanjian Giyanti (1755 M) memecah Mataram Islam menjadi dua bagian. Kasunanan Surakarta (dipimpin Pakubuwana) dan Kesultanan Yogyakarta (dipimpin Hamengkubuwana). Jipang Padangan tentu lebih dekat dengan Kesultanan Yogyakarta. Sebab, Yogyakarta dinilai masih membawa semangat “Kesultanan Pajang” dalam melawan Belanda. Tentu ini empiris seperti dicatat buku Sedjarah Bodjonegoro (1988).