Meski cita-cita menjadi ulama tidak terwujud, namun Bung Hatta berperan besar dalam proses pendirian institusi perguruan tinggi yang cita-cita utamanya adalah membentuk ulama.
Ulama, dalam Islam, disebut sebagai pewaris nabi. Selain itu, kematian seorang ulama itu tanda hilangnya satu kebaikan di dunia. Betapa pentingnya kedudukan dan peran ulama dalam kehidupan. Eksistensi ulama diperlukan dalam menjaga cahaya agama agar benar-benar hidup di tengah-tengah manusia dengan segala permasalahannya.
Menyadari pentingnya peran ulama, umat Islam Indonesia memimpikan hadirnya sekolah tinggi Islam yang mampu menjadi tempat untuk mendidik, mengkader, dan menyiapkan hadirnya ulama. Cita-cita itu akhirnya terwujud pada tahun 1944.
Pada 20 November 1944 dibentuklah panitia khusus pendirian sekolah tinggi Islam. Panitia ini diketuai oleh Mohammad Hatta. Tindak lanjut dari panitia ini, akhirnya, membuahkan hasil berupa pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 8 Juli 1945 di Jakarta. Mohammad Hatta menjadi ketua Yayasan Sekolah Tinggi Islam dan Mohammad Natsir sebagai sekretarisnya.
Saat ibukota dipindahkan ke Yogyakarta menyusul situasi revolusi kemerdekaan memuncak di Jakarta, STI juga ikut memindahkan aktivitasnya ke Yogyakarta. Para dosen dan mahasiswa STI ikut terlibat dengan revolusi, sehingga aktivitas STI ditutup untuk sementara waktu.
Aktivitas STI dibuka kembali pada 10 April 1946 di Yogyakarta. Hadir pada saat pembukaan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang sekaligus ketua Yayasan STI. Dalam acara pembukaan STI itu Bung Hatta menyampaikan pidato dengan judul Sifat Sekolah Tinggi Islam.
“Tetap ulama besar dapat dihitung djumlahnja… Oleh karena itu dunia senantiasa kekurangan ulama besar, sebagaimana dunia umumnja kekurangan orang besar… Sebab itu, kalau kita ingin melihat bertambahnja djumlah ulama besar, hendaklah disediakan tempat mendidik tambahan itu. Sekolah tinggilah tempat membentuknja,” ungkap Hatta dalam pidatonya. Petikan pidato tersebut menggambarkan kegelisahan Hatta tentang kelangkaan sosok ulama.
Sekolah tinggi Islam harus menjadi tempat menyempurnakan pendidikan agama bagi para siswa. Didikan agama di langgar dan surau amat baik dalam menanamkan perasaan dan praktik berislam. Perasaan beragama hasil didikan di langgar dan surau akan menjadi pelita anak sejak kecil hingga dewasa.
“Kekurangan pada didikan langgar ialah, bahwa adjarannja satu hadap sadja, semata-mata ke djalan agama,” ungkap Bung Hatta. “Langgar tidak memberikan pengetahuan jang dapat dipakai untuk berdjuang mentjari penghidupan sehari-hari.”
Sekolah Tinggi Islam mempunyai tugas untuk mengajarkan secara integratif dan tidak dikotomis antara ajaran agama dan ilmu pengetahuan. STI mempunyai cita-cita menghasilkan ulama yang pakar dalam dua bidang sekaligus: ajaran agama Islam secara mendalam dan penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan umum.
“Di sekolah Tinggi Islam itu akan bertemu Agama dan Ilmu dalam suasana kerdja bersama, untuk membimbing masjarakat kedalam kesedjahteraan,” sambung Hatta.
Gambaran ulama dalam ideal Hatta adalah sosok yang memiliki kualifikasi ilmu agama Islam yang mendalam sekaligus mempunyai bekal ilmu pengetahuan umum agar mampu menyelami jiwa masyarakat dan memberi jawaban atas permasalahan di tengah-tengah masyarakat. Ulama harus terlibat dan hadir di tengah masyarakat.
Dengan paradigma demikian, maka di Sekolah Tinggi Islam, selain diajarkan pokok-pokok ajaran Islam dalam lingkup pengkajian keilmuan secara ilmiah, juga penting adanya pengajaran tentang sejarah, sosiologi, filsafat, dan hukum tata negara.
“Udjud Sekolah Tinggi Islam ialah membentuk ulama jang berpengetahuan dalam dan berpendirian luas serta mempunjai semangat jang dinamis.”
Pada bulan Februari 1948 disepakati perubahan nama dari Sekolah Tinggi Islam (STI) menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Perubahan nama ini diresmikan tanggal 10 Maret 1948.
Sebagai penghargaan atas jasa Yogyakarta dalam berjuang dan mempertahankan kemerdekaan, Presiden Soekarno memberikan status Negeri untuk Universitas Gadjah Mada pada 19 Desember 1949. UGM menjadi simbol kekuatan nasionalis.
Presiden Soekarno juga berencana memberikan status negeri untuk UII sebagai simbol kekuatan kelompok agama. Pengelola UII hanya menyetujui Fakultas Agama yang diberikan status negeri. Lalu berdirilah STAIN, cikal bakal IAIN dan UIN Yogyakarta.
Demikian, Bung Hatta, yang sedari kecil dicita-citakan keluarganya untuk menjadi ulama dan ahli agama. Meski cita-cita menjadi ulama tidak terwujud, namun Bung Hatta berperan besar dalam proses pendirian institusi perguruan tinggi yang cita-cita utamanya adalah membentuk ulama.
Demikian pula, pada saat pendudukan Jepang, sebagaimana disampaikan oleh Deliar Noer, Bung Hatta pernah ditawari untuk memimpin NU. Hatta juga pernah ditawari oleh Mas Mansur, ketua Muhammadiyah saat itu.
Jika Bung Hatta berkenan, Mas Mansur akan melobi pemerintah Belanda agar memindahkan Bung Hatta dari pengasingannya di Banda Neira ke Makassar sehingga Bung Hatta bisa berkiprah kepada umat. Dua tawaran dari ormas besar ini menunjukkan posisi Bung Hatta di mata umat.