Samin menjadi salah satu dari sekian banyak kebudayaan yang ada di Bojonegoro. Sejarah kebudayaan masyarakat Samin berasal dari satu sumber utama. Yaitu ajaran yang disebarkan oleh Samin Surasentika.
Bojonegoro merupakan satu kawasan dengan multikulturalisme. Kultur ini tidak hanya perkembangan dari kultur Jawa secara umum. Namun juga kultur yang memang secara alami berkembang di Bojonegoro. Dalam hal ini kita tentu mengenal Suku Samin
Nabs, meski berasal dari ajaran satu orang, sejarah masyarakat Samin didefinisikan berbeda-beda dalam berbagai literatur. Termasuk tentang persebaran ajaran Samin di daerah Bojonegoro maupun Blora.
Beberapa penstudi dari Barat menyebut Surasentika sebagai tokoh petani yang memberontak kolonialisme. C.L.M. Penders, M.A., Ph.D., dari Universitas Queensland, Australia menuliskan Surasentika sebagai petani yang tidak berpendidikan dari desa Randublatung di daerah Blora.
Dalam perkembangannya, banyak sumber literatur lain yang menyatakan hal berkebalikan. Seperti Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo yang menyebutkan bahwa Samin Surasentika adalah seorang intelektual desa yang tinggal di Desa Klopodhuwur, Blora.
Surasentika juga merupakan pemimpin yang dihormati, guru spiritual, dan pemimpin pergerakan melawan pemerintah kolonial Belanda.
Menurut sejarah yang ditulis Hutomo pada tahun 1996, Surasentika merupakan anak dari Raden Surawijaya. Tokoh ini sering disebut Samin Sepuh. Ia seorang residivis bagi pemerintah kolonial Belanda. Sering keluar-masuk penjara karena mencuri, dan membagikan hasil curian tersebut kepada masyarakat miskin di pedesaan Bojonegoro.
Dapat dikatakan bahwa secara turun temurun, Surasentika mendapatkan penerimaan yang baik oleh masyarakat. Tentunya karena kontribusinya terhadap masyarakat. Hal ini mempermudah penyebaran ajaran Samin.
Perdebatan terkait ajaran Samin ini dimulai ketika Samin Surasentika mulai menyebarkan ajarannya dengan dasar agama Adam. Agama Adam di deskripsikan sebagai suatu kepercayaan yang berpusat pada interaksi bumi dan manusia.
Terdapat nilai tentang kesuburan pertanian dan pengelolaan tanah. Tidak hanya sebagai hubungan eksploitatif, namun juga sebagai interaksi.
Pemikiran mengenai agama oleh Saminisme memang lekat dengan ikatan manusia dengan tanah. Bahwa tanah adalah tempat manusia berpijak, dan mendapatkan kebutuhannya untuk hidup.
Oleh karena itu, mayoritas masyarakat Samin menjadi petani atau pekerjaan mengolah tanah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Perubahan terjadi ketika Belanda datang di tanah Jawa untuk menjajah, kemudian Surasentika menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap ikatan suci antara petani dan bumi. Belanda sebagai pihak asing dianggap memutus ikatan suci antara manusia dan tanah.
Karena itulah Surasentika mulai menyebarkan ide-ide untuk menentang bentuk relasi apapun dengan Kolonial Belanda. Hal ini juga sebagai upaya peneguhan nilai suci lama yang terancam oleh campur tangan luar.
Ajaran agama Adam mengajarkan bahwa mencuri, berdusta, dan berzina terlarang bagi penganut Samin. Wanita, seperti petani, juga diperlakukan dengan hormat oleh orang Samin.
Surasentika dalam proses dakwahnya memiliki pedoman berupa lima kitab yang disebut sebagai Layang Jamus Kalimasada, yang terdiri atas Layang Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kasajatèn, Serat Uri-uri Pambudi, Serat Jati Sawit, dan Serat Lampahing Urip.
Titik perdebatannnya terletak pada nilai agama Adam yang tidak dapat diasosiasikan terhadap agama yang berkembang pada masa itu. Sehingga, secara serta merta agama Adam dikatakan sebagai atheis, hingga kemudian mereka mulai mengambil nilai-nilai yang dianut oleh agama Budha.
Surasentika mencoba membentuk gerakan perlawanan yang tidak menggunakan sarana kekerasan fisik –mirip dengan konsep Ahimsa Gandhi. Inilah model perlawanan secara halus, dengan cara nonfisik melalui pendekatan kultural.
Perlawanan kultural tersebut kemudian berhasil menarik banyak pengikut ajaran Samin. Hal ini membuat Belanda melihat pergerakan tersebut sebagai sebuah ancaman. Muncullah label terbelakang, tidak sopan, pemberontak, pembangkang, tertutup, hingga tidak mengenal agama.
Belanda kemudian menekan persebaran ideologi Saminisme dengan mengasingkan Surasentika ke daerah yang sekarang disebut Sawahlunto.
Ajaran Saminisme banyak berbicara mengenai cara hidup manusia yang sederhana, mengutamakan kedamaian, dan sikap saling menolong. Terdapat ungkapan-ungkapan khas Samin yang dapat merefleksikan nilai-nilai adat masyarakat.
Diantaranya adalah nrimo (sabar menerima), rilo (ikhlas), trokal (kerja keras). Selain itu ada ungkapan sepi ing pamrih rame ing gawe artinya membantu orang lain dengan bekerja tanpa pamrih. Ojo waton ngomong, ning ngomong kang waton yang artinya jangan banyak berbicara, tapi berbicaralah apa adanya.
Serta sakdumuk bathuk saknyari bumi, yaitu kewajiban seseorang untuk mempertahankan kedaulatan wilayahnya, dengan membela negara sampai titik darah penghabisan.
Dari sini, Nabs, kita patut berbangga dan mengimplementasikan ajaran Samin di kehidupan sehari-hari. Ajaran Samin dapat dikatakan sebagai salah satu sikap anti-kolonialisme. Dengan memberontak, membangkang, dan lain-lain sebagai upaya untuk mempertahankan nilai-nilai adat yang diyakini.
Dari sini, kita juga belajar untuk menjadi keukeuh dengan keyakinan kita. Asalkan itu memang baik dan benar.