Hidup memang tak selalu baik-baik saja. Pada konteks tertentu, kabar buruk amat baik demi laku penyadaran. Tapi, jika banyaknya kabar buruk memicu tertutupnya kabar baik yang menginspirasi, kondisi itu harus diseimbangkan.
Seorang nenek tua yang hidup sebatang kara dan setiap hari berjualan nasi pecel selama puluhan tahun, bisa menabung untuk berangkat haji. Kisah teramat menginspirasi itu ada di Kota Bojonegoro.
Namun sayang, sangat jarang— untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali — masyarakat pembaca yang mengetahui kisah tersebut. Karena, mayoritas media sibuk memposting perihal negatif.
Padahal, andai masyarakat pembaca tahu, tidak sedikit yang bakal termotivasi untuk menjalani hidup dan pekerjaan lebih bersemangat lagi. Di tengah kesumpekan hidup, masih banyak kisah-kisah melegakan yang mampu menenangkan hati. Sayangnya, tidak banyak yang menuliskannya. Sehingga, banyak yang tidak mengetahuinya.
Bad news is good news. Kabar buruk adalah berita yang bagus. Adagium itu menjadi semacam label tak tertulis dan mengakar. Terlebih, era digital seperti saat ini. Dunia seperti disesaki kabar buruk nan mencemaskan.
Dunia seolah hanya ada kejadian yang memicu rasa cemas. Bencana, korupsi, kisruh politik, hingga tindak intoleransi. Bahkan, berita sepele seperti orang jatuh dari sepeda motor pun jadi headline asal mengandung unsur kecemasan. Hmm
Nabs, apa sih yang membikin banyak sekali konten berita bernada negatif?
Pengajar psikologi dan sains kognitif dari Universitas Sheffield, Tom Stafford, seperti dikutip The Guardian pada artikel berjudul And now for the good news: why the media are taking a positive outlook menjelaskan, dari dulu berita berpusat pada hal-hal negatif karena berhubungan dengan insting ketakutan manusia. Konsekuensinya, secara umum, berita negatif lebih menarik perhatian.
Bagi industri yang berjualan “perhatian publik”, menarik perhatian adalah tujuan utama. Sehingga, asal mampu menarik perhatian publik, menjual kecemasan dan ketakutan pun harus dilakukan. Sayangnya, porsinya berlebih. Dan sesuatu yang berlebih, kita tahu, pasti tidak baik.
Pemimpin redaksi The Positive News, Seán Dagan Wood, dikutip dari artikel yang sama mengungkapkan, Fokus industri berita pada berita buruk biasanya bertujuan baik, berangkat dari komitmen utama sebagai kontrol sosial (society’s watchdog). Namun, bagi media massa secara keseluruhan mentalitas seperti itu sudah melenceng terlalu jauh.
Sebab, di tengah merebaknya media sosial dan media online berbasis blogspot, banyak sekali oknum yang memanfaatkan kecemasan dan ketakutan dan kekalutan pembaca untuk mendulang iklan. Semakin buruk berita yang disajikan, semakin besar bargaining powernya untuk mengancam sekaligus mengeruk iklan.
Berlebihnya kabar buruk pun kian lama kian dipertanyakan. Sebab, selain berdampak negatif pada sisi psikologis pembaca, niat awal sebagai society’s watchdog pun kian terlupakan. Yang ada hanya menjual kecemasan dan aib orang lain demi keuntungan semata. Sebab ada daya tawar tersendiri pada kabar buruk. Dan sayangnya itu dimanfaatkan untuk laku oportunistik pihak tertentu.
Belakangan, kabar buruk dianggap kurang elegan dan kampungan, terlebih oleh generasi milenial. Alasannya, selain hampir semua orang bisa memproduksi kabar buruk dengan cepat melalui media sosial, dampak yang dihasilkan nihil, kecuali kecemasan belaka.
Pada artikel berjudul Good news is good business, but not a cure-all for journalism yang diterbitkan Columbia Journalism Review, Seán Dagan Wood menegaskan jika bentuk jurnalisme yang lebih positif tidak hanya bermanfaat bagi kesejahteraan, tapi juga membantu mencari solusi potensial untuk masalah yang dihadapi. Dan, tentu saja, baik untuk jurnalisme itu sendiri.
Hidup memang tidak selalu baik-baik saja. Dan pada konteks tertentu, kabar buruk pun baik demi laku penyadaran. Tapi, jika terlalu banyaknya kabar buruk memicu tertutupnya kabar baik yang menginspirasi, tentu saja kondisi itu sangat buruk dan disayangkan.
Karena itu, harus ada langkah penyeimbangan. Agar kabar baik juga menempati porsi penting dalam kehidupan khalayak pembaca. Tujuannya, tentu menebar optimisme dan harapan agar hidup benar-benar dimaknai sebagai nikmat Tuhan. Bukan sebagai kecaman dan kutukan saja.
Di Jurnaba, kami memaknai jurnalisme sebagai wasilah informasi. Sehingga jurnalisme adalah laku syiar dakwah. Layaknya syiar; ada amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) dan nahi mungkar (mencegah keburukan). Dan jurnaba lebih condong pada ajakan kebaikan daripada mencegah keburukan.
Meski, pada kenyataannya nanti, kabar baik mampu mengajak masyarakat untuk bersikap baik pada apa yang ada di sekitarnya. Sekaligus, kabar baik juga mampu mencegah keburukan karena sesaknya kabar buruk mampu diseimbangkan.
Seorang nenek tua di Bojonegoro yang hidup sebatang kara dan tiap hari berjualan nasi pecel selama puluhan tahun— hingga mampu menabung untuk berangkat haji— harusnya mampu menghangatkan hati kita yang teramat dingin akibat sumpeknya cobaan hidup.
Kami meyakini jika masih sangat banyak kabar baik penghangat hati seperti itu yang harus dimunculkan di permukaan. Bukan demi apa-apa, tapi demi mengkonstruksi optimisme dan semangat menjalani hidup di tengah banyaknya masalah yang kita hadapi.