Bukan tugas manusia untuk menilai baik buruk pilihan individu. Di era yang mudah membanding-bandingkan hidup seperti saat ini, kita butuh keahlian berempati.
Jagat sosial media sedang disibukkan dengan bahasan childfree. Ini merupakan respon masyarakat terkait komentar seorang content creator YouTube, Gita Savitri. Di sebuah komentar netizen yang mengatakan dia nampak awet muda, dia membalas bahwa tidak mempunyai anak adalah cara alami untuk tetap awet muda.
“Not having kids is indeed natural anti-aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox.” tulisnya di kolom komentar.
Begitulah kiranya awal mula kontroversi terkait childfree di sosial media. Netizen ramai-ramai berkomentar, bahkan menulis panjang menanggapi pernyataan Gita. Khususnya adalah perempuan yang telah menjadi ibu atau berjuang mendapatkan anak. Tidak hanya masyarakat umum, para publik figur juga turut berkomentar.
Mari kita coba analisis isi komentar Gita ini secara sotoy saja. Untuk sementara, mari mengabaikan baik-buruk penilaian etika. Sebab si empunya komentar-lah yang sesungguhnya tahu intensi dan maksud yang ingin disampaikannya.
Dalam kasus ini, komentar yang ditanggapi Gita sebetulnya tidak membahas soal anak sama sekali. Netizen hanya memuji betapa Gita masih nampak muda meskipun sudah berusia kepala-3.
Gita kemudian membeberkan secara garis besar, ada tiga poin yang menjadi rahasianya awet muda. Pertama soal pentingnya tidur cukup, yaitu 8 jam dalam sehari. Kedua, menghindari stres, yang mana menurutnya suara teriakan anak adalah salah satu trigger stres. Ketiga, tersedianya budget untuk merawat diri, khususnya botox kalau nanti muncul keriput di wajah.
Lalu, mengapa komentar ini menjadi kontroversi? Bahkan hampir semua netizen perempuan turun gunung mengomentari bahkan menyidir hal ini? Untuk membahasnya, tulisan ini akan dibagi jadi tiga bagian yang membahas soal; 1) kontroversi dan argumentasi Gita soal childfree selain masalah resep awet muda, 2) menelisik pesan apa yang sebetulnya bisa kita pelajari dari masalah yang mencatut hampir semua ibu di ranah sosial media.
Bahasan Pertama: Kontroversi dan Argumentasi Gita soal Childfree
Dalam kesempatan lain, Gita sudah mendeklarasikan pilihannya untuk childfree sejak Januari 2021. Salah satunya adalah yang disampaikan di konten Tanya Jawab di YouTube Analisa Channel milik seorang Psikolog Klinis, Analisa Widyaningrum. Dalam obrolan tersebut, Gita pun bercerita bahwa ia telah bertanya ke beberapa orang tentang alasan punya anak. Dia tidak mendapatkan jawaban yang tidak terdengar selfish / egois menurutnya. Salah satunya adalah jawaban yang ia dapat dari Mamanya.
“Mama tidak tahu bahwa mama punya pilihan. Mama pikir punya anak adalah hal yang kamu lakukan setelah menikah,” Gita menyampaikan jawaban Mamanya saat ditanya soal alasan punya anak.
Dalam video itu pula Gita memaparkan bahwa perihal childfree adalah otoritas individu, khususnya perempuan. Bahwa untuk memilih punya anak atau tidak adalah keputusan dan tanggung jawab pribadi. Bukan karena tekanan sosial atau timeline saklek yang harus dilalui setiap manusia. Dari sini, pembahasan soal childfree diangkat memang terpisah atau tidak menyinggung soal agama. Kembali lagi, karena yang dipertimbangkan adalah apakah seseorang siap menjalankan tanggung jawab besar untuk mengasuh dan mendidik anak.
Lalu, mengapa baru sekarang dikritik habis-habisan? Rasanya, kontroversi ini tidak dapat dipisahkan dengan persoalan empati. Ini erat kaitannya dengan kemampuan untuk memahami posisi orang lain. Baik Gita yang terkesan arogan karena pilihannya untuk tidak memiliki anak. Maupun beberapa netizen yang juga terkesan memaksakan bahwa punya anak adalah jalan yang lebih baik. Dalam sebuah pilihan, setiap orang dapat mengambil keputusannya masing-masing. Tanpa saling menghakimi, apalagi saling mengolok-olok pilihan orang lain.
Bahasan Kedua: Pesan Apa yang Bisa Kita Pelajari
Dalam kontroversi ini, sebetulnya kita sedang membahas pilihan individu. Tidak hanya soal pilihan punya anak, namun juga pilihan hidup secara keseluruhan. Pilihan harapannya dapat memerdekakan individu dari ekspektasi dan tekanan siapapun. Terlepas dari penilaian baik buruknya pandangan atau cara Gita menyampaikan pendapatnya, kita memang perlu membahas lebih jauh perihal alasan atau dorongan seorang individu untuk memiliki anak.
Ramainya pembahasan childfree secara produktif bisa dimaknai dalam dua momentum penting. Pertama adalah sebagai momentum kesadaran bahwa memiliki anak adalah pilihan setiap individu atau pasangan suami-istri. Sebagai pilihan, tentu datang pertanggungjawaban dan kesadaran. Pada akhirnya, jika individu atau pasangan memilih untuk punya anak, maka orang tua idealnya tidak merasa paling berkorban. Anak juga tidak seharusnya merasa berhutang budi pada orang tuanya. Sebab pertanggungjawaban atas pengasuhan dan didikan adalah milik orang tua dalam menjalankan kewajiban yang telah digariskan oleh Sang Pencipta.
Kedua, ini menjadi momentum yang tepat untuk mulai berhenti bertanya; kapan menikah, kapan punya anak, dan pertanyaan sejenisnya. Hentikan template pertanyaan ini di generasi yang sudah-sudah. Saatnya generasi kini dan seterusnya membuat list pertanyaan baru. Pertanyaan yang tetap bisa jadi bahan obrolan, namun tidak menjadi desakan bagi orang lain untuk segera melakukan ini dan itu.
Tidak dapat dipungkiri, di Indonesia, keputusan memiliki anak sedikit banyak juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut riset dari beberapa ahli, proses pengambilan keputusan seseorang memang kompleks. Terutama yang berkaitan dengan pilihan hidup seperti pernikahan, miliki anak, dan lainnya.
Menurut Alan G. Sanfey (2007) dalam jurnal Decision Neuroscience: New Directions in Studies of Judgment and Decision Making menyebutkan bahwa pengambilan keputusan yang penting dalam hidup dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti konteks, interaksi sosial dan perbedaan pandangan individu.
Dapat dikatakan bahwa jauh sebelum mindset seseorang terbentuk, ada pengaruh lingkungan yang mengarahkan dan membentuk preferensi seseorang. Seperti tetangga yang terus bertanya dan dipenuhi prasangka.
Belum lagi tambahan rentetan dan tuntutan dari keluarga inti maupun keluarga besar. Tekanan sosial ini terkadang menjadi urgensi bagi diri kita, supaya segera terbebas dari belenggu pertanyaan. Segera saja menikah dan punya anak, biar tidak pusing terus menerus ditanya.
Terlepas dari kontroversi yang ada, isu ini seharusnya menjadi pembelajaran penting bagi semua. Tentang pentingnya menjaga etika dalam menyampaikan pandangan hidup. Tentang proses menghargai keputusan yang diambil oleh orang lain, serta yang teramat penting adalah untuk mencoba memahami kondisi orang lain.
Empati sangat dibutuhkan di era yang semakin mudah bagi kita untuk membanding-bandingkan hidup. Berempati pada diri sendiri, bahwa tidak masalah jika kita terlihat tertinggal.
Berempati pada orang lain, bahwa tidak perlu adu nasib membuktikan yang paling sengsara dan yang paling berjuang. Semua tentu berjuang dengan kondisinya masing-masing. Lagi pula, bukan tugas manusia untuk menilai baik buruk pilihan seorang individu. Biarlah jadi dialektika yang sehat, dan bukan untuk memecah-belah kubu.