Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Mahomets Gesang: Kekaguman Von Goethe pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW

Ahmad Wahyu Rizkiawan by Ahmad Wahyu Rizkiawan
16/12/2024
in Cecurhatan
Mahomets Gesang: Kekaguman Von Goethe pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW

Wolfgang Von Goethe (Jurnaba.co)

Wolfgang Von Goethe dikenal sebagai poros intelektual Dunia Barat. Dari Gus Dur dan Bapak lah, akhirnya saya tahu bahwa Goethe memeluk kekaguman pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) merupakan penulis dan ilmuwan yang dianggap sebagai tokoh puncak Pencerahan Jerman dari abad 18 M. Sebagai penulis, Goethe merupakan sastrawan terbesar Jerman. Meski, pengaruh Goethe tak sekadar di bidang sastra. Namun menyebar ke dalam filsafat, budaya, sains, dan banyak bidang ilmu pengetahuan lainnya.

Said Abdul Latif menyebut, Goethe figur yang mengagumi Islam. Kekaguman Goethe pada Islam dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, dibuktikan dengan sejumlah karya tulis. Di antaranya puisi berjudul Mahomets Gesang (Nyanyian Muhammad SAW) yang ia tulis dan persembahkan untuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga: Ekosufisme Al Ghazali, Etika Ekologi Imam Ghazali 

Sepanjang hidupnya, Goethe menyimpan ketertarikan mendalam pada Islam dan kekayaan tradisi sastra-filsafatnya. Ini bukan omong kosong. Karya Goethe menunjukkan cinta dan rasa hormat yang mendalam terhadap Islam, dan ini tercermin langsung dalam karya sastra, tulisan pribadi, atau bahkan jejak percakapannya.

Pada usia 23 tahun, tepatnya pada tahun 1772 M, Goethe menggubah syair pujian untuk Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ia juga mengakui dengan jujur ​​bahwa ia sedang mempertimbangkan untuk merayakan kekaguman ketika Al-Qur’an dipersembahkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW dari surga.

Goethe dan Al-Quran

Goethe sangat mengagumi Al Quran. Ini terbukti dari jejak korespondensi yang pernah ia lakukan dengan Peter Eckermann (1792 – 1854). Goethe memuji ajaran moral dan keindahan puitis dalam Al-Quran. Kepada Eckermann, Goethe berkata: “Al-Quran adalah kitab wahyu bagi umat manusia di segala waktu dan di segala tempat.”

Pernyataan ini, memuat pandangannya tentang Al-Quran sebagai sumber kebijaksanaan abadi nan universal. Goethe memang tercatat pernah beberapakali membaca Al-Quran. Dia juga menulis beberapa surah dan kekagumannya pada Al Quran.

Tak hanya membaca dan mengulas Al Quran, Wolfgang Von Goethe, bahkan mengumpulkan berbagai tulisan kekaguman itu dengan judul Koran-Auszüge (Ringkasan Al-Quran). Teks manuskrip ini, saat ini tersimpan rapi di dalam Museum Goethe, di Düsseldorf, Nordrhein-Westfalen Jerman.

Goethe dan Nabi Muhammad SAW

Kekaguman Goethe terhadap Kanjeng  Nabi Muhammad SAW merupakan aspek penting dari keterlibatannya dengan ajaran Islam. Goethe mengungkapkan penghormatan ini dalam puisi Mahomets Gesang (Nyanyian Muhammad), yang ia tulis pada usia 23 tahun.

Puisi ini menggambarkan Kanjeng Nabi sebagai kekuatan alam yang dinamis dan transformatif. Goethe menggambarkan Kanjeng Nabi sebagai aliran deras yang bermula dari mata air kecil, dan tumbuh menjadi sungai besar. Konsep air dan sungai ini, melambangkan perjalanan spiritual dan dampak pesan Kanjeng Nabi SAW terhadap dunia.

Salah satu penjelasan paling rinci tentang puisi berjudul “Nyanyian Muhammad” ini, justru ditulis oleh filsuf kenamaan Jerman, Friedrich Hegel (1770 – 1831). Ya!, Friedrich Hegel — guru dari Karl Marx itu— adalah junior dari Goethe. Tak heran jika Hegel sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Goethe.

Dalam analisisnya, Hegel menyebut puisi Goethe itu dengan: “Jadi, kebangkitan Muhammad SAW yang berani, penyebaran agamanya yang cepat, dan penyatuan semua bangsa di bawah satu agama telah berhasil digambarkan melalui simbol sungai yang kuat.”

Friedrich Hegel, guru dari masyayikh komunisme dunia (Karl Marx) itu, mampu menggambarkan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan penggambaran yang sangat puitis. Melalui karya Goethe, Hegel menyebut konsep dakwah Kanjeng Nabi Muhammad SAW sebagai air yang mengalir dan sungai yang kuat.

Goethe dan Sufisme

Ketertarikan Goethe pada ajaran Islam, sebagian memang terinspirasi oleh keingintahuan intelektualnya yang amat luas akan pencarian terhadap kebenaran universal. Selain itu, Goethe juga tertarik pada dimensi spiritual dan moral Islam, serta aspek puitis-mistis yang terkandung di dalam ajaran Islam.

Pendekatan Goethe terhadap Islam tak terbatas pada kekaguman intelektual. Tapi juga pada dimensi spiritual. Goethe terpengaruh tradisi Sufi, yang menekankan mistisisme dan pengalaman Ilahiah. Tema-tema cinta, persatuan, dan pencarian kebenaran dalam puisi Sufi, sangat mempengaruhi sisi kepekaan spiritual Goethe.

Pengaruh sufisme-mistisisme ini, terlihat dalam karya-karya Goethe. Di mana, Goethe sering mengeksplorasi tema-tema cinta ilahi dan perjuangan manusia. Goethe juga memiliki manuskrip karya Rumi, Syirazi, Attar, Tafsir Qur’an, kamus Arab-Turki, dan sejumlah publikasi terkait Islam dan Sufi.

Kekaguman Goethe pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan Al-Quran, terlihat jelas dalam berbagai karyanya. Namun yang paling menonjol, tentu saja, adalah karya berupa kumpulan puisi berjudul: West-östlicher Divan (Diwan Barat-Timur). Goethe menulis karya ini antara tahun 1814 hingga 1819.

Buku Diwan Barat-Timur (Goethe)

Karya Goethe ini, dipengaruhi oleh penyair terbesar Persia, Asy-Syirazi (1310 – 1389 M), melalui pembacaan kitab Diwan Syams al-Din Hafiz Syirazi yang diterjemah ke Bahasa Jerman. Saat membaca kitab Asy-Syirazi itu, Goethe mengatakan: “Aku meletakkan buku itu di atas mejaku, dan aku ikut hanyut dan mabuk ke dalam ekstase Syirazi”.

Karya Syekh Asy-Syirazi ini, kata Goethe, menyanyikan lagu-lagu tentang Bulbul dan bunga mawar, kemabukan dan cinta dalam ketenangan yang indah. Puisi Asy-Syirazi menggugah kesadaran kemanusiaan, membawa optimisme, namun sarat dengan nuansa mistik yang menukik jantung manusia.

Setelah membaca kitab Diwan Syams al-Din Hafiz Syirazi itulah, Goethe terinspirasi menulis buku berjudul West-östlicher Divan (Diwan Barat-Timur), sebuah karya puitis yang merupakan perayaan budaya dan konsep dialektika  antara Timur dan Barat.

Goethe menulis, “Wer sich selbst und andere kennt, wird auch hier erkennen: Orient und Okzident sind nicht mehr zu trennen” (Dia yang mengenal dirinya sendiri dan orang lain akan mengenali: Timur dan Barat tidak dapat lagi dipisahkan).

Kalimat ini merangkum keyakinannya pada keterpisahan budaya Timur dan Barat. Kalimat itu juga menggambarkan visi besar tentang pengalaman manusia yang bersatu di luar batas budaya dan agama, yang merupakan perspektif yang masih jarang ditemukan pada para pemikir Pencerahan Eropa.

Gus Dur dan Bapak

Usia saya 10 tahun ketika Bapak mulai sering mengajak saya berziarah. Satu kebiasaan yang identik Bapak, ketika melintasi sebuah pemakaman, ia akan bilang: “Itu rumah masa depan, semua akan kesana”. Kalimat itu selalu saya ingat sampai saat ini.

Di antara tempat paling sering diziarahi Bapak, adalah makam Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik dan Sunan Ampel Surabaya. Ada satu kebiasaan yang selalu saya kenang dari Bapak. Tiap kali berziarah, Bapak selalu mengajak saya untuk berjalan kaki.

Seingat saya, jika berziarah ke makam Mbah Malik Ibrahim Gresik, Bapak mengajak saya berjalan kaki mulai dari Prapatan Sentolang hingga sampai makam. Sementara saat berziarah ke Sunan Ampel, Bapak mengajak saya berjalan kaki mulai dari Jembatan Merah menuju Ampel Denta.

Bapak tak pernah memberitahu kenapa kami harus berjalan kaki. Saya juga tak pernah menanyakan itu. Pada sejumlah kesempatan, Bapak bahkan mengajak saya melepas sandal dan memasukkannya ke dalam tas. Kami berdua berjalan dengan ndlamak.

Kebiasaan itu, sepertinya hanya dilakukan Bapak ketika kami berziarah berdua. Sebab ketika berziarah secara rombongan, Bapak tak pernah mengajak saya melakukan kebiasaan berjalan kaki dan melepas sandal untuk berjalan ndlamak seperti itu.

Saat berjalan menuju lokasi itulah, Bapak akan banyak bercerita pada saya. Tentu, agar saya tak merasa kelelahan. Dan itu, bagi saya, adalah momen paling saya sukai saat berdua bersama Bapak.

Di saat seperti inilah, Bapak akan bercerita banyak pada saya — sebuah cerita yang mungkin tak akan saya dapati ketika berada pada suasana berbeda. Di antara cerita Bapak, yang sayup-sayup masih saya ingat, adalah tentang Islam di Tanah Eropa.

“Sok mben ojo kaget nek wong-wong Bule podo seneng karo agomo Islam” Begitu kata Bapak kepada saya, yang waktu itu masih kelas 4 Sekolah Dasar. Bapak bercerita demikian agar saya tak kelelahan saat berjalan.

“Koyok Gus Dur iku, tugase mbukak dalan kanggo wong Bule ben seneng karo agama Islam“. Inilah momen pertamakali saya mendengar nama Gus Dur, yang semula saya kira itu nama tetangga. Ternyata Gus Dur adalah presiden. Itu pun saya tahu dari foto yang terpasang di dinding rumah.

Sejak saat itu, saya mulai menyukai bermacam kisah tentang Gus Dur dan membaca apapun yang berkaitan dengannya. Dari sana pula, saya akhirnya mengenal Gandhi, Tolstoy, Goethe, serta Sufisme Aswaja di Eropa yang punya pengaruh besar terhadap keberislaman masyrakat Eropa saat ini.

Mungkin maksud Bapak dulu, orang-orang Eropa mempertimbangkan sesuatu dari apa yang dilihat. Saat melihat Islam adalah Gus Dur, mereka melihatnya sebagai agama kemanusiaan. Agama penerima taubat. Agama penyelamat. Dan agama yang welas asih pada bermacam takdir manusia.

Kini, Gus Dur sudah tidak ada. Bapak juga sudah tidak ada. Bapak sudah berada di Rumah Masa Depan, tempat yang sering beliau ceritakan, saat kami berdua melintasi sebuah pemakaman atau sedang berziarah bersama.

 

* Ditulis dalam rangka 40 Hari wafatnya Bapak, dan Haul ke-15 Gus Dur. 

Tags: Makin Tahu IndonesiaNabi Muhammad SawWolfgang von Goethe
Previous Post

Dorong Warga Sendangharjo Ambil Manfaat Sampah, KKN Unugiri Launching Program Pilah Sampah Mandiri

Next Post

Mie Godog, Hujan, dan Selimut Kerinduan

BERITA MENARIK LAINNYA

Zai TikTok: Pendakwah Muda dari Tasikmalaya yang Merangkul Gen Z Lewat Konten Digital
Cecurhatan

Zai TikTok: Pendakwah Muda dari Tasikmalaya yang Merangkul Gen Z Lewat Konten Digital

17/06/2025
Bersinergi Wujudkan Lingkungan Lestari 
Cecurhatan

Bersinergi Wujudkan Lingkungan Lestari 

16/06/2025
Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital
Cecurhatan

Perjalanan Husain Basyaiban dalam Dakwah Digital

14/06/2025

Anyar Nabs

Wastra Batik Bojonegoro Tercatat Sejak Seribu Tahun Lalu

Wastra Batik Bojonegoro Tercatat Sejak Seribu Tahun Lalu

17/06/2025
Zai TikTok: Pendakwah Muda dari Tasikmalaya yang Merangkul Gen Z Lewat Konten Digital

Zai TikTok: Pendakwah Muda dari Tasikmalaya yang Merangkul Gen Z Lewat Konten Digital

17/06/2025
Bersinergi Wujudkan Lingkungan Lestari 

Bersinergi Wujudkan Lingkungan Lestari 

16/06/2025
Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

Dony Hendrocahyono: Data Lapangan dan Kondusivitas Ruangan

15/06/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Penerbit Jurnaba
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • PUBLIKASI
  • JURNAKOLOGI

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: