Dia misterius, saya jadi curiga, tiba-tiba memberikan ayam, dibantu menyembelih pula. Dan kini, ayam beserta orangnya raib.
Langit sudah gelap, kilat menyambar-nyambar di selatan, pulang yuk. Demikian bapak mengajakku pulang, ketika mereka pamit sehabis mengaji di langgar.
Betapa kaget, teman-teman tiba-tiba bilang ini kan malam Minggu. Dan saya masih kolot menolak dan tidak mau pulang.
Meski baru kelas 4 SD, berani tidur di langgar adalah bukti lelaki sudah dewasa. Bisa perang melawan nyamuk sendiri.
Setiap malam Minggu biasanya kami tidur di langgar. Nanti malam kan acaranya ngliwet dan bakar ayam. Sumbangan dari seseorang, dia asing, bukan warga sekitar.
Dia hanya bilang ini syukuran, malam terakhirnya. Besok akan kembali, sambil mengambilkan seekor ayam jantan kemanggang dari tasnya.
Izroil telah memberinya kabar lewat pos. Demikian katanya tadi. Singkat, dan berlalu sambil ngurus di pojok langgar.
“Saya pulang dulu ya, makan, ibuku membuat oseng teri. Tahukan, teri kecil, dengan minyak sisa dan tomat hijau. Duh, kesukaan.”
“Nanti kembali kan?”
“Iya, sehabis makan pasti kembali, jawabnya penuh yakin.”
“Iya, tidak apa. Nanti jika kamu telah lima menit, saya tinggal pulang. Bapak sudah ngomel. Hanya karena kamu, aku mau tidur sini.”
Beberapa kang-kang telah datang membawa beras, periuk dan bumbu. Maklum, ada ayam. Si Ja’far mencari kayu di selatan pagar langgar. Dan Sodik mencuci beras. Kini aku yang paling kecil. Biasa, jadi anak suruhan.
“Micinnya belum ada Mon?”
“Iya kang, tak belikan di Mbok Nah. Bentar, butuh berapa?”
“Dua cukup kayaknya.”
“Ya, tunggu”.
Ayam kini siap disembelih, yang punya ikut memegangi dengan wajah penuh senyum dan puas. Ini malam terakhirnya.
Sebenarnya dokter sudah melarangnya keluar. Bahkan, bekas selang infus masih tampak segar. Ditutup kapas dan hansaplas.
“Kang mas semua, matursuwun, menerima ayam saya”.
“Sama-sama pak, kami juga senang.” Jawab kami serentak.
Tobing, sudah jam delapan belum tampak. Janjiku hampir telat lima menit, saya hitung kurang sepuluh detik; sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satu. Tiiit. Kemana kamu ini, Bing?
Hatiku ngomel, ya sudah saya tambahi dua menit, jika tidak datang pulang saja. Sambil menenteng tas kresek hitam berisi micin, sepanjang jalan sambil mengomel.
Sesampai di Langgar, ternyata Tobing belum datang juga. “Yo wes, tak tinggal mulih”.
Sarung dan kaos segera aku beresi, pulang. Batinku, tidur di rumah enak, ada obat nyamuk. Selimut dan bantal. Besok-besok saja menjadi lelaki dewasanya. Masih ada hari esok.
** **
“Na, di rumah? Ayo ke langgar”
Bapak sambil melihat jendela kembali masuk kamar dan memberitahu, “dicari Tobing kamu”.
Ayam yang baru saja disembelih hilang, seisi langgar gempar. Masak ayamnya pulang. Gak mungkin, tadi Kang Imron nyata-nyata yang menyembelihnya.
Kami mencari, seluruh semak dicari. Ilalang dan tumpukan daun jati dibuka. Dan hilang ayamnya, positif.
Bapak-bapak yang memberikan ayam juga tidak ada, entah kemana. Kita semua tidak tahu. Semua mencari, sejam berlalu, nasi telah masak, dan sambel juga sudah siap. Namun, ayam tidak lekas ditemukan.
Yo wes, ayamnya tidak mau dimakan. Belum rejeki kita. Makan sambel kita. Semua menggerutu tidak ikhlas, demikian juga saya. Masakan pertama di langgar dan menunya sambel.
Nasib memang, memperbaiki gizi tidak keturutan, menu sama dengan di rumah. Periuk dan latah semua dicuci di keran samping langgar. Sambil berceletuk, kang Ja’far menyalakan rokoknya.
Dia melempar pertanyaan, “Siapa kenal bapak tadi ?”
“Tidak, kelihatannya bukan orang sini.”
“Dia misterius, saya jadi curiga, tiba-tiba memberikan ayam, dibantu menyembelih pula. Dan kini, ayam beserta orangnya raib.”
“Iya kang, belum rejeki.” Sobri menjawabnya penuh pasrah.
Sambil membetulkan sarung untuk selimut, saya hanya mengamati pembicaraan mereka. Berpikir tentang siapa gerangan bapak tadi.
Langgar, malam itu, ramai, beberapa sudah siap tidur, dan sebagian masih jagongan di halaman.
** **
Setengah sebelas, pintu selatan langgar berderit, seseorang tampak mau masuk.
“Kang, kang, sudah tidur.”
Saya berdiri dan membangunkan kang Ja’far. Lalu menyalakan lampu.
“Iya, dalem.”
Maaf tadi ayamnya saya bawa pulang, dapat kabar terbaru, ini tidak malam terakhir.
“Lalu, kapan malam terakhirnya?” tanya Sobir, baru bangun.
“Malam terakhir saya dirahasiakan, nanti akan datang tiba-tiba. Tapi, pasti datang.”
Saya sedih, ayamnya sesampainya di rumah, ibu marah. Beliau bilang, “Shodakoh kok, diminta lagi, lupa kamu, jika memberi tangan kanan, tangan kiri jangan sampai tahu,”
“Ini kang, ayamnya saya kembalikan. Saya pamit ya. Ngapunten.” Tampak air matanya turun, kegalauan hatinya.
Semua orang di langgar terbelalak. Ayam habis sembelih mau diapakan, darah dan bulu masih belum diapa-apakan. Bumbu sudah habis, beras sudah habis. Mau masak lagi?
“Makannya besok jangan percaya kabar dari orang pintar; mati, rejeki, dan jodoh sudah jadi rahasiaNYA.” Tegas kang Ja’far kepada kita semua.
“Mon, antarkan ayamnya lekas sebelum jauh, besok bapak itu, masih butuh energi untuk kesedihannya, katakan rasa daging ayam masih enak.”