Mereka yang berjumpa bahkan sebelum benar-benar bertemu, dan energi yang selalu lahir dan tak segan membanjir.
Untuk memelihara semangat agar tak lekas padam, Ngaostik mengunjungi sejumlah kecamatan di Bojonegoro. Kunjungan pertama kemarin (24/8/2019), kami mendatangi kecamatan paling barat di Bojonegoro: Padangan.
Tepat pukul 20.00, Okky sampai di lokasi. Dia ditemui Mahendra, Kholid, dan Ifang — anak-anak Aufklarung yang mempersiapkan tempat dan acara. Okky memberitahu jika dia tak datang sendirian. Teman-teman beserta rombongan masih di belakang, kata Okky pada mereka.
Beberapa menit berselang, rombongan lain berdatangan menyusul ke lokasi; Wisnu, Tohir, Fitri, Arizka dan tentu saja, saya sendiri, sampai ke lokasi. Di sana, kami berjumpa Rizky yang sudah ada di lokasi saat kami datang.
mereka yang berjumpa bahkan sebelum dipertemukan.
Memasuki ruangan, kami disambut anak-anak Aufklarung beserta ornamen mural dan tumpukan buku yang ditata rapi di sebuah rak buku dari kayu jati tebal berwarna coklat. Di tempat ini lah, meski tak beraromakan festival, kami memperingati Ngaostik ke-10.
Setelah saling berkenalan, kami duduk melingkar untuk menggelar diskusi santai. Suasana kian hangat ketika Tyo, Andi dan Amat, komplotan pecinta film Padangan yang merupakan kawan masa kecil Rizky, ikut bergabung dalam diskusi.
Di kawasan identik rumah burung dan bangunan tua itu, kami bertemu anak-anak muda yang unik dan penuh cerita. Mereka berbagi cerita tentang bagaimana agitasi-propaganda literasi digalakkan di Padangan.
Saya diberi kesempatan membuka diskusi. Setelah itu, Tohir memberi sambutan dengan bercerita tentang pengalaman dan proses membaca. Menurutnya, membaca buku merupakan pengalaman yang sangat personal.
Ketika pengalaman membaca buku diperjumpakan dengan orang yang juga suka membaca buku, itu kenikmatan yang sangat disyukuri. Terlepas secara kuantitas tak banyak orang. Itu bukan menjadi masalah. Dan itu, kata dia, konsep yang mendasari militansi Ngaostik.
“Ngaostik itu seperti jiwa. Ia tidak besar dan tidak kecil. Tapi terus berdenyut,” katanya.
Bahkan ketika tak bergema dan tak berbunyi, Ngaostik akan tetap terus berdenyut dengan caranya sendiri. Bertamu dan menemui anak-anak muda di berbagai kecamatan Bojonegoro adalah salah satu cita-cita sekaligus cara bagaimana Ngaostik berdenyut.
energi yang selalu lahir dan tak segan membanjir.
Okky bercerita mengenai geliat literasi di Bojonegoro. Mengenai berbagai macam fenomena literasi yang akhir-akhir ini terjadi. Razia buku dan respon menggelar lapak serentak adalah satu cerita yang dia sampaikan pada forum diskusi.
Dia juga mengapresiasi militansi anak-anak Aufklarung yang mewajahkan literasi dalam bentuk mural dan grafiti. Baginya, apapun bentuk pesan yang disampaikan, mural dan grafiti tetaplah bagian dari syiar literasi.
“Gerakan literasi punya banyak wujud. Mural, tentu bagian darinya,” ucapnya.
Tyo nimbrung dengan menghubungkan literasi buku dan film. Bagaimana perkenalannya pada budaya literasi, justru diawali dari pengalamannya menonton film. Baginya, film bagian dari literasi yang sangat sering dijumpai sekaligus paling mudah dinikmati.
Dari film, dia mengenal banyak hal yang sesungguhnya bermuatan pesan layaknya buku. Dari sana pula, diskusi film sering dia lakukan. Meski, tentu saja, diskusi-diskusi itu bergerak secara alami tanpa konsep yang dipersiapkan.
“Saya justru mengenal banyak hal dari film. Dan dari sana, kalau sedang tidak malas, dulu saya perdalam dengan membaca buku,” ucap alumni Sejarah Unair 2005 itu.
Dengan kelucuan yang canggung, Tyo bercerita tentang pengalamannya bekerja di Penerbit Buku Erlangga, bagaimana dia membawakan buku-buku untuk Rizky, lalu Rizky membawa buku-buku itu untuk Tohir, lalu Tohir membawa buku-buku itu untuk Wisnu.
Tidak hanya buku. Dalam hal film pun sama. Tyo pernah memberikan donlotan film kepada Rizky, lalu Rizky membawakan donlotan film itu ke Tohir. Kisah bagaimana film dan buku mempertemukan Tyo dan Tohir, menjadi kisah yang cukup menarik.
“Dengan keajaiban entah apa, kami semua bisa berjumpa bahkan sebelum benar-benar bertemu,” ucap Rizky menyela cerita Tyo.
Cerita pengalaman Tyo tentang film dan pengalaman membawakan buku, berhasil memantik semangat Wisnu untuk juga bercerita tentang film dan buku. Mengingat, Wisnu menjadi sosok yang tak bisa lepas dari kisah dan referensi perfilman dan ide-ide kreatif memberdayakan buku.
Mendengar cerita Tyo, Wisnu seperti menemukan teman yang pas. Mereka lahir dan tumbuh di generasi dan bermacam film yang kemungkinan sama. Selain sama usianya, juga sama-sama menggunakan kacamata tebal. Khas lelaki yang suka nonton film.
“Film dan buku punya hakikat yang sama, menyampaikan pesan dan menghubungkan orang,” kata Wisnu.
Bagian paling menarik adalah ketika anak-anak Aufklarung, dalam hal ini Ifang, menuturkan perjalanan panjang dia dan kawan-kawannya dalam berhijrah. Dari sibuk mabuk-bermusik-berkelahi menjadi bermusik-bervespa dan berkarya saja.
Ifang mengaku lebih dulu akrab dengan seni mural daripada buku, tapi perkenalannya dengan buku membuat mural karyanya lebih berarti. Ada pesan yang disampaikan dalam setiap gambarnya. Meski agak berbeda, punya maksud yang sama: menggemakan literasi.
Menurut Ifang, melalui seni mural, dia dan kawan-kawan ingin menyampaikan yang tidak terkatakan, baik kepada pembaca lewat tulisan atau kepada mereka yang lebih suka menikmati gambar.
Ifang juga bercerita bagaimana pengalamannya menggambar sejumlah tembok di kawasan tersebut dan di mana saja titik-titik biasanya dia menghabiskan waktu untuk menggambar. Menurut Ifang, dengan membaca buku atau nonton film, imajinasi dan kekuatan gambar bisa sangat luas dan besar.
“Mural atau grafiti itu soal imajinasi. Jadi kalau imajinasinya pas-pasan, hasil gambarnya juga pas-pasan,” tuturnya.
Anggota Aufklarung lainnya, Mahendra mengatakan jika sebetulnya tulisan dan gambar itu sama. Sama-sama ada yang ingin disampaikan. Satu dengan membahasakan lewat tulisan, satu lagi membahasakan lewat gambar.
Mural, kata Mahendra, adalah seni pemberontakan. Namun, di lain sisi, juga mempercantik keindahan kota — asal, mural yang dibikin benar-benar bermuatan seni dan keindahan.
Karena itu, mural kadang dibenci sekaligus dicari dan dicintai. Dalam pembuatan mural, dia selalu menyelipkan konteks yang ingin disampaikan. Terutama kegelisahan akan isu-isu sosial di Indonesia.
“Pemahaman seperti itu kami dapat dari buku. Jadi semua saling terkait,” ucap Mahendra.
Malam itu kami belajar banyak. Terutama untuk lebih luas memahami geliat literasi. Melek baca bukan hanya tentang seberapa banyak buku dibaca, tapi juga seberapa banyak buku itu mampu mengubah cara pandang kita dan menumbuhkan empati di dalam diri.
Rupanya literasi telah lama berdenyut di sini, di Padangan, kecamatan paling barat yang dipunyai Bojonegoro. Detaknya juga terdengar di sepanjang jalan-jalan utamanya, yakni lewat gambar-gambar yang berteriak meminta keadilan.
Dari sini, gairah baca kami terbangkitkan kembali. Kami seolah menerima suntikan energi yang begitu besar untuk kembali menghidupkan semangat berliterasi di Bojonegoro. Sebab, kami tidak bergerak sendiri. Kami akan terus lahir dan tak segan membanjir.
Dan percikan-percikan kecil, api-api kecil ini, kami percaya, harus disatukan untuk membuatnya berkobar. Bukan api untuk membakar buku, tapi semangat yang menyalakan gelora literasi di kota yang sebelumnya hanya dikenal karena limpahan minyaknya belaka.