Para Rakawi atau Pujangga atau Mushonif adalah moyang bagi para penulis (periset) hari ini. Dan mereka, secara tegas telah berkata: “Berani mencantumkan referensi, hebat!”
Kita memasuki era kemajuan teknologi informasi. Zaman yang juga dikenal dengan Era Digital ini, membuat kita amat mudah mengakses informasi, termasuk bermacam keilmuan dan referensi. Namun, seperti keniscayaan; kemajuan selalu ditumpangi efek samping. Plagiarisme, bolehlah dimaknai sebagai efek samping dari kemajuan teknologi informasi.
Di tengah kemudahan akses informasi, ada satu hal yang juga berkembang pesat. Yakni, kemudahan melakukan plagiasi (menjiplak). Plagiarisme semakin marak dilakukan di era digital, karena teknologi mempermudah proses penyalinan dan penempelan sebuah tulisan. Istilah sederhananya: peng-kopas-an lebih mudah dilakukan.
Baca Juga: Sastra Lingkungan dan Epoh Antroposene
Pengambilan referensi, tentu perihal ilmiah dan manusiawi. Bahkan, sangat dianjurkan untuk memperkokoh argumentasi. Asal, sumber penyalinan itu disebut dan dicantumkan. Sebaliknya, penyalinan informasi (copas) menjadi tindak kontra-intelektual sekaligus nihil etika, ketika sumber referensi dari apa yang dicopas, tak disebut atau bahkan sengaja dihilangkan.
Eleganitas-intelektual seorang penulis (peneliti), akan muncul ketika ia mampu menyebut referensi. Terlebih, jika yang ia jadikan pijakan referensi adalah tokoh peneliti terkenal. Namun, bagaimana jika yang dijadikan pijakan referensi adalah penulis biasa yang usianya lebih muda? Tentu, bagi si pen-copas, mungkin akan timbul rasa malu dan dilema intelektuil.
Nah, agar tak merasa malu dan dilema, ada baiknya kita mengingat kutipan yang sangat populer dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang berbunyi: “Jangan melihat siapa yang berbicara (berargumentasi), tapi lihat dan pandanglah apa yang dibicarakannya (argumentasinya)”.
Kenapa mencantumkan sumber referensi itu penting? Dan bahkan menjadi penghargaan etika tertinggi dalam khazanah intelektualitas? Sebab, bisa jadi, untuk melahirkan argumentasi itu, si penulis sebelumnya telah melakukan tirakat intelektual yang berdarah-darah. Dan mencantumkan sumber referensi, adalah bagian kecil dari penghargaan itu.
Di Kandhawa Institute, kampus kultural tempat kami belajar, mencantumkan sumber referensi menjadi satu mata kuliah penting yang berhukum wajib untuk dipelajari. Sebab, ia berhubungan secara langsung dengan metode penulisan peper, jurnal, dan hasil riset. Pencantuman sumber referensi, bahkan menjadi tolok ukur seberapa kuat sebuah argumentasi itu dibuat.
Dalam konteks riset ilmiah, Kandhawa Institute memegang prinsip yang berbunyi: sebagus apapun ide atau argumentasi riset yang kau buat, jika ia tak berpijak pada pemikiran periset sebelumnya, kau akan ndlosor pada kotak diorama kekaguman atas dirimu sendiri. Ini alasan kenapa menulis sumber referensi itu penting, bahkan jika sumber referensimu itu, ditulis oleh penulis yang berusia lebih muda darimu.
Pembimbing Kandhawa Institute, Noer Fauzi Rachman (Om Oji) selalu mengingatkan untuk menulis referensi. Psikolog dan Environmentalist dari Unpad Bandung itu menekankan pada kami akan pentingnya mencantumkan nama peneliti yang sebelumnya. Bahkan, ia menulis buku berjudul Nanos Gigantum Humaris Insidentes (2020), buku yang menunjukan pentingnya mencantumkan sumber di dalam karya yang sedang kita tulis.
Dari puluhan jurnal ilmiah dan buku yang telah ditulis Om Oji, Nanos Gigantum Humaris Insidentes adalah buku pertama yang diberikan pada kami, Kandhawa Institute, untuk dibaca secara seksama dan dipelajari. Buku yang ia tulis bersama koleganya, Ahmad Nashih Lutfi tersebut, tak hanya menunjukan pentingnya menulis kajian pustaka, tapi juga mendorong agar para peneliti (penulis) mampu dan bisa membuat Bibliografi Beranotasi.
Untuk diketahui, Bibliografi Beranotasi satu level lebih rumit dibanding sekadar Bibliografi (Daftar Pustaka). Jika Bibliografi hanya mencantumkan judul, penulis, dan tahun penulisan buku; untuk Bibliografi Beranotasi lebih dari itu. Bibliografi Beranotasi adalah daftar pustaka disertai uraian ringkas untuk tiap-tiap sitasi naskah; mencakup penilaian mengenai kualifikasi penulis, topik dan ruang lingkup bahasan, kualitas argumen, metode penelitian, dan arti penting naskah itu.
Buku Nanos Gigantum, secara umum mengajak pembaca untuk memperhatikan perihal paling mendasar dalam tradisi riset: menulis daftar pustaka, menulis Bibliografi Beranotasi, dan, tentu saja, mencantumkan para peneliti sebelumnya.
Tanpa merujuk pada naskah-naskah yang telah dipublikasi sebelumnya, menurut Om Oji, seorang peneliti dapat membuat kecerobohan dengan klaim prematur mengenai hubungan antar konsep-konsep yang diberi nilai (biasa disebut variabel), dan ia bisa secara sembrono menyajikannya sebagai temuan baru yang ia kemukakan, serta karenanya ia mengklaim menjadi argumen miliknya.
Alasannya sangat mendasar. Sebab bisa jadi, peneliti lain telah menemukannya. Om Oji mengibaratkan kondisi itu sebagai to reinvent the wheel (menemukan kembali roda), menemukan apa yang sudah ditemukan sebelumnya, mengulang penelitian yang dulu pernah dibuat peneliti sebelumnya, dan sebuah kesalahan jika itu diakui sebagai temuannya.
“Mengambil secara sepenuhnya dalam rumusan kalimat-kalimat yang persis sama, atau berisikan gagasan yang sama, dan tanpa menyebutkan sumber aslinya secara memadai, secara etis dapat termasuk tindakan plagiasi, suatu perbuatan yang tidak ada maafnya dalam dunia keilmuan” (hal:100).
Kutipan- kutipan dalam buku Nanos Gigantum di atas, adalah cambuk motivasional bagi kawan-kawan di Kandhawa Institute. Buku Nanos Gigantum adalah pegangan dasar bagi teman-teman di Kandhawa Institute, sebelum menulis peper, jurnal, ataupun hasil riset penelitian.
Tradisi Para Rakawi
Rakawi, dalam konteks khusus, merupakan entitas sosial yang bertugas mengintervensi peradaban melalui karya sastra (puisi). Rakawi, dalam istilah lebih luas, juga dikenal sebagai Pujangga atau Mushonif (Islam). Rakawi, jika diartikan pada konteks hari ini, adalah para intelektual (penulis/peneliti) yang mampu mengintervensi kebijakan.
Rakawi, khususnya para Mushonif (di dunia Islam), punya tradisi positif terkait Kajian Pustaka dan Bibliografi Beranotasi yang harus kita tauladani. Para Mushonif sangat kuat dalam urusan mencantumkan daftar pustaka. Bahkan, para Mushonif juga punya tradisi men-syarh dan men-hasyiah kitab.
Syarh dan Hasyiah, bisa dikatakan sebagai “Bibliografi Beranotasi” pada zamannya. Kitab Syarh (penjelasan) adalah buku berisi penjelasan, hingga penjabaran dari kitab-kitab karangan ulama sebelumnya. Sementara kitab Hasyiah (komentar) adalah buku berisi komentar dari kitab-kitab karangan ulama sebelumnya.
Misalnya, Kitab Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin Al Malibari adalah kitab syarah (penjelas) dari kitab Qurratul Aini. Sementara Kitab I’anatuth Tholibin karya Sayyid Bakri Syatha, merupakan kitab syarah (penjelas) dari kitab Fath Al-Mu’in.
Misalnya lagi, kitab Fathul Mubin karya Syekh Abdurrohman Padangan merupakan kitab syarh (penjelas) dari kitab Umm al Barahin karya Imam Sanusi. Atau, Kitab Alfiyah Jawi karya Syekh Hasyim Padangan, merupakan kitab syarh dari Alfiyah Ibnu Malik.
Para Rakawi atau Pujangga atau Mushonif adalah entitas sosial yang punya peran besar dalam memberi intervensi positif peradaban, dari luar dinding kerajaan. Para Rakawi atau Pujangga atau Mushonif adalah para penulis (peneliti) hari ini.
Para Rakawi atau Pujangga atau Mushonif telah mengajarkan pada kita betapa pentingnya sanad genealogis (kajian pustaka). Artinya, kita yang hari ini menjadi penulis (peneliti), adalah penerus para Rakawi atau Pujangga atau Mushonif yang, memiliki tradisi mencantumkan referensi.