Mengedarkan buku dan menyebarkan bacaan kadang serupa gerakan memutar yang tidak beraturan. Namun, layaknya gaya sentripetal, ia membentuk gerak melingkar menuju satu pusat yang sama: kemajuan literasi.
Acara Food Not Bombs berkemas bagi-bagi takjil di Jalan Pemuda Cepu pada (26/5/2019) membuktikan bahwa buku bisa meyublim di komunitas apapun. Dan buku bisa diacarakan di acara apapun.
Seminggu sebelum tulisan ini hadir di layar ponselmu, dua orang pemuda menemui Okaydo dan saya. Mereka bercerita tentang rencana giat literasi yang dilakukan dengan cara tidak biasa.
Dua pemuda tersebut, Mahendra dan Haffis, seniman mural dari Komunitas Padangan Emergency. Mereka yang terbiasa menyampaikan pesan-pesan humanis melalui gambar dan coretan bermuatan seni di tembok jalanan.
Kepada Okaydo dan saya, mereka berdua mengutarakan keinginannya untuk menggelar aksi bagi-bagi takjil dengan kemasan Food Not Bombs. Namun, konsepnya berbeda. Perbedaannya, sangat mengejutkan.
Yakni, dalam aksi tersebut, selain berbagi takjil dan menggelar pertunjukan musik — sekaligus menyajikan pameran seni cukil — mereka juga akan menggelar lapak buku.
Sebuah rencana yang teramat anti-mainstream, tentu saja. Mengingat, sangat jarang giat Food Not Bombs berkait dengan buku. Setidaknya, ini membuktikan bahwa buku layak dikonsumsi serupa halnya makanan.
“Kami ingin meramaikan acara Food Not Bombs dengan membuka lapak buku,” terang Mahendra.
Acara Food Not Bombs berkemas bagi-bagi takjil tersebut dihelat di Jalan Pemuda Cepu. Sebab, para peserta dan anggota tak hanya dari Padangan saja. Melainkan juga dari Kota Cepu.
Mendengar rencana tersebut, Okaydo sangat tertarik dan bersemangat. Tentu, bersemangat untuk mensuplai buku. Satu keranjang penuh buku-buku dengan berbagai tema dan genre pun, disiapkan untuk agenda tersebut.
Okaydo berkata pada saya. Rencana mengkolaborasikan Food Not Bombs bersama buku adalah sesuatu yang sangat mencerahkan. Setidaknya, buku sudah tidak berhenti di ranah pegiat literasi. Melainkan juga para aktivis di ranah yang berbeda.
“Memang sudah sepantasnya bacaan atau buku disebarkan berbagai simpul komunitas yang bahkan tidak berlabel pegiat literasi,” ucap pemuda Bojonegoro yang sangat identik dengan buku tersebut.
Okaydo mengatakan, jika buku dimaknai sebagai satu instrumen penting peradaban, tentu bukan hanya pegiat literasi saja yang berkewajiban menyebarkannya. Namun, harus disebarkan oleh simpul-simpul dari ranah yang berbeda juga.
Sebab, peradaban bukan monopoli para pegiat literasi. Semua bergerak menuju majunya peradaban. Sehingga, buku harus dilepas dari dikotomi para pegiat literasi. Atau, pegiat literasi harus menyublim menjadi simpul-simpul di ranah yang tidak melulu berkaitan dengan buku.
Nabs, mengedarkan buku dan menebar bacaan serupa gaya sentripetal. Kadang bergerak secara tidak beraturan. Tapi, sesungguhnya, gerakan itu melaju pada jalur gerak melingkar beraturan: menuju satu pusat yang sama.
Buku dan bacaan tidak melulu harus diedarkan oleh pegiat literasi atau petugas perpustakaan. Tapi bisa diedarkan dan dibawa oleh siapa saja. Dan diacarakan di acara apa saja. Sebab, pusat yang dituju tetap sama: peradaban literasi yang lebih baik.
Mengedarkan bacaan dan menyebarkan buku adalah gerakan memutar yang tidak beraturan. Dan memang seharusnya tidak perlu diatur. Sebab, secara niscaya, gerakan itu menuju satu pusat yang sama: kemajuan literasi.