Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba

Mengenang Kembali KH Saleh Darat Semarang

Ahmad Rofi' Usmani by Ahmad Rofi' Usmani
18/04/2025
in Cecurhatan
Mengenang Kembali KH Saleh Darat Semarang

Mengenang KH Sholeh Darat

Namun dengan air, pasir kering bisa menjadi tembok kokoh. Ilmu tanpa spiritualitas bagaikan pasir kering. Mudah diombang-ambingkan. 

“DULU, ketika masih sebagai co-asst., saya kerap belajar di Pemakaman Umum Bergota.” Entah kenapa, ketika terjaga dari tidur pulas dini minggu lalu, dan melihat istri berada di samping saya, saya teringat kembali ucapan istri saya yang demikian. Beberapa tahun yang lalu.

Istri berucap demikian, ketika ia menuturkan sebagian episode perjalanan hidupnya. Saat ia masih muda usia. Ia bercerita, ketika sedang menimba ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, dan ketika sedang menjadi asisten anatomi (ketika masalah Petrus sedang merajalela), ia kerap belajar dan melewati pemakaman umum kondang di ibukota Jawa Tengah itu.

“Saya sampai kecapekan: menangani mayat-mayat yang tak jelas itu. Setiap hari dan malam,” tutur istri.

Teringat cerita istri yang demikian, tiba-tiba benak saya “melayang-layang”. Jauh. Ke Semarang: kota kelahiran istri. Dan, segera, saya jadi teringat, ternyata, ibukota Jawa Tengah ini pernah punya seorang kiai kondang. Malah, kiai kondang ini adalah guru dua pendiri dua organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Selain “dihiasi” Kota Lama, ternyata Kota Semarang juga dilengkapi dengan sebuah pemakaman umum utama. Pemakaman yang terletak di kawasan selatan kota itu adalah Pemakaman Umum Bergota (berasal dari Pragota, nama Semarang tempo doeloe). Nah, di pemakaman tersebut, ternyata, terdapat kuburan ulama kondang yang menjadi guru sejumlah ulama terkemuka di Nusantara. Termasuk pendiri dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, KH Hasyim Asy‘ari dan KH Ahmad Dahlan.

Kini, bagaimanakah kisah hidup ulama kondang tersebut?

Kiai Muhammad Saleh Darat, itulah nama ulama kondang tersebut. Seorang ulama terkemuka Indonesia, pada abad ke-13 H/19 M, yang juga seorang penulis karya-karya di bidang fikih, teologi, tasawuf, dan ilmu falak ini sejatinya tidak lahir di Semarang.

Desa Kedung Jumbleng, Mayong, Jepara, Jawa Tengah, itulah tempat kelahirannya. Sekitar 1235 H/1820 M. Bayi itu lahir di tengah gemuruh Perang Diponegoro. Ayahnya, Kiai Umar-seorang ulama sekaligus panglima perang Pangeran Diponegoro-memberinya nama Sholeh, dengan doa agar menjadi anak yang shaleh di zaman edan. “Nak,” bisik Kiai Umar suatu malam kepada putranya yang masih belia, “ilmu itu bagaikan air. Mengalir dari tempat tinggi menuju tempat yang rendah. Suatu saat kau harus merantau.”

Meski lahir di Jepara, namun ulama ini lebih suka menyebut nama dirinya, dalam karya-karyanya, Syeikh Haji Muhammad Saleh bin Umar al-Samarani. “Al-Samarani” di belakang namanya itu berarti “orang Semarang”. Sedangkan imbuhan kata “Darat”, di belakang namanya, untuk menunjukkan tempat ia tinggal selepas pulang dari Makkah: Kampung Darat, sebuah kampung di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.

Selepas menimba ilmu kepada ayahnya (seorang ulama yang menjadi kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda di wilayah pesisir utara Jawa), selaras dengan tradisi yang berlaku di kalangan kaum santri kala itu, Saleh muda lantas menimba ilmu kepada sejumlah ulama di Jawa kala itu. Antara lain Kiai Haji Syahid, ulama besar di Waturoyo, Pati.

“Apa artinya ini, Nak?” tanya suatu hari Kiai Syahid menunjuk ke sebuah kitab kuning yang terbuka.

“Al-‘ilmu nūrun. Ilmu itu cahaya, Kiai,” jawab Saleh kecil. Polos dan dengan tubuh gemetar.

“Salah!” hardik sang Kiai tiba-tiba. Membuat semua santri yang hadir malam itu terkejut. “Ilmu itu baru menjadi cahaya jika diamalkan. Kalau tidak, ilmu hanya bagaikan debu di atas kitab!”

Malam itu, Sholeh belia menangis. Namun, air matanya justru menjadi tinta pertama yang membasahi jalan panjang perburuan ilmu yang ia lakukan kemudian.
Selain menimba ilmu kepada kiai Pati itu, Saleh belia juga menimba ilmu kepada H. Muhammad Saleh Asnawi, Kudus, K.H. Ishaq Damaran, K.H. Abu Abdillah Muhammad Hadi Banguni (Mufti Semarang) dan K.H. Abdul Gani Bima.

Seusai menimba ilmu di Pulau Jawa, kiai yang Tangguh dan ulet dalam menimba ilmu ini lantas menuju Singapura. Kapal kayu yang mengoyak ombak Laut Jawa menuju Singapura kala itu menjadi saksi perjalanan pertamanya keluar Jawa. Di Pelabuhan Singapura, ia bertemu seorang pedagang Arab yang memberinya nasehat, “Anak muda. Makkah itu bagaikan cermin. Kau akan melihat wajah aslimu di sana.”

Kemudian, selepas menimba ilmu di Singapura beberapa lama, seraya menanti kapal yang akan membawanya ke Jeddah, ia lantas melanjutkan “kelana ilmiah”nya menuju Makkah Al-Mukarramah, Arab Saudi. Di Tanah Suci, ia bertemu dengan Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syaichona Cholil Bangkala. Kelak, mereka akan menjadi trio kiai kondang yang memendari Nusantara dari tiga penjuru: Jawa, Banten, dan Madura.

Kala itu, Makkah al-Mukarramah memang merupakan “kawah candramuka” para calon ulama Indonesia. Tidak aneh jika Kota Suci ini dan para pendatang dari Indonesia, kala itu, menjadi pusat penelitian Christiaan Snouck Hurgronye, seorang orientalis terkemuka asal Belanda kala itu.

Dalam sebuah karyanya yang merupakan hasil penelitiannya berjudul Mekka in the latter part of the Nineteenth Century, ia antara lain mencatat, “…Di sinilah terletak jantung kehidupan agama Kepulauan Nusantara. Juga, merupakan saluran untuk memompakan darah segar dari kawasan ini dengan kecepatan yang kian meningkat. Kepada seluruh warga Muslim di Indonesia.

Di sinilah terletak hulu jaringan kumpulan-kumpulan tarekat di Jawa. Dari sini pula mereka memeroleh bacaan-bacaan yang digunakan di tempat-tempat pendidikan agama.” Suatu penelitian dan pengamatan yang cermat.

Selama berada Tanah Suci, Saleh muda menimba ilmu kepada sejumlah ulama kondang kala itu. Antara lain Syeikh Muhammad al-Maghribi, Syeikh Muhammad Sulaiman Hasballah, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Yusuf al-Mishri, dan Syeikh Jamal al-Hanafi.

Di bawah bimbingan Syaikh bin Zaini Dahlan-Mufti Makkah legendaris kala itu-Saleh muda menemukan jati diri. “Kau berbeda dengan murid-muridku yang lain,” ucap Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan suatu hari. “Kau punya mata untuk melihat keperluan umat di Nusantara.”

Dari nama para ulama yang menjadi guru Saleh Darat selama di Tanah Suci tampak, ia adalah seorang ulama bercorak “ensiklopedis”. Dengan kata lain, ia tidak hanya mendalami satu disiplin ilmu saja. Hal itu terbukti dari berbagai disiplin ilmu yang ia ajarkan selepas menetap di Semarang. Di samping menimba ilmu, ia kemudian juga mengajar di Kota Suci itu.

Seusai merantau ke Makkah Al-Mukarramah, KH Sholeh Darat lantas kembali ke Tanah Air dan bermukim di Semarang. Di kota terakhir tersebut, ia mengelola dan mengajar di pesantren yang dikelola mertuanya, K.H. Murtadha. Dengan bergulirnya waktu, pesantren itu berkembang pesat.

Banyak muridnya yang di kemudian hari menjadi ulama terkenal, antara lain Syeikh Mahfuzh al-Tarmisi, pendiri Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, K.H. Hasyim Asy‘ari, pendiri NU, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, K.H. Idris, pendiri Pondok Pesantren Jamsaren, Solo, K.H. Sya‘ban, seorang ulama ahli ilmu falak, Pengulu Tafsir Anom dari Keraton Solo, K.H. Dalhar, pendiri Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan, dan K.H. Moenawwir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

Ketika telah menetap dan mengajar di Semarang kala itu, pada suatu malam suara gemericik air mancur di halaman pesantren menemani pengajian malam itu. Kiai Saleh, yang kini sudah berusia empat puluh lima tahun, duduk bersila di serambi pesantren. Wajahnya yang teduh disinari lampu minyak yang berkedip-kedip. “Kiai,” tanya Hasyim Asy’ari muda-seorang santri yang baru berusia dua puluh tahun asal Jombang, Jawa Timur-dengan suara penuh keraguan. “Untuk apa kita belajar tasawuf, sementara Belanda masih menjajah Tanah Air kita?”

Mendengar pertanyaan demikian, Kiai Saleh Darat kemudian mengambil segenggam pasir kering. Lalu, dengan pelan, ia menuangkan air dari kendi tembikar. “Lihat, Nak. Pasir kering ini mudah diterbangkan angin.” Sang kiai lalu menggenggam pasir yang kini basah itu, membentuknya menjadi gumpalan padat. “Namun, dengan air, pasir kering bisa menjadi tembok yang kokoh. Ilmu tanpa spiritualitas bagaikan pasir kering. Mudah diombang-ambingkan.”

Selain itu, ulama ini juga merupakan guru ruhaniah Raden Ajeng Kartini yang mengikuti pengajian sang kiai di pendopo Kabupaten Demak. Suatu hari, di balik tirai pendopo, RA Kartini menyimak dengan seksama. Lantas, RA Kartini bertanya, “Kiai. Mengapa Alquran tidak boleh diterjemahkan?”

Mata tua Kiai Shaleh berbinar. “Siapa bilang tidak boleh?” tanyanya. Kiai Saleh Darat kemudian mengeluarkan sebuah naskah beraksara Jawa pegon dari lemari. “Ini tafsir Faidh ar-Rahman yang sedang kukerjakan. Untuk rakyat Jawa.” Air mata Kartini pun meleleh pelan.

Di samping mengajar, kiai yang berpulang di Semarang pada Jumat, 28 Ramadhan 1321 H/18 Desember 1903 H ini juga meninggalkan sejumlah karya tulis. Karya-karyanya, antara lain, adalah Majmû‘ah al-Syarî‘ah al-Kâfiyyah li al-‘Awwâm, Kitâb Munjiyyât, al-Hikam (terjemahan), Lathâ’if al-Thahârah, Kitâb Manâsik al-Haj wa al-‘Umrah, Kitab Pasolatan, Sabîl al-‘Âbid ‘alâ Jauharah al-Tauhîd, Kitâb Minhâj al-Atqiyâ’ fî Syarh Ma‘rifah al-Adzkiyâ’, al-Mursyid Al-Wâjiz li ‘Ilm al-Qur’ân, Kitâb Syarh al-Burdah, dan Kitâb (Tafsir) Faidh al-Rahmân.

Terkenang kembali dengan perjalanan hidup sang kiai, tiba-tiba saya teringat salah satu pesannya, “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah. Amal tanpa ilmu bagaikan rumah tanpa fondasi. Dan keduanya, tanpa cinta, bagaikan bangunan kosong.”

Matur nuwun, Kiai Saleh Darat!

 

Tags: Catatan Rofi' UsmaniMakin Tahu IndonesiaMengenang KH Sholeh Darat
Previous Post

Workshop Multipihak: Optimalisasi Penanggulangan Kemiskinan di Bojonegoro

Next Post

Feminisme Dalam Jerat Patriarki

BERITA MENARIK LAINNYA

Membudayakan Menghadiahi Buku
Cecurhatan

Membudayakan Menghadiahi Buku

24/05/2025
Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan
Cecurhatan

Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan

21/05/2025
Ekoteologi: Saatnya Belajar dari Pohon
Cecurhatan

Ekoteologi: Saatnya Belajar dari Pohon

20/05/2025

Anyar Nabs

Membudayakan Menghadiahi Buku

Membudayakan Menghadiahi Buku

24/05/2025
KOPRI PC PMII Bojonegoro Ajak Generasi Muda Lindungi Anak Dari Penikahan Dini

KOPRI PC PMII Bojonegoro Ajak Generasi Muda Lindungi Anak Dari Penikahan Dini

23/05/2025
Suluk Geobiculta: Kearifan Lokal sebagai Pilar Pendidikan

Suluk Geobiculta: Kearifan Lokal sebagai Pilar Pendidikan

22/05/2025
Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan

Serabi, Perhatian Pembangkit Kenangan

21/05/2025
  • Home
  • Tentang
  • Aturan Privasi
  • Kirim Konten
  • Penerbit Jurnaba
  • Kontak
No Result
View All Result
  • PERISTIWA
  • JURNAKULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • MANUSKRIP
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • PUBLIKASI
  • JURNAKOLOGI

© Jurnaba.co All Rights Reserved

error: