Pengetahuan tentang hidup Aisyah bertambah. Kini ia punya dua guru sekaligus, bapaknya dan tetangganya, Ali.
Sedikit demi sedikit ia mencoba memahami apa yang menimpa dirinya dan orang-orang di luar sana yang bernasib sama. Baginya tak ada yang lebih berharga kecuali hidup dan keluarga. Ia tahu betul apa arti hidup dan keluarga bagi orang miskin.
Bisa makan nasi walau hanya sekali dalam sehari sudah barang tentu menjadi hari raya bagi mereka. Di tengah tidak kepedulian pemerintah terhadap warga negaranya, persoalan pandemi ini hanya tentang statistik. Kurva yang terus menaik dan kasus yang terus bertambah. Persoalan sembuh dan mati hanyalah angka-angka yang menghiasi media seperti televisi.
Upaya demi upaya dicoba. Namun pandemi tak segera melihatkan kelemahannya. Menguat dan terus menggeliat. Tak perlu mengenal siapa lawannya, ia terus mengganda. Sehat, sakit, tua, muda, miskin atau kaya, virus tak peduli. Selama ia tetap hidup dalam diri, pasti korban tumbang pun terus membanjiri.
Seolah tak peduli perihal nyawa, pemerintah dengan percaya diri melonggarkan kebijakannya sendiri. Ekonomi harus tetap berputar, rakyat tak boleh lapar. Kira-kira itu narasi yang hendak dibangun. Dan di sisi lain, narasi ketidakpercayaan terhadap pemerintah terus digaungkan.
“Jangan percaya pemerintah, mereka hanya berbicara sedang rakyat menjadi tumbalnya!”
Ramai. Perang narasi bergulir.
Di kota-kota besar, peperangan melawan corona tak hanya soal virusnya. Tapi juga perang terhadap takdir yang akan menimpa dirinya. Baik rakyat atau pengampu kebijakan, mereka sama-sama sedang memesan takdir. Mereka seperti tidak hendak berpaling dari satu takdir ke takdir lain.
Pikiran Aisyah terus mengalir. Tangannya lihai menulis catatan penting pertemuan dengan Ali pagi tadi. Sementara tugas sekolah telah selesai dikerjakan siang.
Malam semakin dingin. Udara masuk melalui celah dinding bambu. Jaket kusut abu-abu menjadi penghangat tubuhnya walau kadang terasa menusuk hingga tulang-tulang tubuhnya.
Bapaknya telah tidur. Ia kelelahan seharian di sawah. Tanah yang mulai kering dan kelakuan nakal tikus-tikus sawah memaksanya harus ekstra membersihkan guguran helai-helai padi. Usianya sudah tak muda lagi, imbasnya pada tubuh yang mudah sekali sakit.
Tangan kirinya menjadi tumpuan kepala. Aisyah membaca ulang catatannya. Kemiskinan, ketidakberdayaan melawan keistimewaan, serta rencana baik masa depan. Apa lagi yang kurang?
Ia terus berpikir.
“Gerakan pemuda!” suaranya memecah kesunyian malam. Ia menengok bapaknya di kursi tamu. Masih tertidur.
“Apa yang musti kita lakukan sebagai pemuda desa?” katanya lagi. Ia ingat pagi tadi Ali akan mengajaknya mendiskusikan hal-hal penting mengenai pembangunan desa. Ia hendak ikut. Tapi kapan dan di mana, ia hanya akan menunggu kabar lanjut dari Ali.
Di lembar kertas halaman enam hanya tertulis satu kalimat, “Apa yang bisa aku lakukan?” Dia kembali berpikir. Setidaknya malam ini ia sudah merancang langkah yang dapat ia lakukan demi kesejahteraan. Terutama pemenuhan hak orang miskin di desanya sendiri.
Baginya, dapat melakukan hal baik dan bermanfaat bagi orang lain memberikan semangat hidup. Semangat yang ia pupuk sedikit demi sedikit. Dari kepedihan, luka hingga kebahagiaan. Tak ada yang lebih berarti selain menjadi berarti itu sendiri.
Buntu. Ia gagal merangkai rencana. Halaman enam masih sama. Tak ada kalimat lain setelahnya.
Jam dinding kusam menunjukkan pukul sembilan malam, matanya terasa berat. Kantuk mulai menyerang. Segera beranjak ia menuju kasur reyot beralaskan tikar pandan. Suara dipan yang tua itu nyaring terdengar.
Matanya mulai memejam.
Setengah jam berlalu, bapaknya bangun. Ia mendapati putri kesayangannya sudah tertidur pulas di kamar. Ia menuju almari, membukanya dan mengambil selimut. Lalu, sebuah foto jatuh ke lantai.
Ia mengambilnya. Foto hitam putih terpampang. Sebuah foto dirinya dan istrinya saat menikah. Matanya menggenang. Setetes air jatuh tepat di foto istrinya.
Lama sekali ia melihat foto itu. Sudah hampir tiga puluh tahun pernikahannya. Ia bahagia menikahi perempuan cantik di foto itu. Terlebih, perempuan itulah yang menguatkannya saat sedang terpuruk. Seperti saat awal-awal menikah.
Matanya menerawang jauh ke belakang. Momen haru menyelinap masuk ke pikirannya. Saat itu, istrinya yang tengah mengandung tetap membantunya di sawah. Walau tak sehari penuh, ia bahagia bekerja bersama istrinya. Tapi nasib baik tak menghampirinya. Tiga per empat sawah gagal panen sebab hama padi menyerang hebat. Ya, itu tahun-tahun berat bagi seluruh petani negeri.
Banyak dari mereka yang pada akhirnya menjual hasil panen dengan harga rendah dari tengkulak. Walau untung kecil yang diterima, setidaknya ada modal untuk menanam tanaman di musim selanjutnya. Mau tak mau, mereka tetap menjualnya.
“Bapak _mboten sare_ ?” (Bapak tidak tidur?)
Ia terkejut, cepat-cepat foto itu ditaruh di bawah buku Aisyah.
“Kebangun nak, bapak mau lihat kamu sudah tidur atau belum” jawabnya sambil melihat putrinya itu.
“Oh iya, ini selimutnya. Malam ini dingin” ia berdiri dan memberikan selimut bermotif bunga kepada anaknya. Selimut itu kesukaan istri dan anaknya. Ketika masih hidup, mereka berdua sering memakainya saat tidur.
“Matur nuwun, Pak”
Aisyah memakainya. Dan bapak pamit melanjutkan tidur di ruang tamu. Lampu rumah semua mati. Kecuali lampu kuning kecil di teras rumah.
Malam semakin dingin. Suara nyaring jangkrik kian menggema. Semua penduduk desa sudah tertidur. Beberapa rumah dari Aisyah, Ali masih berkutat dengan skripsinya. Ia berhenti sejenak, tangannya memangku dagu.
“Semangat, Ais!” ucapnya lirih.
“Bodoh! Kenapa aku malah mikirin Aisyah?” ia menggerutu. Kembali meraih buku referensi dan mengetiknya di laptop.
Kursi Panjang, Juni 2020