Masyarakat Njipangan terkenal pekerja keras yang ulet dan santuy. Karakter mereka mewarisi teduhnya Jati Purba dan kerasnya tebing Kendeng Utara.
Tlatah Njipangan sebagai sub-wilayah meliputi Kabupaten Blora, Bojonegoro, dan bagian selatan Tuban, adalah rumpun masyarakat yang hidup di lembah Pegunungan Kendeng Utara. Masyarakat Njipangan masyhur memiliki karakter pekerja keras, ulet, tapi amat santuy.
Sikap pejuang dan pekerja keras jadi identitas Njipangan secara turun temurun. Ini bisa dibuktikan dari cara mereka menghadapi penjajah — kalah menang wajib berjuang. Namun, sikap ini tak begitu tampak karena dibungkus karakter santai. Inilah mentalitet yang menggambarkan dalamnya sebuah lembah.
Jika lembah terbentuk dari proses geologis pengikisan tanah oleh air dan angin, karakter Njipangan juga lahir dari pengikisan dan penempaan yang membentuk sedimentasi pengalaman hidup dari zaman ke zaman. Masyarakat Njipangan mewarisi sikap santai dan adem ayem dari para leluhur.
Njipangan tak pernah bergejolak. Saat wilayah lain demo besar-besaran sambil bakar-bakar bangunan, Masyarakat Njipangan memilih ngopi sambil wiridan, asketis yang bergerak dalam diam. Sebesar apapun gejolak nasional yang terjadi di Indonesia; Blora, Bojonegoro, dan Tuban Selatan selalu adem ayem. Tak sekalipun terpancing untuk berteriak, apalagi ikut bakar-bakar bangunan.
Masyarakat Njipangan identik bermental santai. Saking santainya, kadang sampai sulit diajak tepat waktu alias waktunya modot. Sikap “modot” ini tergambar dari dialek modot yang lahir di wilayah Njipangan. Contohnya: Apik menjadi (uwaapik), sangar menjadi (suuangar), lesu menjadi (lauuesuu), rindu menjadi (kuuuangennnn).
Selain memiliki sikap santai, masyarakat Njipangan juga tidak kagetan. Tidak kaget terhadap perbedaan dan ulet beradaptasi pada zaman. Karakter ini empiris dan berakar kuat. Bahkan Gus Dur menyebut wilayah Njipangan sebagai kawasan Prototype Toleransi Nusantara.
Sikap Masyarakat Njipangan ini, mewarisi kerasnya tebing Kendeng Utara, teduhnya Jati Purba, dan uletnya aliran Bengawan yang tak pernah mengenal surut dan kering. Mentalitet inilah yang selalu hidup dan tak pernah hilang dari masa ke masa.
Secara antropologis, Masyarakat Njipangan identik kaum agamis yang berbudaya. Ahli tirakat tapi luwes bermasyarakat. Memiliki kedalaman agama, tapi lihai berbudaya. Ini alasan karakter Njipangan tidak pernah vulgar dalam beragama. Mereka justru lihai menyerap kata. Seperti kata “kojah” yang artinya bercerita, adalah serapan dari “hujjah”. Kata “kojah” sangat khas masyarakat Njipangan.
Dalam kaidah psikologis, sikap santai Masyarakat Njipangan ini dapat dikategorikan sebagai konsep Pesimisme Defensif, sebuah strategi penetapan ekspektasi rendah dalam situasi beresiko, untuk bersiap menghadapi bermacam hasil. Dalam istilah lain, kita mengenalnya sebagai Tawakal ala Allah.
Mentalitet Njipangan tidak dibentuk kemarin sore. Tapi terbentuk sebagai sedimentasi peradaban dari zaman ke zaman. Tlatah Njipangan adalah pintu gerbang Medang Kamulan, benteng Medang Kahuripan, Sima Singashari, Naditira Majapahit, dan tanah yang ditancapi tongkat Baldhatun Thoyibatun oleh Mbah Jimatdil Kubro.