Sejauh sanubari berkelana, menerobos dimensi ruang dan waktu di berbagai penjuru bumi, kampung halaman keindahannya tak akan pudar.
Ini tentang sebuah catatan perjalanan ketika saya melakukan perjalanan pulang. Tepatnya dari Surabaya ke Bojonegoro bersama salah satu kawan yang berasal dari Baubau (Buton, Sulawesi Tenggara), sebut saja Wandi.
Kebetulan waktu hari libur dan ia berkenan ketika saya ajak pulang ke kabupaten yang terkenal dengan kisah Angling Dharma, apalagi kalau bukan Bojonegoro tercinta.
Sejauh sanubari berkelana, menerobos dimensi ruang dan waktu di berbagai penjuru bumi, kampung halaman keindahannya tak akan pudar, begitupun cintaku padamu yang akan abadi walau zaman silih berganti.
Wajahmu selalu menghantui, baik dalam dunia nyata maupun maya, atau hanya melemparkan senyuman dan abadi menjadi bunga mimpi. Itu salah satu dari beberapa alasan untuk pulang.
Opo maneh, pas ndek tanah rantau ngrungokne lagu, sing unine kurang luweh koyo ngene: “Bojonegoro tempatku bermimpi, wujudkan masa depan nan jaya, makmur damai sejahtera, hijau indah asri nampak di mata….,” panggah kelingan seliramu, Nabs.
Cerita ini kalau tidak salah terjadi pada 2018. Sebuah perjalanan menuju pulang ke pelukanmu kampung halaman bersama Wandi.
Dengan logat bahasa yang khas waktu Indonesia timur, beranjak dari kota pahlawan sekitar sore hari. Menunggu len kuning (WK) untuk menuju Terminal Oso Wilangon. Salah satu alasan untuk menggunakan len adalah lebih murah Nabs, hehe.
Menginat Wandi baru pertama kali naik len kuning itu. Sepanjang perjalanan, larut dalam obrolan. Sembari menikmati pemandangan alam dan buatan yang tersaji di Kota Pahlawan.
Jarak yang agak jauh, dari Karang Menjangan ke Wilangon serasa begitu singkat sebab jarak yang merupakan hasil dari kecepatan (velocity) kali waktu (time), dihabiskan dengan dialog.
Hayo? Masih ingat Nabs, materi fisika tentang besaran pokok dan turunan. Jarak termasuk dalam besaran pokok dengan rumus mengetahui jarak.
Dalam perjalanan baru ingat, kalau beberapa pakaian yang dibawa Wandi tertinggal di sebuah tempat naik penumpang ketika di Karang Menjangan tadi. Tapi Wandi tak mau mengambilnya, meski sudah saya tawari balik lagi.
Sesampainya di laut, Terminal Oso Wilangon (TOW) dengan ciri khas terdapat bangunan tua yang mangkrak di depannya. Kemudian naik bis tujuan Terminal Rajekwesi, Bojonegoro.
Dari Perjalanan yang dimulai dari Wilangon (Surabaya) melintasi beberapa kota seperti Kota Pudak (Gresik) dan Kota Soto (Lamongan) setelah itu baru sampai ke Bojonegoro, memasuki sebuah gapura selamat datang yang berada di territorial Kecamatan Baureno.
Dalam perjalan malam menyapa. Mengingat Wandi baru pertama naik bus kota dari Surabaya ke Bojonegoro, begitu kaget ketika pengemudi ngebut dan ia berkata seperti “senam jantung”.
Memang ya Nabs, bus yang melaju dari Bojonegoro ke Surabaya atau sebaliknya biasanya ada yang ugal-ugalan. Hehehe…namun bagi yang terbiasa naik bis itu ya biasa-biasa saja, namun terkadang juga kaget wajarlah… tapi menurut kawanku Wandi, terasa seperti senam jantung.
Di sisi lain saya tertawa kemekel, namun di lain sisi juga kasihan. Untuk mengantisipasi agar tidak senam jantung yang berujung pada hal-hal yang tidak diinginkan, dia akhirnya tidur. Cara tersebut cenderung efektif. Hehe
Namun lebih kasihan lagi misalnya kalau ada ibu-ibu hamil yang naik bus ngebut, orang yang usianya tua, dan orang-orang yang naik bus sambil berdiri. Bayangkan kita berada pada posisi seperti itu.
Diselingi lagu-lagu alami dari pengamen, dan lagu buatan dari kaset yang diputar di VCD kemudian ditayangkan kepada penumpang. Mulai dari lagu-lagu senandung, pop, koplo, shalawat, dan lain-lain.
Hal tersebut menjadi hiburan bagi beberapa orang ketika naik bis dalam rangka memecah kesunyian. Namun ada juga yang nyanyi secara laten dalam hati dan mulut umak-umik.
Ada juga yang dengan percaya diri mencoba sebagai shadow singer wkwkwk. Itulah Nabs, sedikit cerita dari beragam perjalan untuk pulang ke pelukanmu kampung halaman atau surga (rumah).
Beragam orang tentunya juga memiliki cerita-cerita yang unik saban perjalanan, khususnya ketika naik bis. Cerita sedih dan bahagia pastinya ada.
Misalnya tertipu oleh calo hingga harga yang dipatok mencekik leher, khususnya bagi saya yang sering terserang kanker (kantong kering). Bahagia pastinya selamat sampai tujuan dan bertemu keluarga. Dalam pemberantasan calo, diharapkan peranan yang lebih berani oleh petugas yang berada di terminal.
Ketika sampai di surga pojok kota, Pohagung. Melepas penat sebentar, dan Wandi bercerita panjang lebar tentang sebuah senam yang barusan dialaminya, apalagi kalau bukan senam jantung ketika naik bis dari Surabaya ke Bojonegoro, hehehe.
Keesokan harinya, Wandi saya ajak berkeliling ke beberapa Bangunan Cagar Budaya yang ada di Bojonegoro. Misalnya, Jembatan Kaliketek lama yang menjadi saksi bisu sebuah pertempuran, dan di bawah itu terdapat benteng yang dulunya berfungsi sebagai pengintai kamu agar tidak berpaling dariku.
Dan sebagai pengingat peristiwa yang terjadi di Jembatan Kalikethek lama, dibuatlah monumen Tentara Genie Pelajar (TGP) yang berada di dekat Pos Polisi Halte, Banjarejo.