Jika berbicara tentang sutradara papan atas Hollywood, tak lengkap rasanya jika tidak menyebut nama Quentin Tarantino. Sutradara nyentrik ini hadir dengan deretan film yang berbeda dengan arus utama. Salah satu trademark Tarantino adalah memberi alternatif sejarah baru dari sebuah peristiwa nyata.
Quentin Tarantino dikenal dengan film-filmnya yang terbilang nyentrik dan unik. Sutradara berusia setengah abad lebih tersebut menciptakan sebuah gaya baru dalam pembuatan dan gaya bercerita film Hollywood.
Pada 2019 ini, Quentin Tarantino merilis film kesepeluhnya yakni Once Upon a Time in Holllywood. Film ini dibintangi oleh dua aktor kawakan yakni Leonardo DiCaprio dan Brad Pitt.
Secara garis besar, film ini mengambil latar belakang peristiwa pembunuhan aktris Holywood, Sharon Tate oleh sekte pembunuh pimpinan Charles Manson.
Namun jangan kira jika film Tarantino ini hanya menceritakan kembali sebuah sejarah. Alih-alih menceritakan ulang sebuah peristiwa, Tarantino dengan gaya khasnya malah memberikan alternatif sejarah baru.
Oh ya Nabs, sebelum lanjut membaca, tulisan ini penuh dengan spoiler ya. Buat kamu yang belum menonton semua film Tarantino, terutama Once Upon a Time in Hollywood, waspada spoiler.
Pusat dari semua cerita Once Upon a Time in Holywood memang ada pada Leonardo DiCaprio yang memerankan Rick Dalton, aktor yang mulai redup karirnya. Serta Brad Pitt yang berperan sebagai Cliff Booth, pemeran pengganti sekaligus sahabat Rick Dalton.
Sepanjang film, kita akan disuguhi suasana Holywood circa 1960-an. Ada banyak “cameo” dari aktor dan tokoh terkenal macam Bruce Lee, Roman Polanski, Steve McQueen dan tentu saja Sharon Tate.
Once Upon a Time in Hollywood sebenarnya menyorot peristiwa pembunuhan Sharon Tate yang diperankan oleh Margot Robbie. Sharon Tate merupakan aktris sekaligus istri dari sutradara terkenal, Roman Polanski.
Diceritakan, Polanski dan Sharon Tate merupakan tetangga dari Rick Dalton di perumahan elit Hollywood. Meski bertetangga, Rick Dalton dan Sharon Tate jarang berinteraksi.
Dalam peristiwa nyatanya, Sharon Tate dibunuh oleh segerombolan orang yang tergabung dalam sekte pembunuh pimpinan Charles Manson. Gerombolan yang terdiri dari 3 orang tersebut masuk ke rumah Tate untuk kemudian menghabisi aktris era 60-an tersebut bersama tiga rekannya.
Namun, dalam Once Upon a Time in Holywood, sejarah dilengkungkan. Bukan rumah Sharon Tate yang diserbu oleh Manson Family, melainkan rumah Rick Dalton.
Ketiga pembunuh tersebut masuk ke rumah Rick Dalton dan bertemu dengan Cliff Booth yang baru saja mabuk. Mereka kemudian mencoba menyerang dan membunuh Cliff Booth.
Sayangnya, justru nasib apes yang menimpa ketiga penyerang itu. Cliff Booth dan Rick Dalton berhasil menghalau para penyerang tersebut bahkan membunuh ketiganya dengan cara yang kejam ala Quentin Tarantino.
Di akhir film, Rick Dalton bertemu dengan Sharon Tate yang saat itu penasaran dengan keramaian yang berasal dari rumah Rick Dalton. Dalam Tarantino Universe, Sharon Tate masih hidup, sedangkan anggota sekte pembunuh Manson Family justru tewas.
Ini bukan pertama kalinya Quentin Tarantino menulis sejarah alternatif dalam filmnya. Satu dekade lalu, Tarantino merilis Inglourious Basterds. Film yang bercerita tentang Nazi.
Salah satu momen yang paling diingat dalam Inglourious Basterds adalah pembunuhan pimpinan Nazi, Adolf Hitler. Dalam film itu, Tarantino membengkokkan sejarah. Adolf Hitler di Inglourious Basterds dibunuh dengan cara ditembak kemudian dibakar hidup-hidup di dalam bioskop.
Tak banyak orang yang berani menabrak pakem dalam hal penyutradaraan maupun sinematografi. Quentin Tarantino adalah salah satu dari sekian pendobrak pakem film Hollywood itu. Ia memiliki cara yang luar biasa unik dalam melahirkan film-filmya.
Nama Quentin Tarantino kembali tertanam dalam budaya pop. Lewat Once Upon a Time in Hollywood, Tarantino ingin memperlihatkan sebuah titik balik budaya, dan merenungkan kembali apakah titik balik itu bisa ditunda atau bahkan dihindari.
Tarantino telah menciptakan karya besar dalam story telling. Ia menari-nari di sekitar kebenaran untuk memberi hormat kepada para korban dari perisitwa sesungguhnya. Dan di lain sisi, Ia juga mempertahankan kegemarannya akan kekerasan yang luar biasa (ultra violent) dan plot yang aneh.