Apa yang pertama kali ada di benak kamu ketika mendengar nama The Adams? Nabi pertama? Penyanyi Solo Amerika? Atau suami Inul Daratista?
Bukan. Kita tidak sedang membicarakan suami Inul Daratista yang punya kumis yang luar biasa indahnya itu. Kali ini, saya akan mengajak Nabsky sekalian untuk berbicara tentang band indie bernama The Adams.
Mendengarkan The Adams adalah salah satu hal yang wajib saya lakukan beberapa bulan ini. Sehari tak mendengarkan The Adams serasa ada yang kurang. Seperti makan bakso tanpa memakai sendok dan garpu. Kurang.
Literasi musik saya tak terlalu bagus. Saat kebanyakan orang lain mencari sesuatu yang baru dan fresh dalam urusan musik, saya justru sebaliknya. Saya lebih suka mendengarkan lagu lawas dari seorang musisi atau band.
The Adams jadi contoh nyata. Saat teman-teman lain sibuk mendengarkan Reality Club, .Feast, atau Jason Ranti, saya justru terjebak dengan tembang-tembang lawas dari The Adams.
Buat yang belum tahu nih Nabs, The Adams merupakan “tetua” dari yang sekarang kita sebut sebagai band indie. Band tersebut digawangi oleh Ario (vocal + gitar), Ale (vocal + gitar), Pandu (bass), Kiting (drum), serta Ghina (keyboard).
The Adams muncul di awal 2000-an dengan membawa warna musik yang berbeda kala itu. Mereka lebih suka menyebut musik mereka sebagai power pop.

Band asal Jakarta ini besar lewat pentas seni yang dulu sangat menjamur di ibukota. Bersama dengan The Upstairs, Goodnight Electric dan White Shoes & the Couples Company, The Adams sempat merajai pensi-pensi di sejumlah sekolah bergengsi Jakarta.
Saya tahu atau mendengar nama The Adams tentu bukan belakangan ini. Namanya sudah tidak asing ketika saya masih duduk di bangku SMA. Hanya namanya saja. Lagu-lagunya tak pernah saya dengarkan waktu itu. Zaman SMA, telinga saya lebih akrab dengan Rocket Rockers atau Pee Wee Gaskins.
Namun pada akhirnya, saya “dipertemukan” dengan The Adams. Ketidaksengajaan dari tayangan Youtube membuat saya tertarik untuk mulai pedekate dengan band satu ini. Bak Si Doel dan Sarah, saya dan The Adams ternyata begitu cocok.
Telinga saya begitu dimanjakan dengan lagu-lagu ciamik The Adams macam Konservatif, Just, hingga Masa-masa.
Semua jenis lagu bisa kamu dapatkan di The Adams. Butuh lagu mellow? Dengarkan saja Glorious Time, atau Hanya Kau. Mau lagu yang bikin jingkrak-jingkrak? Setel saja Waiting, Halo Beni, atau Pelantur.
Bahkan kamu bisa mendengarkan lagu dengan konsep acapella lewat Berwisata. Tinggal pilih. Tinggal didengarkan.

Ada satu lagu The Adams yang benar-benar mengena dan terus berputar-putar di pikiran saya sampai tulisan ini dibuat. Judulnya Timur. Jika ditanya lagu apa yang mampu merepresentasikan The Adams. Maka lagu di album ketiga The Adams berjudul Timur adalah jawabannya.
Lagu Timur yang punya lirik luar biasa indah ini hadir di album ketiga The Adams bertajuk Agterplass. Lagu yang jika didengarkan di momen yang tepat bakal membuat kamu menitikan air mata tak terkira. Seriously.
Hingga 2019 ini, The Adams sudah memiliki 3 album. Album pertama bertajuk self titled dirilis pada 2005. Setahun kemudian muncul album kedua dengan nama V2.05. Terakhir ada Agterplass yang hadir pada 2019.
Memang ada jeda waktu yang sangat panjang dari album kedua ke album ketiga. Namun The Adams menjawab kerinduan para penggemarnya lewat deretan lagu ciamik di album Agterplass.
Bagi saya, The Adams adalah representasi dari dinamisnya musik Indonesia. Sejak kemunculannya, The Adams terus bertransformasi dan mampu menempatkan diri dalam belantika musik Indonesia yang progresif dan penuh warna.
Jika kamu bosan dengan alunan musik folk yang belakangan ini merajai belantika musik Indonesia, The Adams bisa jadi solusinya. Telinga kamu sekalian bakal dimanjakan dengan sajian nada dan irama berkualitas dengan barisan lirik yang bernas.