Isra Mi’raj jatuh pada (3/4/2019) atau bertepatan tanggal 27 Rajab 1440 Hijriyah, diperingati dengan berbagai cara. Tak terkecuali Kota Bojonegoro.
Di Bojonegoro, tradisi Isra Mi’raj sangat terasa di kalangan anak-anak. Ke sekolah, mereka membawa berbagai macam jajan dan makanan dari rumah. Setelah sampai sekolah, bekal itu ditukar dengan teman yang lain.
Tentu, budaya dan tradisi itu masih terjaga hingga hari ini. Meski agak berkurang dibanding sepuluh tahun ke belakang, setidaknya tradisi itu masih ada di sejumlah tempat di Kota Ledre.
“Yang paling diingat tentu saat masih sekolah dasar dulu,” kata Aji Kresna.
Dia mengingat, saat masih SD dulu, banyak sekali kegiatan-kegiatan dilakukan di sekolah saat memperingati Isra Mi’raj. Selain kuliah pagi, yang paling dia ingat adalah tukar-menukar jajan.
“Itu dulu sangat ramai sekali. Saat ini tentu masih ada,” imbuh dia.
Sesuai dengan penanggalan Hijriyah, hari ini adalah hari yang cukup penting bagi umat Islam. Yakni peringatan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW.
Isra’ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram (Mekkah) ke Masjidil Aqsha (Yerussalem). Sedangkan Mi’raj adalah naiknya Nabi Muhammad SAW ke langit tertinggi.
Kanjeng Nabi menembus lapisan langit hingga batas yang tidak dapat dijangkau. Hebatnya, perjalanan itu ditempuh dalam waktu semalam.
Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa penting yang fenomenal dan bersejarah bagi umat Islam. Pada malam 27 Rajab, Muhammad SAW sedang bertafakur di Masjidil Haram. Saat itu Rasulullah SAW sedang menjalani 11 tahun masa kenabiannya.
Diceritakan kala itu Muhammad SAW sedang dalam keadaan sedih. Rasa sedih menyelimuti karena kondisi Muhammad yang sangat terguncang oleh keadaan.
Singkat cerita, seperti yang ditulis oleh seorang Ilmuwan Tasawuf Modern, Agus Mustofa dalam buku Terpesona di Sidratul Muntaha.
“Kondisi perjuangan Islam sedang dalam masa-masa paling sulit. Umat Islam diboikot oleh kaum Quraisy. Perdagangan dan berbagai interaksi soslal ekonomi umat Islam diisolasi dan sangat dibatasi. Dalam kondisi seperti itu, paman dan istri Rasulullah SAW sebagai orang-orang yang sangat gigih mendukung perjuangan Nabi pun ‘dipanggil’, diwafatkan oleh Allah SWT, meninggalkan Rasulullah. Nabi benar-benar dalam kondisi jiwa yang sangat tertekan.”
Pada peristiwa tersebut, Nabi Muhammad SAW mendapatkan perintah sholat. Sholat merupakan ibadah wajib bagi umat Islam. Ibadah ini bersifat wajib sehingga tidak boleh untuk ditinggalkan. Sekali pun.
Dalam buku karya Agus Mustofa tersebut, terdapat topik bahasan yang begitu menarik. Berdasarkan kutipan sebelumnya, terdapat sari-sari yang meneteskan 3 nilai mendasar. Nilai tersebut adalah tentang kekhusyukan sholat.
Yang pertama, pemboikotan kaum Quraisy kepada umat Islam dalam bidang ekonomi. Terdapat pembatasan terkait perdagangan, hubungan dan komunikasi dengan berbagai pihak.
Untuk memenuhi kebutuhan semua terasa begitu sulit. Kondisi tersebut membuat Muhammad SAW prihatin. Terasa begitu berat dalam memperjuangkan ajaran Islam.
Yang kedua, Muhammad SAW semakin prihatin ketika Abu Thalib wafat. Abu Thalib adalah paman yang selalu menjamin keselamatan Muhammad SAW dari kaum Quraisy.
Abu Thalib sendiri merupakan sosok yang dihormati oleh kaum Quraisy. Parahnya, Abu Thalib wafat sebelum sempat membaca syahadat dan dan belum menjadi muslim. Hal itu sangat membuat Muhammad SAW merasa terpukul sekali.
Yang ketia, Muhammad SAW ditinggal wafat oleh Siti Khadijah. Siti Khadijah merupakan istri yang sangat dicintai Muhammad SAW. Siti Khadijah selalu memberikan dukungan kepada Muhammad, baik material maupun moral. Karena itu, dia sangat merasa tertekan oleh keadaan.
Pada sub judul Prosesi Shalat dalam Isra’ Mi’raj buku tersebut, Agus Mustofa menulis bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj memberikan pelajaran penting tentang cara mencapai shalat yang khusyu’. Dalam proses perjalanan Isra’ Mi’raj, awalnya Muhammad mendapatkan 3 kejadian yang mengguncang batinnya.
3 hal tersebut ialah persoalan dunia terkait HARTA, TAHTA dan WANITA. Tekanan ekonomi umat Islam menggambarkan hilangnya pegangan terhadap harta benda.
Wafatnya Abu Thalib menggambarkan hilangnya kekuasaan yang mampu melindungi Muhammad SAW. Meninggalnya Siti Khadijah menggambarkan hilangnya peranan seorang perempuan dalam hidup Muhammad SAW.
Kemudian, muncul pertanyaan “mengapa Allah mencabut ketiganya dari Muhammad SAW? Agus Mustofa menuliskan kaitannya dengan kekhusyukan yang akan diajarkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW. Kekusyukan itu diajarkan dalam perjalanan menghadap Sang Maha Agung.
Dengan demikian, Muhammad merasa tidak memiliki apa-apa. Tidak ada lagi kebergantungan terhadap harta benda. Tidak ada lagi kebergantungan kepada manusia lain. Tidak ada lagi cinta yang bersifat duniawi, meski itu orang yang sangat kita cinta.
Seperti itulah gambaran seorang hamba. Seperti Muhammad SAW yang diperjalankan pada Isra’ Mi’raj sebagai hamba, bukan sebagai rosul atau nabi.
Jika ingin mengetahui tentang Isra’ Mi’raj secara jauh, silahkan baca buku Terpesona di Sidratul Muntaha karya Agus Mustofa. Buku tersebut membahas berbagai topik religi Islam malalui sudut pandang tasawuf modern.