Dalam dinamika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) seyogianya terkandung keilmuan Pancasila di dalamnya.
Perkembangan serta pergulatan dalam dinamika Hukum Tata Negara (HTN) yang semakin berkembang membuat kajian HTN tidak hanya dapat dipersempit sebagai kajian yang hanya “membaca Undang-Undang Dasar”.
Perkembangan ketatanegaraan saat ini terutama pascareformasi lebih menekankan pada pengkajian Hukum Tata Negara yang bersifat global dan substansial.
Dalam hal ini, berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai _the guardian of the constitution_ pada tahun 2003 menjadi tonggak cerahnya perkembangan Hukum Tata Negara di Indonesia.
Menurut Jimly Asshidiqie, sebelum berdirinya MK pengkajian Hukum Tata Negara di Indonesia cenderung bersifat tekstual dan positivistik.
Teks Undang-Undang Dasar hanya dibaca secara lateral dan leksikal sehingga kehilangan jiwa dan maknanya sebagai konstitusi.
Padahal, sebagai norma tertinggi, mestinya konstitusi harus dibaca dalam “satu tarikan napas” dengan nilai-nilai ideologi.
Dalam hal ini, nilai-nilai ideologi suatu bangsa menjadi cita hukum bagi konstitusi yang akan ditegakkan oleh lembaga pengadilan (MK).
*Membaca Konstitusi, Membaca Nilai Ideologi*
Membaca Undang-Undang Dasar dalam “satu tarikan napas” dengan nilai-nilai ideologi bangsa menjadi kebutuhan yang harus dioptimalkan pada saat ini, terutama ketika putusan MK hadir sebagai “baju zirah” dalam menegakkan konstitusionalitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Meminjam istilah dari Ronald Dworkin, bahwa membaca konstitusi secara optimal adalah dengan mengedepankan pada aspek moral _reading of constitution_ .
Dalam konteks Putusan MK, orientasi moral _reading of constitution_ dapat dilakukan dengan _ideological and moral reading of constitution_ yaitu dengan membaca konstitusi seraya menggali cita hukum bangsa, yaitu Pancasila.
Menurut Hamid At-Tamimi, kedudukan Pancasila sebagai cita hukum bangsa (rechtsidee) membuat Pancasila memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi regulatif dan fungsi konstitutif.
Fungsi regulatif Pancasila menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila dapat dijadikan sebagai “batu uji” dalam peraturan perundang-undangan baik secara formil maupun materil.
Dalam hal ini, setiap peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila akan dianggap batal demi hukum (null and void).
Selain itu, fungsi konstitutif Pancasila juga menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila harus menjadi “mata air” yang siap dialirkan dan dituangkan dalam kaidah hukum positif berupa peraturan perundang-undangan.
Dalam hal inilah maka Pancasila menjadi “sumber dari segala sumber” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
*Keilmuan Pancasila dan Nalar Putusan MK*
Pentingnya pendekatan cita hukum Pancasila dalam Putusan MK merupakan suatu keharusan karena sebagai cita hukum bangsa, maka Pancasila akan menjadi “ruh” dalam upaya memahami dan memaknai teks konstitusi.
Dalam praktiknya, pengkajian serta pemahaman yang mendalam terkait nilai Pancasila sejatinya pernah menjadi landasan MK dalam mengadili Putusan MK No. 100/PUU-XI/2013.
Dalam Putusan MK No. 100/PUU-XI/2013, MK menegaskan bahwa kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa sehingga tidak dapat didudukkan sebagai “pilar” sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Tentunya, _ratio decidendi_ Hakim Konstitusi dengan menggunakan pendekatan keilmuan dan filsafat Pancasila menjadi orientasi dalam menegaskan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara.
Orientasi serta optimalisasi penggunaan keilmuan Pancasila dalam menuntun setiap argumentasi konstitusional bagi Hakim Konstitusi menjadi hal yang penting bahkan merupakan _condition sine qua non_ dalam penafsiran konstitusi itu sendiri.
Meski begitu, optimalisasi penggunaan keilmuan Pancasila dalam menafsirkan konstitusi juga harus diimbangi dengan perkembangan pemahaman serta penguatan keilmuan Pancasila.
Hal ini dikarenakan bahwa konstitusi merupakan _living tree_ yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang sesuai dengan kondisi konkret di masyarakat.
Tentunya, perkembangan konstitusi tersebut juga harus diimbangi dengan perkembangan pemahaman terhadap nilai dan keilmuan Pancasila.
Khusus mengenai perkembangan keilmuan Pancasila, maka membiarkan keilmuan Pancasila untuk terus “stagnan dan statis” tak ubahnya laksana membiarkan sumber mata air yang dibiarkan tetap kering kerontang, Nabs.
Bagaimana air tetap mengalir jika sumber mata airnya dibiarkan kering kerontang?
Oleh karena itu, upaya untuk terus menggali serta mengembangkan keilmuan Pancasila menjadi hal yang urgen dilakukan terutama dalam kegiatan penafsiran konstitusi.
Dalam hal ini, jika konstitusi dapat menjadi _living tree_ yang selalu hidup, tumbuh, dan berkembang, maka Pancasila juga harus menjadi _living ideology_ yang juga dapat tumbuh, berkembang, serta dipahami secara kontekstual.
Hanya dengan mendudukan dan mengembangkan Pancasila sebagai ilmu, maka keilmuan Pancasila akan selalu tumbuh dan berkembang terutama dalam upayanya untuk mempertahankan substansi nilai-nilai konstitusi yang sejatinya berdasar serta dialiri oleh mata air berupa cita hukum bangsa bernama Pancasila.