Satu-satunya teman bagi waktu adalah ketidakpastian. Sementara baginya, kita hanya jarum jam yang terus berputar, menunggu jeda.
Pagi di Jalan Panglima Polim tak pernah berubah. Kau akan melihat sosok penuh semangat mengatur lalu lintas di persimpangan rel kereta api, sementara anak-anak sekolah — tanpa santun — melintas begitu saja.
Kau juga masih akan melihat Jalan Pattimura disesaki orang-orang berseragam yang was-was. Mereka bergegas melintasi pagar pembatas. Sebab pukul tujuh sudah terlintas, amblas, dan tak berbekas.
Hari berganti. Lapar jadi kenyang lalu lapar lagi. Seperti itu, Bojonegoro tak berbeda dari daerah-daerah di sudut Indonesia lainnya. Terus bergerak bersama orang-orang yang hidup di dalamnya.
Sesekali kau bertanya, kenapa waktu begitu cepat berlalu? Dan kau hanya merutuk sesal karena tiba-tiba, pilpres sudah berada di depan mata. Kau baru saja tiarap dari perkelahian dan ujuk-ujuk diingatkan untuk berkelahi lagi.
Menjelang pilpres, orang-orang serupa ayam jago petarung. Selain ahli berkokok, mereka juga mudah disuruh-suruh untuk berkelahi. Berkelahi dan disuruh berkelahi tentu perkara berbeda. Tapi sial, tak banyak yang menyadarinya.
Semua ingin jadi ayam berkokok. Sebab tiap berkokok, ada rasa bangga dan kemenangan. Mereka lupa bahwa ke(me)nangan dibangun demi sebuah kenangan. Perkaranya, tak semua kemenangan baik untuk dikenang.
Dan waktu memang cepat berlalu. Meski, tak semua yang dilalui waktu bisa ikut benar-benar berlalu. Luka lebam di tubuhmu akibat terbentur pilpres 2014 baru saja sembuh. Masak iya harus menimbun luka-luka baru? Tentu tidak.
Selain cepat berlalu, waktu juga menyimpan ketidakpastian. Sebab memang, satu-satunya teman bagi waktu adalah ketidakpastian. Sementara baginya, kita hanya jarum jam yang terus berputar, menunggu jeda.
Berkali-kali kau bertanya pada diri sendiri, kenapa 5 tahun terasa begitu cepat. Sedang di waktu yang sama, hikmah hidup yang didapat pas-pasan belaka. Bukan karena sedikitnya jumlah hikmah. Tapi tangkapanmu saja yang lemah.
Tak banyak yang berubah darimu. Kau masih menjadi lelaki yang sulit menentukan pilihan. Itu alasan kau benci pergi ke toko sendirian. 5 jam keluyuran di toko, kau bisa keluar tanpa membawa apa-apa. Bukan karena tak bawa uang. Tapi bingung mau beli apa.
Waktu memang bergerak begitu cepat. Banyak hal yang kau jumpai. Meski, tentu saja, tak banyak yang bisa kau ingat semua. Kanak-kanak, remaja awal, remaja akhir dan dewasa awal. Di tiap fasenya, tuhan menitip banyak plot cerita kepadamu.
Kanak-kanak, tak ada pilpres di kepalamu. Semuanya main-main dan serba menyenangkan. Tak ada yang lebih menyenangkan selain bermain, minta sesuatu, menangis, lalu tertawa bahagia. Sebab sedih tak mampu bertahan lama.
Masa remaja awal, tak ada pilpres di kepalamu. Fase ini memperkenalkanmu pada perasaan getir yang unik: mimpi basah yang kau lupa dengan siapa membasahinya. Sampai siang hari, kau berupaya mati-matian mengingat siapa pembasah mimpimu, tapi toh tak ingat juga.
Seringkali kau berharap bisa mimpi basah setiap hari. Tapi ternyata kedatangannya tak bisa dijadwal dengan baik. Mimpi basah datang begitu saja. Tapi saat diharap kedatangannya, ia justru tak menampakkan diri.
Mimpi basah adalah pelajaran pertama tentang ketidakpastian. Kelak, kau percaya bahwa jodoh punya kecenderungan yang sama dengan mimpi basah. Ia datang begitu saja dan tak bisa diprediksi secara rinci.
Masa remaja akhir, tak ada pilpres di kepalamu. Yang ada hanya ancaman DO dari kampus dan cinta yang terus-menerus pupus. Di fase ini, kau mendengar kalimat “kamu lelaki plin-plan”. Lelaki yang tak berani mengambil keputusan hanya karena takut melihat orang lain menangis.
Memang, mengambil keputusan lebih sulit daripada mengambil foto orang lain secara diam-diam. Mengambil keputusan harus ada yang diputus. Sementara mengambil foto diam-diam, cukup diam atau pura-pura main game saja.
Masa dewasa awal, tak ada pilpres di kepalamu. Yang ada hanya teman-temanmu saling tusuk membela jagoan masing-masing. Kau yang berupaya melerai, justru terkena banyak tusukan dari berbagai penjuru. Hingga lukamu cukup banyak.
Kini, saat lukamu hampir sembuh sepenuhnya, tiba-tiba pilpres sudah mau datang lagi. Betapa pilpres serupa polisi tidur yang tiba-tiba muncul di saat nyetir sedang nikmat-nikmatnya. Saat seperti itu, tentu kau tahu apa yang tidak harus kau lakukan, bukan?