Virginia Wolf dalam esai berjudul A Room of One’s Own, di Indonesia esai ini di terbitkan oleh Jalan Baru publisher dengan judul Ruang Milik Sendiri, menuliskan, Sejarah perlawanan laki-laki terhadap gerakan emansipasi perempuan mungkin lebih menarik daripada kisah emansipasi itu sendiri.
Secara umum emansipasi merupakan pembebasan/perlawanan dari segala macam perbudakan. Sementara emansipasi wanita menurut EIGE (European institute for gender quality) adalah proses, startegi dan berbagai upaya yang digunakan perempuan untuk membebaskan diri dari otoritas dan kontrol laki-laki dari struktur kekuasaan tradisional.
Dengan kata lain adalah mengupayakan hak-hak bagi perempuan dan menghapus diskriminasi gender guna membebaskan perempuan dari perbudakan dan eksploitasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa emansipasi perempuan merupakan cikal bakal gerakan kesetaraan gender yang sering pula dikaitkan dengan gerakan feminis. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa gerakan keseteraan gender dan feminis adalah gerakan yang berbeda. Jika kesetaraan gender menginginkan hak untuk semua gender sementara feminis hanya fokus pada kesetaraan perempuan.
Tidak mengherankan, karena feminis berasal dari bahasa Perancis yang merupakan kata sifat, feminine yang berarti kewanitaan, sehingga menjadi dasar bahwa gerakan perempuan ini hanya berfokus pada satu gender saja.
Namun, secara pribadi saya mengamini pernyataan Bell Hooks, seorang penulis feminis yang mengatakan bahwa pembebasan laki-laki perlu dimasukkan dalam tujuan feminis sebab feminis percaya bahwa laki-laki juga dirugikan oleh peran gender tradisional yang ada di masyarakat. Pada intinya laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebebasannya sebagai individual utuh.
Jika berbicara mengenai gerakan feminisme memang tidak bisa terlepas dari patriarki. Secara sederhana, patriarki adalah suatu sistem yang percaya bahwa laki-laki memiliki kedudukan di atas perempuan. Sebuah kontruksi sosial menganggap bahwa laki-laki dengan maskulinitas nya merupakan mahluk yang kuat.
Sehingga dia berperan sebagai pelindung atau penjaga perempuan, karena perempuan diinterpretasikan sebagai mahluk yang lemah Tuntutan maskulinitas terhadap laki laki ini merupakan warisan patriarki. Sehingga Bell Hooks merasa bahwa laki-laki juga dirugikan dengan adanya sistem patriarki dan perlu pembebasan melalui gerakan feminisme.
Dalam Journal the Evolution of Human Sociality, tulisan Sanders dan Stephen K, dijelaskan bahwa patriarki adalah hasil konstruksi sosiologis yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Lebih mencengangkan lagi praktik patriarki ini bahkan sudah ada sejak tahun 3100 sebelum Masehi, seperti yang dituliskan Robert M Strozier dalam bukunya historical construction and self, dominasi laki laki pada saat itu berupa pembatasan kapasitas reproduksi perempuan dan pengucilan dari konstruksi sejarah.
Setali dengan pernyataan Robert, Lusia Palulungan dalam bukunya, perempuan, masyarakat patriarki dan kesetaraan gender dalam budaya sosial mengatakan, tugas perempuan hanya sebatas fungsi reproduksi sementara laki-laki dipersepsikan memiliki fungsi produktif.
Konstruksi turun temurun itulah pada akhirnya yang menjadikan budaya patriarki memiliki sejarah langgeng yang melekat pada tatanan masyarakat sehingga membentuk dogma superior dan inferior.
Laki-laki merasa memiliki kekuasaan diatas perempuan. Dalam masa ke masa perempuan selalu dianggap sebagai mahluk inferior sehingga karena itu pula perempuan sering mendapatkan penindasan dan kekerasan.
Pada abad 14-16 terjadi perburuan penyihir besar-besaran. Silvia Federici dalam bukunya, perempuan dan perburuan penyihir menuliskan, kaum perempuan dituduh sebagai penyihir jahat yang akan mengancam kehidupan umat manusia, kemudian mereka diburu dan ditundukan paksa.
Tuduhan sebagai penyihir adalah alat untuk melembagakan teror terhadap perempuan, agar mereka tunduk dan menyesuaikan diri dengan masyarakat kapitalis. Hal itu melembagakan pengekangan seksual, subordinasi, kepatuhan, dan pereduksian tugas perempuan.
Tidak hanya dituduh sebagai penyihir, upaya pembungkaman terhadap perempuan juga dengan melabeli para perempuan yang berani bersuara atau yang dianggap tidak mematuhi norma yang berlaku pada masyarakat saat itu dengan penyakit Histeria, yaitu penyakit mental yang kebanyakan menyerang perempuan. Sehingga banyak perempuan yang akhirnya dimasukkan ke dalam rumah sakit Jiwa.
Prime video, tahun 2021 kemarin telah merilis film berjudul pesta dansa para wanita gila yang sedikit banyak bisa kita saksikan bagaimana laki-laki memperlakukan perempuan dan bagaimana perempuan berupaya untuk terus hidup dalam pengekangan dan diskriminasi.
Virginia Wolf mengatakan, setiap perempuan yang lahir dengan bakat yang luar biasa pada abat ke 16 pasti akan jadi gila. Menembak dirinya sendiri atau menghabiskan hari-hari nya di pondok terpencil di luar desa, dicap setengah dukun, setengah penyihir, ditolak dan juga diejek.
Segala upaya pembungkaman yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan menjadikannya memiliki sikap misogini, kata yang diungkapkan sebagai reaksi atas kebencian terhadap perempuan menyusul adanya gelombang kedua gerakan feminisme pada tahun 1960-1970
Gerakan feminisme gelombang kedua menuntut hak hak yang masih sama dengan feminisme gelombang pertama dan juga hingga saat ini yaitu, keadilan yang sama dimata hukum, keadilan dalam keluarga, lingkungan kerja, hak -hak reproduksi dan seksualitas perempuan.
Aksi-aksi feminis pada saat itu dan juga sekarang mendapat kecaman dari para misoginis, ada yang secara terang-terangan, lebih dikenal dengan misoginis agresif dan ada yang melalui proses subtil/tidak kentara, biasa disebut dengan agresif ambivalent.
Pada tahun gelombang feminis kedua para misoginis, melancarkan aksi aksinya melalui karikatur-karikatur diiringi dengan narasi-narasi lucu(menyesatkan) mengenai perempuan. Misalnya ketika perempuan di Perancis pada akhirnya mendapatkan hak untuk memilih, disebarlah karikatur dengan narasi seperti ini, ” perempuan bisa memilih? Pasti yang dipilih yang dompetnya tebal….*
Karikatur dan narasi kebencian disebar sebagai upaya untuk membungkam perempuan guna mengkerdilkan sosoknya. Virginia Wolf mengatakan, itulah sebabnya Napoleon dan Musollini menegaskan inferioritas perempuan, karena jika mereka tidak dibuat inferior, mereka akan terus membesar.
Gelombang kebencian terhadap perempuan semakin marak seiring dengan masifnya gerakan perempuan. Bahkan, bukankah kita juga sering menjumpai meme-meme atau guyonan yang dikemas menarik(payah) dan lucu(cringe)tentang perempuan di media sosial?
Belum lagi, narasi-narasi yang aktif menyudutkan gerakan feminisme dengan membawa bawa agama sebagai tamengnya. Padahal feminisme adalah gerakan untuk menuntut hak hak perempuan.
Hak merupakan sesuatu yang sudah kita miliki dan melekat pada diri kita tetapi, bahkan untuk mendapatkan hak yang kita punya saja harus mengalami perjuangan yang sangat panjang. Aneh, kan? Kita tidak menuntut hak orang lain, tetapi hak kita sendiri lho….
Jika memang misogini terbentuk dari ketakutan dan insecurity laki-laki terhadap perempuan, lalu kenapa sekali lagi perempuan yang harus menanggung semuanya?
Terakhir ijinkan saya mengutip kalimat dari Virginia Wolf ini, “Aku tak perlu membenci laki-laki manapun; ia tak bisa menyakitiku. Aku tak perlu memuji laki-laki manapun; ia tak punya apa-apa untuk diberikan padaku.”
*Beberapa Informasi didapatkan dari kelas Hypatia Indonesia