Sebuah risalah pendek tentang Peradaban Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan kenapa ia dilahirkan sebagai wasilah perdamaian dunia.
Islam di Indonesia memiliki banyak keunikan. Selain mampu berbaur secara damai dengan bermacam kepercayaan, ia juga bisa melakukan akulturasi budaya secara kondusif sejak ratusan tahun silam. Ini alasan islam masuk indonesia tanpa memicu peperangan.
Kemampuan adaptatif dan akulturatif terhadap budaya setempat itulah, yang disebut sebagai kenuswantaraan. Tak heran jika kelak muncul frasa Islam Nusantara sebagai identitas berislam masyarakat indonesia. Dalam konteks lain, ini bisa dimaknai sebagai islam yang menyatu dengan nasionalisme.
Puncak dari konsep Islam Nusantara adalah Hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari Iman). Benar jika para ulama di dunia tak ada yang mengenal istilah Hubbul wathon minal iman. Sebab, ia lahir dan muncul di Nusantara, sebagai produk atas akulturasi kebudayaan.
Islam Nusantara bukan sebuah mazhab, tapi konsep adaptatif terhadap kebudaayaan. Ini penting untuk diutarakan. Secara substansi, ia adalah Islam Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang diamalkan, didakwahkan, dan dikembangkan sesuai karakteristik masyarakat dan budaya Nusantara oleh para pendakwahnya.
Sampai titik ini, kita paham bahwa Islam Nusantara penting untuk dipopulerkan. Sebab, ia jadi benteng utama (counter attack) dari serangan islam fundamentalis gaya baru yang sok-sok-an Arab namun sebenarnya memahami agama islam sekadar lewat fashion belaka.
Ini alasan orang-orang islam fundamentalis sangat takut dan meriang mendengar istilah Islam Nusantara. Sebab, Islam Nusantara bukan sekadar fashion seperti yang mereka pahami. Islam Nusantara telah menyublim dalam darah, daging, dan tulang kebudayaan Indonesia sejak ratusan tahun silam. Ini penting untuk diutarakan!
Dan seperti yang kita semua ketahui, representasi Islam Nusantara hari ini, adalah Nahdlatul Ulama — organisasi islam terbesar di dunia, yang lahir dari rahim Bumi Nusantara.
Secara legal formal, NU lahir pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Namun, NU sudah lahir sebagai energi, jauh sebelum ia berwujud organisasi. Energi yang sudah ada sejak ratusan tahun silam itulah, embrio lahirnya NU pada 1926.
Fakta itu, sesungguhnya sesuai mukadimah buku Khittah Nahdliyah, karya KH Achmad Shiddiq Jember, yang menyebut secara jelas bahwa energi dan esensi NU sudah ada sejak zaman Wali Songo. Energi itulah, yang dipadat-formalkan para muasis NU pada 1926, menjadi Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Dan harus diketahui, NU didirikan ratusan tahun lalu, sebagai wasilah peradaban dunia. NU terlalu besar untuk sekadar jadi mediator politik partisan. Ini penting untuk diutarakan, agar kita tahu betapa besar posisi NU terhadap peradaban dunia.
Maka tak heran jika visi besar NU saat ini adalah wasilah peradaban dunia, medium perdamaian dunia. Ketika Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil, mentakwil PBNU sebagai Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), saya pun bergegas mentakwil PBNU sebagai Peradaban Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Hal itu saya tulis di NUonline pada 28 Mei 2022 silam.
Saya meyakini bahwa perjuangan dan peradaban adalah dua hal yang tak akan terpisah dari PBNU. Juang dan Adab adalah keyword penting NU. Ini alasan kenapa NU diisi para ulama yang memiliki daya “juang” dan figur yang berpegang pada kredo keramat: al adabu fauqol ilmi, “adab” lebih tinggi dari ilmu.
Juang dan adab jadi tradisi yang mendarah daging dalam tubuh Nahdlatul Ulama. Daya juang dan daya adab adalah dua energi yang mengkristal dan menyublim dalam karakter NU. Dari perjuangan yang beradab inilah, NU membentuk tradisi peradaban.
Lewat jalur juang dan adab inilah, islam bisa masuk ke Nusantara tanpa sedikitpun memicu peperangan. Andai boleh jujur, hanya di Nusantara lah, islam masuk tanpa ada gesekan di kalangan grassroot. Itu barokah dari adanya konsep juang dan adab. Tanpa juang dan adab, mungkin islam masuk ke nusantara beserta peperangan layaknya negara lain.
Mengutip KH Yahya Cholil, berdirinya Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari cita-cita ulama-ulama Nusantara untuk membangun peradaban baru pasca runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani. Basis peradaban baru ini adalah kemanusiaan universal.
Kemanusiaan universal adalah orientasi utama dalam konsep dakwah Wali Songo, yang kemudian dilanjutkan Nahdlatul Ulama. Ini penting untuk diketahui. Bahwa urusan Nahdlatul Ulama tak sekadar politik partisan. Tapi kancah global sebagai wasilah peradaban dan perdamaian dunia.
Ada banyak ulama-ulama berafiliasi NU yang memang punya gerak internasional. Ini bukan sekadar dongeng, tapi bisa dibuktikan secara empiris melalui data ilmiah. Sebut saja Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Mahfudz at Termasi, Syekh Sholeh Darat, Syekhona Kholil Bangkalan, Syekh Muhammad Hasyim al Fadangi, Syekh Baidlowi al Lasemi, Syekh Hasyim Asy’ari, hingga Syekh Ihsan Jampes dan masih banyak nama lain.
Dunia mengenal beliau semua melalui karya ilmiah. Melalui kitab-kitab monumental yang, diakui atau tidak, punya peran besar dalam membentuk peradaban islam yang bil-ilmi dan bil-adab. Karya dan pemikiran beliau menghempas ke berbagai penjuru semesta, sebagai wasilah ilmu dan perdamaian dunia.
Satu abad NU tentu jadi momen penegasan, bahwa NU lahir dari para ulama yang bergerak di dunia ilmu dan peradaban. Karena itu, NU yang saat ini juga harus bergerak di dunia peradaban dan perdamaian dunia.