Dalam hal mitos “Wilayah Ditakuti Presiden”, Bojonegoro terbukti empiris lebih keramat dibanding Kediri. Berikut bukti dan fakta ilmiahnya.
Bojonegoro, secara empiris, bisa dikatakan lebih keramat dibanding Kediri. Ini bukan tanpa alasan. Sejumlah Presiden RI tercatat sudah pernah mengunjungi Kediri. Sebaliknya, tidak dengan Bojonegoro. Sampai saat ini, Bojonegoro masih tanah yang dijauhi Presiden RI.
Presiden BJ Habibi tercatat mengunjungi Kediri pada 1998. Presiden Gus Dur tercatat mengunjungi Kediri pada 1999. Presiden SBY bahkan mampu “mematahkan” mitos Presiden tak berani ke Kediri. Ya, Pak SBY tercatat berkunjung ke Kediri sebanyak dua kali; pada tahun 2007 dan 2014.
Sementara semua nama di atas, belum ada satupun yang pernah datang ke Bojonegoro. Gus Dur saja, sowan ke Bojonegoro mengambil momen yang pas. Yaitu sebelum dan sesudah jadi Presiden. Saat menjabat Presiden, Gus Dur tak pernah ke Bojonegoro. Gus Dur tentu sangat paham kosmos Brahmana Bojonegoro.
Baca Juga: Brahmana Bengawan, Pengendali Pesisir dan Pegunungan
Bung Karno pernah mencoba sowan ke Bojonegoro pada Juli 1957. Itupun tak masuk pendopo, hanya di halaman masjid. Dan tak butuh waktu lama, Bung Karno pun lengser dari kursi Presiden. Setelah kunjungan Bung Karno itu, tak ada satupun Presiden RI yang berani berkunjung ke Bojonegoro, sampai saat ini.
Pak Suharto tak pernah ke Bojonegoro; Pak Habibi tak pernah ke Bojonegoro; Gus Dur saat menjabat Presiden tak pernah ke Bojonegoro; Bu Mega tak pernah ke Bojonegoro; Pak SBY tak pernah ke Bojonegoro; Pak Jokowi belum pernah ke Bojonegoro, hanya lewat pinggir.
Diakui atau tidak, belum ada satupun Presiden RI yang pernah masuk dan duduk di Pendopo Bojonegoro. Jangankan masuk pendopo, masuk wilayah Bojonegoro pun, hanya Bung Karno yang mencoba melakukannya, itupun tak lama sebelum kelengserannya.
Dari data di atas, tampak secara ilmiah dan empiris bahwa dalam konteks Mitos Ditakuti Presiden, Bojonegoro lebih keramat dibanding Kediri. Sudah cukup banyak presiden ke Kediri. Namun tidak dengan Bojonegoro. Selain Bung Karno, belum ada satupun Presiden RI yang berani berkunjung ke Bojonegoro.
Pasak Jati Brahmana
Bojonegoro (yang dulu bernama Tlatah Jipang) dikenal sebagai Bumi Brahmana, tanah yang dihormati Para Maha Raja. Ini bukan dongeng, tapi terbukti empiris berdasar literatur prasasti. Banyak Maha Raja yang memasang pasak penghormatan bagi para Brahmana Jipang. Sebuah pasak berupa pilar prasasti.
Tercatat ada 3 Maha Raja yang sangat hormat pada para Brahmana Jipang. Mereka adalah Maha Raja, bukan Raja biasa. Mereka penguasa Kemaharajaan, bukan penguasa Kerajaan. Dan ketiga Maha Raja itu, telah menancapkan pasak penghormatan berupa pilar prasasti untuk para Brahmana di Bumi Njipangan (Bojonegoro).
Brahmana, dalam hal ini, merupakan strata Bijak Bestari. Figur penyeimbang kosmos peradaban yang hadir di tiap zaman. Ia bisa seorang Rsi, Mpu, Wali, atau Kiai. Para Brahmana kadang tak menampakkan identitasnya. Tapi berdiri di balik kendali intelektual dan kebijaksanaan Para Raja.
Maha Raja Airlangga, Penguasa Medang Kahuripan, sangat hormat pada Brahmana Bengawan Jipang. Ia telah menancapkan pasak penghormatan berupa Prasasti Pucangan (1041 M) di Loram, yang merupakan cikal bakal Jipang (Bojonegoro). Raja Airlangga menyebut Brahmana Bengawan sebagai pengendali pralaya, penyeimbang dominasi Sriwijaya dan Medang Kuno. Maha Raja Airlangga adalah leluhur dari Raja Jayabaya Kediri.
Maha Raja Wisnuwardhana, Penguasa Singashari, telah menancapkan pasak penghormatan berupa Prasasti Maribong (1248 M) di Merbong Bojonegoro. Maha Raja Wisnuwardhana berterimakasih pada Brahmana Jipang karena telah membantu leluhurnya (maksudnya Raja Ken Arok) dalam menyatukan Jenggala dan Panjalu. Berkat Brahmana Jipang, Raja Ken Arok bisa mendirikan Tumapel (yang kelak dikenal dengan Singashari).
Maha Raja Hayam Wuruk, Penguasa Majapahit, telah menancapkan pasak penghormatan berupa Prasasti Canggu (1358 M), yang menetapkan sejumlah titik Naditira Pradesa (pelabuhan sungai) di Bengawan Jipang. Hayam Wuruk memberi sangat banyak pelabuhan di wilayah Tlatah Jipang, melebihi jumlah wilayah lain. Mungkin sebagai bukti penghormatan. Sebab, leluhur Hayam Wuruk (maksudnya Raja Wisnuwardhana), juga sangat hormat pada Brahmana Jipang.
Penghormatan Raja Hayam Wuruk tak hanya berupa pemberian titik pelabuhan sungai. Lebih dari itu, Hayam Wuruk juga menetapkan Tlatah Jipang sebagai vasal Brahmana, bukan vasal Bathara. Terbukti, dari semua negara vasal Majapahit, Tlatah Jipang tak dipimpin Bhre (Bathara). Tak ada Bhre (Bathara) di Jipang, karena Jipang dikelola Brahmana.
Pada zaman masuknya Islam, Tlatah Jipang juga dipenuhi para Brahmana Islam (Waliyullah). Islam di Bojonegoro tercatat sepuh. Sebab, secara ilmiah dan empiris, jadi pusat dakwah Syekh Jumadil Kubro, Sang Bi-Rohmana Islam. Sang Brahmana Islam, figur pembawa ajaran Islam damai di Tlatah Jipang (Bojonegoro).
Hipotesa Konklusif
Dari data di atas, kita tahu bahwa ada sebanyak 3 Maha Raja Besar yang hormat dan takdhim pada Brahmana Jipang (Bojonegoro). Itu bukan Raja biasa, tapi Maha Raja, penguasa Kemaharajaan. Jika Maha Raja saja sebegitu hormatnya, maka ada benarnya jika Presiden pun sama. Presiden konon kan juga mirip Raja.
Bekas kerajaan memang cukup banyak berada di wilayah Selatan. Namun, pusat Brahmana tetap di Puncak Kendeng Utara. Pilar Pasak Jati, Azimat Bumi, dan Esensi Prasasti banyak diperuntukan bagi Brahmana Jipang — para pengendali Pesisir dan Pegunungan, Sang Penguasa Bengawan Njipangan (Bojonegoro).
Meski kerap dianggap kota kecil yang belum jelas arahnya, Bojonegoro tetaplah Bumi Brahmana. Tanah para Brahmana Bengawan, para pengendali Pesisir dan Pegunungan. Bukan kebetulan jika Bojonegoro jadi kawah pusat energi. Tempat di mana bermacam potensi bisa bermunculan lagi.