Mruwut Kanor merupakan peradaban islam sepuh di sisi timur Bojonegoro. Ia terkoneksi dengan Singgahan, Lasem, dan Padangan sebagai bagian dari Bani Kesultanan Pajang.
Kecamatan Kanor Bojonegoro masyhur wilayah islam tua. Ini dibuktikan adanya masjid tua di Desa Cangakan Kanor yang didirikan pada 1775 M oleh prajurit Kerajaan Mataram bernama Ki Ageng Wiroyudo. Namun, ratusan tahun sebelum keberadaan masjid tersebut, islam di Kanor sudah berkembang pesat. Khususnya di wilayah Mruwut Kanor.
Dusun Mruwut, Desa Semambung Kecamatan Kanor memang tak begitu populer. Bahkan belum banyak yang tahu bahwa ia pintu gerbang utama peradaban islam di Kecamatan Kanor. Peradaban islam di Mruwut terdeteksi sejak periode 1650 M. Ini terbukti secara ilmiah, melalui keberadaan ulama penyebar islam bernama Kiai Ageng Mruwut.
Kiai Ageng Mruwut memang tak banyak dikenal. Terlebih, namanya tak banyak diceritakan. Namun, secara ilmiah, keberadaannya punya dampak besar bagi persebaran islam di Kecamatan Kanor. Kiai Ageng Mruwut berafiliasi dengan tokoh-tokoh ulama Kesultanan Pajang.
Bani Kesultanan Pajang
Dalam Manuskrip Ngadipurwo Blora, tertulis Sultan Hadiwijaya memiliki putra bernama Pangeran Sumahadiningrat. Pangeran Sumahadiningrat berputra Pangeran Sumohadinegoro. Pangeran Sumohadinegoro memiliki tiga anak: Kiai Ageng Malduwut Ringkel Tuban, Kiai Abdul Qohar Ngampel Blora, dan Kiai Ahmad Mutamakkin Kajen Pati.
Kiai Ageng Malduwut yang dimaksud dalam manuskrip, tak lain adalah Kiai Ageng Mruwut. Ulama yang berdakwah di Mruwut Kanor. Kawasan Mruwut, semula dinisbatkan pada Rengel Tuban. Namun seiring pergeseran arus sungai, posisi yang semula berada di utara sungai (Rengel Tuban), berubah jadi teritori di selatan sungai (Kanor Bojonegoro).
Kiai Ageng Mruwut adalah kakak kandung Kiai Abdul Qohar Ngampel dan Kiai Ahmad Mutamakkin Kajen Pati. Jamak diketahui bahwa Kiai Abdul Qohar Ngampel dan Kiai Ahmad Mutamakin Kajen lahir dan tumbuh di wilayah Ringkel Tuban. Tak heran jika saudaranya, Kiai Ageng Mruwut, berdakwah di wilayah tersebut.
Jika dilihat dari masa hidup Mbah Mutamakkin (1645-1740 M), Kiai Ageng Mruwut sebagai kakak kandung tentu tak jauh dari periodisasi tersebut. Seperti halnya Mbah Abdul Qohar dan Mbah Mutamakkin Kajen, Kiai Ageng Mruwut adalah keponakan langsung Mbah Sabil Menak Anggrung Padangan.
Selain berkoneksi dengan Mbah Abdul Qohar Ngampel dan Mbah Mutamakkin Kajen, Kiai Ageng Mruwut berafiliasi dengan Mbah Sabil Padangan, Mbah Sambu Lasem, dan Mbah Jabbar Singgahan. Baik dalam menyebarkan islam, atau dalam rangka berkonflik dengan Kerajaan Mataram.
Oposan Amangkurat
Diakui atau tidak, nama-nama di atas adalah ulama yang menjadi oposan Amangkurat. Figur ulama yang tak hanya diburu Belanda, tapi juga diincar rezim Mataram era Sunan Amangkurat I (1619-1677 M). Tak heran mereka punya beberapa nama dan hidup dalam persembunyian.
Mataram era Panembahan Senopati dan Sultan Agung, tentu berbeda dengan Mataram era Sunan Amangkurat I. Di era rezim Sunan Amangkurat I inilah, ulama harus bersembunyi dan punya banyak nama. Nama Arab dan Jawa.
Sunan Amangkurat I dekat dengan Belanda. Sementara dzuriyah Kesultanan Pajang masyhur anti Belanda. Ini alasan Sunan Amangkurat memburu nama-nama dan wajah berbau Arab. Untuk menyelamatkan diri, mereka harus mengganti nama dan bersembunyi.
Masyhur rezim Sunan Amangkurat I (1619-1677 M) berseberangan dengan Mbah Sabil, Mbah Sambu, dan Mbah Jabbar. Masyhur pula konflik antara Mbah Mutamakkin dengan Sunan Amangkurat IV (1719-1726), Sunan Pakubuwono II (1726-1749), dan penguasa Mataram berikutnya.
Mengutip Babad Sengkala (1742 M), Ahmad Baso menceritakan bagaimana rezim Mataram era Sunan Pakubuwana I (1648-1719 M) mengeksekusi seorang sayyid. Sunan Pakubuwana I memburu dan mengincar para sayyid dan dzuriyah ulama, karena tak sejalan dengan kepentingan yang pro Belanda.
Tak heran banyak narasi sejarah yang terkesan berbeda. Sebab, sejarah memang ditulis penguasa. Sejarah hanyalah framing. Kepada siapa ia berpihak, tergantung siapa pemilik kertas dan pensilnya.
KH Yahya Cholil Staquf, dalam sebuah perbincangan mengatakan, Amangkurat adalah sosok yang “merentalkan” pulau Jawa pada Belanda. Amangkurat juga sosok di balik perburuan para dzuriyah ulama, hanya karena mereka keukeuh tak bisa diajak kompromi dengan Belanda.
Menurut Gus Yahya, di era Sunan Amangkurat inilah, banyak literatur zaman Kesultanan Demak dan Pajang dihilangkan. Bahkan, banyak pula catatan silsilah sengaja dibuang dan dibakar, demi menyelamatkan diri dari perburuan rezim yang kala itu mengincar anak cucu.
Ada bukti ilmiah menarik. Manuskrip Padangan, Manuskrip Bungah Gresik, dan Manuskrip Kedungpring Lamongan yang notabene menghimpun catatan Kesultanan Pajang, tak ditemui kata “Mataram” sama sekali. Padahal, mayoritas ditulis di era Kerajaan Mataram. Mungkin ini bagian dari sentimen ideologis.
Hampir semua dzuriyah Pajang atau ulama yang berkoneksi dengan Kesultanan Pajang, hidup di pinggir sungai dengan membangun peradaban melalui sebuah musala kecil. Masyhur, keberadaan musala kecil di pinggir sungai, konon sebuah kode keberadaan dzuriyah Kesultanan Pajang.
Ini alasan utama kenapa peradaban Pajang tak mewariskan masjid atau bangunan tua. Bahkan, musala kecil di pinggir sungai pun, hanya sebagai kode dan pertanda. Pajang mewariskan energi peradaban, bukan sebentuk masjid atau bangunan.
Kiai Ageng Mruwut adalah bagian dari Bani Kesultanan Pajang. Tak heran jika riwayat dan sejarahnya tenggelam tertutupi hegemoni rezim Mataram. Tapi, serupa hukum kekekalan energi, ia pasti akan tampak dan muncul di kemudian hari, sebagai ibrah yang harus dipelajari.
Hubungan Mruwut Kanor dan Padangan
Fiidarinnur (في الدار نور) adalah kode intelektual Padangan di era peperangan. Bisa jadi, Kanor adalah semiotika dari frasa Kanuur (كالنور), kode intelektual Mruwut di era peperangan. Dalam kaidah Bahasa Arab, Fiidarinnur berarti “Di Dalam Kota Cahaya”. Sementara Kanuur berarti “Serupa Cahaya”.
Secara ilmiah, sejak era Kiai Ageng Mruwut, wilayah Mruwut Kanor selalu memiliki hubungan dengan Tlatah Padangan. Baik secara nasab genealogi, maupun sanad ideologi. Sebab, Kiai Ageng Mruwut adalah keponakan langsung Mbah Sabil Menak Anggrung Padangan.
Energi dakwah Kiai Ageng Mruwut terus hidup dari zaman ke zaman. Pada akhir abad 19 M dan awal abad 20 M, muncul nama-nama ulama besar yang berdakwah di Mruwut Kanor. Di antaranya, adalah Mbah Yasin Mruwut, Mbah Zaini Mruwut, dan Mbah Syihabuddin Mruwut.
Ulama-ulama tersebut, menghidupkan peradaban islam di Mruwut Kanor. Pengaruh dakwah ulama Mruwut cukup besar. Tak hanya di Kanor, tapi Bojonegoro dan Tuban. Wilayah Rengel Tuban yang masyhur kawasan santri, tak lepas dari syiar dakwah ulama Mruwut.
Mbah Yasin Mruwut, Mbah Zaini Mruwut, dan Mbah Syihab Mruwut, adalah ulama berasal dari Padangan. Mereka anak cucu Syekh Syihabuddin Padangan yang berdakwah di kawasan Mruwut Kanor, sebagai pelanjut energi dan gerak dakwah Kiai Ageng Mruwut ratusan tahun sebelumnya.
Mbah Yasin Mruwut adalah cucu Syekh Syihabuddin Padangan. Nasabnya: Yasin bin Nyai Syamsuddin binti Syekh Syihabuddin. Sementara Mbah Zaini dan Mbah Syihab Mruwut adalah cicit Syekh Syihabuddin Padangan. Nasabnya: Zaini dan Syihab bin Yasin bin Nyai Syamsuddin binti Syekh Syihabuddin Padangan.