Tak hanya berkecimpung di dunia musik saja, Guntur Endra melahirkan inovasi berupa chord untuk anak berkebutuhan khusus. Berikut laporan tim Jurnaba.co yang berkunjung ke kediamannya.
Musik menjadi penghubung jiwa bagi setiap manusia. Siapa sih yang tidak bersinggungan dengan musik? Setiap orang pasti pernah mendengar musik. Bahkan, dari sejak kamu lahir. Nabs, tangisan pertamamu merupakan nada lho.
Bojonegoro memiliki sejumlah pelaku musik yang terkenal. Di telinga anak remaja pasti kamu tidak asing lagi dengan nama Guntur. ” Iku anak buahe Guntur”. Adagium itu menjadi semacam reflek saat berjumpa pemusik berskill sangar di Bojonegoro.
Kamu yang berkutat lama di dunia musik Bojonegoro, pasti tidak asing dengan nama Guntur. Yang jelas Guntur bukan hanya sebuah nama tempat kursus musik. Guntur juga bukan tokoh mitos berbasis khayalan.
Lalu, siapa sih, Nabs, Guntur itu?Jurnaba.co beruntung bisa bertemu dan sempat obral-obrol soal perjalanan bermusik sosok yang memitos dan melegenda di dunia musik Bojonegoro tersebut.
Teramat banyak hal bisa dikulik dari sosok bernama asli Guntur Endra ini. Selain perjalanan dan kiprah bermusiknya, juga giat sosial hingga inovasi yang dia lakukan. Satu di antara inovasi itu adalah: membuat not balok khusus anak berkebutuhan khusus.
Pria kelahiran 1974 ini sudah lama bergelut dengan musik. Sejak kelas 5 SD, pria bernama lengkap Guntur Endra ini mulai penasaran dengan musik. Sering kali dia ikut ayahnya untuk bermain musik.
Dari situlah, keingintahuannya akan musik semakin kuat. Hingga akhirnya, dia pun memutuskan menaruh jiwanya pada musik. Alat musik yang pertama dipelajarinya adalah gitar.
“Kenapa gitar, karena dirumah adanya waktu itu hanya gitar,” kata Guntur.
Guntur belajar bermain gitar secara swasiswa. Hingga pada masa sekolah menengah atas, Guntur memutuskan untuk hijrah ke Surabaya. Di Surabaya, dia fokus untuk kursus musik.
Pengalaman demi pengalaman ia dapatkan di Surabaya. Menginjak tahun 1997, Guntur membulatkan tekad hijrah ke kulon (Jakarta). Dengan modal niat dan tekad, dia pun berangkat. Mencari tempat kursus musik mana yang akan dijelajahinya.
Guntur memilih masuk ke Farabi. Salah satu tempat kursus musik di Jakarta. Di sana, dia fokus mencari ilmu sebanyak mungkin tentang musik. Tentunya, tak luput juga memperluas jaringan relasi untuk masa depan.
Sembari mendalami musik, siang hari dia menjelma menjadi kuli panggul di salah satu pasar di Jakarta. Penghasilan dari kuli panggung pun, cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sisanya, ditabung untuk membayar biaya kursus musik dan sewa tempat tinggal.
“Kalau siang jam 12 sampai jam 1 saya nyambi jadi kuli angkut, lumayan bisa buat tambah bayar biaya kursus dan lainnya,” ucap Guntur.
Tapi sayang, kursus yang dia ikuti tidak sampai tamat atau selesai. Sebab, kerusuhan 98 membuatnya harus pulang ke Bojonegoro. Lalu merantau lagi ke Surabaya untuk mengajar di satu tempat kursus musik Surabaya.
Di Surabaya, kejenuhan menghampiri. Guntur pun membuat tempat kursus sendiri di Bojonegoro. Itu awal ide membuka tempat kursus musik tercetus. Tentu, melalui riset dari satu studio musik ke studio musik lainya.
“Dulu, sebelum ada tempat sendiri, saya mengajar pindah-pindah. Dari studio satu ke studio musik lainnya,” ucap Guntur.
Akhir 1999, Guntur membuka tempat kursus musik sendiri. Terletak di Jl. Agus Salim, Kauman, Bojonegoro. Seluruh ilmu dan pengalaman, dia ajarkan dan turunkan kepada murid-muridnya. Tidak sedikit murid Guntur yang menorehkan prestasi.
“Kalau kita mau berusaha dan yakin jalan pasti ada. Niat yang kuat adalah doa yang kuat.” Ungkap Guntur.
Kurikulum yang dia bangun pun semakin berkembang. Awalnya, hanya mengajarkan bagaimana bermain musik dengan skill. Semakin ke sini, semakin bergeser. Menurut Guntur, skill saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan mental yang kuat.
“Buat apa punya skill sangar tapi malu atau tidak percaya diri tampil di hadapan publik,” ujarnya.
Dari situlah, Guntur juga membentuk mental para anak didiknya. Kini, Guntur tidak hanya mengajari skill dan mental, tapi juga lebih fokus bergeser ke pendidikan.
“Dogma musik sendiri kan tidak begitu baik di mata sebagian orang, ya sampeyan tahu sendiri lah mas,” kata Guntur.
Padahal, musik berdampak sangat baik pada pelajaran sekolah. Tentu, melalui intervensi fokus dan konsentrasi yang meningkat. Mengubah perspektif orang tua pada musik menjadi fokus yang dia dalami. Bahwa musik tidak seburuk yang mereka kenal.
“Bahkan orang yang pandai bermain musik justru bisa dikatan lebih pandai dalam urusan pendidikan,” tukasnya.
Tidak hanya anak-anak normal, bahkan, kini dia sedang menggali potensi bermusik pada anak berkebutuhan khusus. Guntur sedang membikin chord braille untuk bisa dibaca oleh penyandang tunanetra.
Selama ini, hanya ada chord alfabet dan huruf arab dalam bentuk braille. Karena itu, dia mencoba meraba dan berfikir dan meramu cara untuk mengaplikasikan huruf braille dalam bentuk chord.
“Ini dalam waktu dekat selesai. Agar semua anak (baik normal maupun berkebutuhan ) bisa menikmati musik.” Pungkasnya.