Njungok dan ndempok punya makna harfiah yang sama, berdiam diri. Berikut kajian terminologi atas dua kata itu secara santuy nan mencerahkan.
Kemarin malam, kami kembali melakukan kegiatan yang sudah lama kami nantikan. Apalagi kalau bukan Yasinan dan Tahlilan. Walaupun sekadar membaca yasin dan tahlil, kegiatan itu menjadi giat keramat yang paling saya rindukan.
Sebab, pasca menggelar agenda, pasti akan membuahkan gagasan. Memang sih gagasannya receh. Tapi saya yakin, receh kalau ditabung jadi nggak receh. Karena tak ada kerecehan yang sempurna, seperti halnya tak ada kejahatan yang sempurna.
Ada satu tradisi yang tak pernah ditinggal saat Yasinan dan Tahlilan. Dari Sabang sampai Merauke, pasti melakukan hal itu. Sebab jika tidak dilakukan, bisa gawat dan berbahaya. Ya, tradisi yang selalu dilakukan saat Yasinan atau Tahlilan adalah njungok/ndempok.
Njungok di sini berarti duduk. Ndempok juga sama. Duduk sambil baca Yasin dan Tahil. Tak lupa bercerita peradaban islam dari zaman ke zaman. Coba bayangkan, masak Yasinan dan Tahlilan tanpa duduk? dengke’e kumat dong.
Nah, dari sana, saya muncul inspirasi untuk menulis kajian terminologi terkait istilah njungok dan ndempok secara harfiah dan maknawiah. Sebab, jika direnungi, kata-kata itu punya keluasan makna yang tidak sederhana.
Njungok istilah yang sudah banyak digunakan orang-orang desa. Ndempok juga sama. Dalam filsafat Pasifisme, ada makna besar dibalik kata njungok dan ndempok. Njungok dan ndempok adalah konsep perlawanan, saat yang lain berdiri.
Perlawanan di sini, bukan sekadar gerak revolusi biasa. Tapi konsep pemberontakan non-kekerasan. Kita tahu, pemberontakan non-kekerasan dipopulerkan dan diterapkan oleh pemimpin India, Mahatma Gandhi dalam upayanya meraih kemerdekaan dari Kekaisaran Britania.
Jadi, kalau boleh menerjemah dan mengatakan, apa yang dilakukan Mahatma Gandhi sesungguhnya adalah konsep Ndempokisme dan Njungokisme (istilah Jawa dari Gerakan Pasifisme).
Selain Mahatma Gandhi, tokoh-tokoh yang menganut paham Ndempokisme dan Njungokisme adalah Leo Tolstoy, Alice Paul, Martin Luther King, Václav Havel, hingga Andrei Sakharov. Ada banyak buku-buku kok yang membahas pemberontakan non-kekerasan.
Njungok dan ndempok memang dua kata yang menarik. Tapi menurut saya, ndempok jauh lebih puitis dibanding njungok. Ndempok punya kesan yang lebih puitis dan elegan.
Buktinya, kata Ndempok mengingatkan kita pada momen pasrah saat bermunajat. Sementara kata Njungok mengingatkan kita pada kamar mandi dan ruang berhajat.
Kalimat: “seorang lelaki mengatakan cinta sambil ndempok“, tentu lebih elegan dibanding kalimat: “seorang lelaki menyatakan cinta sambil njungok“. Ndempok punya makna kepasrahan, tapi tetap elegan.
Saking sukanya saya pada kata Ndempok, tahun 2020 lalu, saya bikin web bernama Ndempok.my.id. Itu saya bikin saat masih awal masuk kampus dan sedang rajin-rajinnya menulis. Bahkan, kata itu juga saya jadikan slogan di WA saya.
Oke kembali lagi ke cerita awal. Njungok yang kami lakukan saat malam jumat adalah hal yang positif dan sudah berjalan beberapa tahun. Dan kembali kami lakukan sebagai upaya istiqomah.
Njungok yang ada di Madrasah Guratjaga bukan berarti sekadar diam. Tapi diam yang sekaligus ketiduran sema’an karya. Hal itu tak bisa dilakukan sambil berdiri. Masak sambil berdiri? kan jadi capek plus pegal-pegal kaki ini wqwq
Kembali pada kata njungok dan ndempok. Kali ini pakai tinjauan filsafat Jawa. Kata Njungok sangat menarik bagi saya. Ada kata yang tersimpan dan menjadi pepeling bagi diri saya. Suatu malam saya jagong dengan bapak saya. Bapak juga bilang “njungok kuwi seng anteng tur sopan”.
Njungok menurut saya, adalah parikan dari: “Nek wes diJunjung ojo sampek mbeNgok” jika kamu sudah diangkat derajatmu oleh Allah, jangan kamu omongankan. Yang tahu cukup dirimu sendiri dan Sang Pencipta.
Mbengok disini bukan berati suka ngomong saja. Tapi juga suka memerkan sesuatu di depan umum. Di sini lah, konsep Njungok harus dipahami. Njungok, tapi tangan, kaki, dan hati akan selalu bergerak.