Nyai Ireng merupakan figur ulama perempuan yang jadi bukti empiris Islam masuk Rajekwesi lewat jalur Bengawan. Karakternya diabadikan dalam seni Kentrung dan Sandur.
Desa Ledok Bojonegoro, yang dulu bernama Pengkol, adalah titik penting peradaban Islam periode 1700 M. Pengkol menjadi pelengkap antara Sranak dan Guyangan sebagai segitiga peradaban Islam Bengawan Rajekwesi.
Baca Juga: Kiai Sadipo Sranak, Ulama Bengawan Rajekwesi
Nyai Ireng merupakan ulama perempuan yang pernah berdakwah di wilayah Pengkol (Ledok Bojonegoro). Nama Nyai Ireng mungkin tak pernah lagi terdengar. Namanya hanya terdengar lamat-lamat melalui cerita legenda masyarakat. Itu pun sudah tak banyak yang mengetahuinya.
Karakter Nyai Ireng diabadikan dalam seni Kentrung Pengkol. Di mana, dalam pementasannya, dalang harus perempuan. Karakter Nyai Ireng juga menginspirasi ketokohan Prawan Sunthi yang muncul dalam tembang seni Kentrung Bate dan seni Sandur Ledok. Tokoh Prawan Sunthi diceritakan sebagai seorang gadis yang sedang mencari ilmu agama.
Untuk diketahui, Kentrung Pengkol merupakan cikal bakal dari Kentrung Bate. Seni tabuh rebana diiringi nasehat-nasehat ukhrowi ini tumbuh di wilayah Pengkol Ledok. Ia dikenal Kentrung Pengkol. Sayangnya, pada dekade pertama periode 1900 M, Kentrung Pengkol mulai tak terdengar lagi. Metode tabuh rebana inilah yang kelak dibawa ke Bate Tuban, untuk diselamatkan dan dilestarikan.
Karakter Nyai Ireng memang hanya dikenal lewat ketokohan dalam seni kentrung dan sandur. Itu pun secara samar dan tak menyebut namanya secara langsung. Namun, terlepas dari ketokohan nan melegenda itu, Nyai Ireng tokoh empiris yang namanya tercatat sebagai bagian dari Kasepuhan Padangan.
Nyai Ireng bagian dari para Pelintas Bengawan dari Kasepuhan Padangan. Pengemban misi dakwah jalur Bengawan. Bersama Kiai Sadipo Sranak, Kiai Singoleksono Pengkol, dan Nyai Nadipah Tulung; Nyai Ireng adalah rombongan Kiai Januddin Guyangan yang melakukan ekspansi dakwah ke Rajekwesi.
Meski karakter Nyai Ireng tersamar dalam seni Kentrung, tapi asal-usulnya jelas. Namanya tercatat empiris. Kehadirannya membawa misi. Nasabnya tercatat: Nyai Ireng binti Januddin Guyangan bin Kiai Kedong bin Kiai Saban bin Syekh Menak Anggrung Padangan. Secara empiris, Nyai Ireng terhitung cicit langsung dari Syekh Menak Anggrung Padangan.
Nama Nyai Ireng tercatat dalam Manuskrip Padangan yang ditulis Syekh Abdurrohman Klotok. Nyai Ireng adalah putri terakhir dari Kiai Januddin Guyangan, ulama dari Kasepuhan Padangan yang bermigrasi dan melakukan ekspansi dakwah di wilayah Paguyangan Rajekwesi (Guyangan Trucuk) pada periode 1700 M.
Kasepuhan Padangan tak hanya jadi pusat administrasi Kabupaten Jipang pada (1677-1725 M), tapi juga pusat pendidikan agama, semacam Kadewaguruan Islam yang dimulai sejak Mbah Jimatdil Kubro membangun Mesigit Tebon di Puncak Gunung Jali pada periode 1300 M.
Kasepuhan inilah yang kelak dilanjut era Syekh Usman Ngudung alias Sunan Jipang Panolan (periode 1400 M); Syekh Nursalim Tegiri (periode 1500 M); Syekh Menak Anggrung (periode 1600 M); Syekh Kamaluddin Oro-oro Bogo (periode 1700 M); hingga Syekh Abdurrohman Klotok (periode 1800 M).
Bagian manuskrip di atas menyebut nama-nama putra Kiai Januddin Guyangan. Di antaranya: Kiai Sabil Januddin, Nyai Abdurrohim Jipang Kapadangan, Kiai Surat Winong, Kiai Abdurrohim Darojat, Kiai Ismail Mrayun, Kiai Ilyas Jipang, Rohadi Sendang Darojat, Nyai Nadipa Tulung, Nyai Kabah, Nyai Jani, Nyai Susur, dan Nyai Ireng.
Nyai Ireng dan Mbah Andongsari
Sama seperti Kiai Januddin Guyangan dan Kiai Sadipo Sranak, kedatangan Nyai Ireng ke wilayah Rajekwesi berlangsung pada periode 1700 M. Sekira rezim Mataram Pakubuwana I (1704-1719 M). Nyai Ireng menetap di bantaran Pengkol. Tak jauh dari Guyangan dan Sranak. Di wilayah inilah, Nyai Ireng mengemban misi Mulang Santri. Sama seperti yang dilakukan ayah dan pamannya di Guyangan dan Sranak.
Keberadaan Nyai Ireng singkron dengan cerita tutur wilayah Pengkol tentang Mbah Andong dan Nyai Sari. Sepasang pelarian Mataram Islam yang dikenal dengan Mbah Andongsari ini, dikabarkan juga bersembunyi di bantaran Pengkol (Ledok). Mbah Andongsari yang Haul (tahun wafat) nya pada 1782 M, mengindikasikan periode yang sama dengan era Nyai Ireng.
Misi dakwah Nyai Ireng di wilayah Pengkol bertaut dengan misi pelarian (penyamaran) Mbah Andongsari di Pengkol Ledok. Nyai Ireng mewakili kaum Ulama. Sementara pasangan Mbah Andong dan Nyai Sari mewakili kaum Sentana (keraton). Sejarah mencatat, Ulama dan Sentana selalu jadi tokoh pembangun peradaban.
Misi dakwah dan misi penyamaran (persembunyian) itu, kelak berpadu dalam dakwah berbalut seni Kentrung Pengkol. Nyai Ireng mengurai nasehat-nasehat ukhrowi diiringi penampilan dan tetabuhan seni khas keraton dari Mbah Andongsari. Di sinilah, pertautan tradisi Ulama (nasehat) dan tradisi Sentana (pertunjukan) terjadi.
Pakem ini jadi alasan kenapa Kentrung Pengkol menempatkan perempuan sebagai tokoh utama. Mengharuskan dalangnya seorang perempuan. Tembangnya berisi nasehat keislaman. Nasehat dikemas seni pertunjukan. Dalam Kentrung Pengkol, perempuan berada di baris terdepan. Ia memegang peran penting sebagai seorang guru dan dalang.
Secara umur, Nyai Ireng mungkin lebih sepuh dibanding Mbah Andong. Ini dilihat dari posisi dan status Nyai Ireng sebagai guru atau dalang dalam seni Kentrung. Namun secara periodisasi, mereka hidup sezaman. Ini dilihat dari kolaborasi jenis pusaka yang masih bisa dilihat sampai kini.
Dakwah berbasis seni Kentrung ini terbukti empiris melalui delapan pusaka Mbah Andongsari. Delapan Pusaka itu terdiri dari: Kentrung, Tongkat Menjalin Bang, Tongkat Menjalin Porong, Tombak Godong Andong, Tombak Gagak Cemani, Tongkat Galih Kelor, Tombak Singo Barong, Pedang Cungkrik, dan Kutang Ontokusumo.
Kentrung dan Tongkat Menjalin identik tradisi Ulama dalam proses mulang santri, sama seperti posisi Nyai Ireng saat berada di Pengkol Ledok. Sementara Tombak dan Pedang identik tradisi Sentana Kerajaan, sama seperti posisi Mbah Andongsari saat berada di wilayah Pengkol Ledok.
Secara tidak langsung, penempatan posisi makam tokoh-tokoh tersebut juga menggambarkan posisi dakwah dalam pertunjukan Seni Kentrung. Jika dilihat dari arah kiblat (barat), makam Nyai Ireng berada di depan, sementara makam Mbah Andong dan Nyai Sari berada di belakang posisi makam Nyai Ireng.
Wallahu A’lam Bishowab.