Sebuah perbincangan tentang dampak penerapan jam malam terhadap pedagang kecil (pedagang besar tapi playing victim ngaku-ngaku kecil?) di Kota Bojonegoro.
Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba kami berempat sepakat begitu saja untuk menjemput senja di altar warung kopi Kota B yang bersebelahan dengan lintasan kereta api itu. Keasikan ngobrol kami hingga larut magrib, yang nggak larut-larut amat juga sebenarnya.
Tak selang lama, pemilik warkop yang kebetulan kami kenal, datang menyapa dari atas motor yang baru saja parkir. Masuk ke dalam sebentar lalu membersamai kami, saling menanya kabar, barangkali itu menjadi strategi marketing untuk menggaet pelanggan.
Tapi lama kemudian obrolannya bukan basa basi lagi, ia bercerita atau tepatnya mengeluh, dengan adanya Jam Malam yang akan berlaku pada malam itu juga. “Mungkin kalau patroli di sini nggak ada, tapi jam sembilan tetep saya tutup, kemaren sudah diingatkan sama Bu RT” celetuknya, lalu menghisap rokok Mlinjo-nya dalam-dalam.
Akhirnya tensi obrolan kita menyerius, menyoal hubungan negara dengan rakyatnya, bupati dengan para pelaku usaha yang dominan kecil. Mengenai adanya penerapan jam malam untuk menekan gelombang kedua Covid-19, di mana sebaran pandemi ini kian tak terkendali, dengan berlakunya jam malam mungkin bisa sedikit terkendali begitu ya kira-kira.
Tapi kenapa pemilik warkop itu mengeluh coba, padahal niat pemerintah tentu saja buat kebaikan bersama dengan tindakan konkret seperti ini.
Ternyata niat baik itu kadang terkesan sebaliknya jika diterapankan dengan gegabah tanpa perencanaan matang, sama seperti kami saat tiba-tiba memutuskan ngopi ini, tidak ada pertimbangan ABC dan tetek bengek-nya.
Kemudian apa persoalannya? Jangan jawab persoalannya kompleks, karena itu bukan jawaban. Biar nggak kompleks kayak benang kusut kita sederhanakan satu-satu.
Pertama, kalau soal penangganan pandemi itu memang sudah tugas dan tanggung jawab pemerintah, sedang kewajiban pelaku usaha itu memastikan dapur terus mengepul, melayani pelanggan dan mengejar target, justru jam sembilan ke atas itu mulai ramai-ramainya warung.
Kedua, yang diajak rembukan itu cuma forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang memang ditunjuk sebagai Gugus Tugas Covid-19.
Bagus sih, melakukan pengetatan kembali untuk mencegah kerumunan massa, lalu razia masker dari warung ke warung serta difasilitasi rapid test, hingga pemberlakuan jam malam.
Yang terakhir inilah yang menjadi keluhan utama pemilik warkop itu, jika jam malam mengapa harus jam sembilan? Tentu yang senasib banyak sekali, hitung sendiri berapa deretan warung yang ada di hampir sepanjang jalan. Mereka sebetulnya ingin dilibatkan dalam penentuan jam malam ini, karena merekalah yang akan kena dampaknya langsung. Langkah yang tampak kesusu tanpa ada asas partisipasi dan sosialisasi, adalah bentuk dari demokrasi semu (pseduo democracy).
Ketiga, pada akhirnya segenap pelaku usaha itu merasa tereksklusi dari tempat usahanya. Selain karena kebijakan jam malam, yang meski belum diregulasikan secara jelas. Juga adanya paksaan (force) yang digawangi oleh aparat keamanan dengan operasi yustisi-nya saban hari, yang diharapkan ini lebih persuasif dan tak bertindak kekerasan.
Dan beberapa persoalan ini mudah diatasi asal punya kemauan. Bahkan sewaktu ngopi saja kita sudah bisa melakukan proses pertimbangan dan mengambil keputusan dalam pertemuan langsung (face to face), itu kalau di Swiss sudah menjadi demokrasi langsung dan menyelesaikan persoalan jam malam ini. Tapi di sini adalah Indonesia dengan demokrasi keterwakilannya, semoga benar-benar mewakili apa yang kita sambatkan. Sekian.