Raksasa harus dilawan dengan raksasa. Industri yang memproduksi sampah secara raksasa, harusnya dilawan dengan industri pengelolaan sampah kaliber raksasa.
Indonesia adalah negara yang terkenal akan keberagam budayanya. Namun, terkenal pula akan isu lingkungannya. Salah satu isu yang sangat esensial adalah sampah. Indonesia digadang-gadang sebagai negara yang kotor, banyak sampah berserakan di setiap sudut kota-kota dan aliran sungai.
Padahal regulasi mengenai sampah di Indonesia sangat ketat, seringkali kita melihat spanduk besar bertuliskan “Setiap orang dengan sengaja atau terbukti membuang, menumpuk sampah dan/atau bangkai binatang ke sungai/kali/kanal, waduk, situ, saluran air limbah, di jalan, taman, atau tempat umum, dikenakan uang paksa paling banyak Rp 500 ribu.
Tapi, tulisan hanyalah sekadar tulisan, faktanya masih banyak sampah berserakan dibuang ke aliran air, jalan, dan berbagai tempat umum lain. Hal ini membuktikan regulasi tanpa implementasi yang baik, tidak akan berjalan sesuai harapan.
Menurut Badan Pusat Statistik, pada tahun 2019 Indonesia memiliki 32.209 perusahaan industri besar dan sedang yang masih aktif. Perusahaan tersebut memproduksi barangnya setiap hari, dan selama proses produksi tentu pabrik menghasilkan limbah.
Tak hanya itu, barang hasil produksi yang sudah digunakan oleh konsumen juga akan berakhir menjadi sampah. Ini berarti ada 32.209 pabrik penghasil sampah di Indonesia, tidak sebanding dengan jumlah pengelola sampah di Indonesia. Pengelolaan sampah di Indonesia masih ditangani oleh pengelola sampah milik masyarakat yang sangat sederhana.
Apa jadinya jika ada begitu banyak pabrik industri raksasa yang memproduksi sampah setiap hari, tapi tak ada pabrik raksasa pengelola sampah?
Jika masyarakat seakan terus dijadikan tulang punggung dalam penanganan sampah, maka terjadilah hal-hal seperti sekarang ini. Tak banyak sampah yang bisa ditampung dan diolah oleh pengelolaan sampah masyarakat yang kecil, kurang terstruktur, dan juga kurang modern, sehingga masih banyak sisa sampah yang tidak bisa tertampung dan diolah dibiarkan menumpuk di sudut-sudut kota atau bahkan dibuang di pinggir sungai.
Sejak saat menempuh pendidikan sekolah dasar, masyarakat Indonesia telah diajarkan mengenai pentingnya tidak membuang sampah sembarangan, serta pentingnya pengelolaan sampah. Masyarakat sebenarnya paham cara pengelolaan sampah yang benar. Hanya saja, pengetahuan dengan praktik keseharian mereka belumlah selaras, bahkan “jomplang”.
Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah non B3 Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Sinta Saptarina mengatakan dari survei BPS, tercatat sekitar 72 persen masyarakat di indonesia tidak perduli dengan pengelolaan sampah.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, salah satunya adalah infrastruktur yang belum lengkap dan memadai. Sebenarnya negara-negara eropa, seperti Jerman juga menghasilkan sampah yang sama banyaknya dengan Indonesia tetapi, pemerintah Jerman menerapkan menejemen sampah yang sangat baik sehingga masalah sampah di sana tidak begitu terekspos.
Tidak relevan jika kita membandingkan keberhasilan negara Jerman dengan Indonesia. Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana mempersiapkan fondasi keberhasilan tersebut. Fondasi keberhasilan yang ingin dibangun bukanlah pekerjaan sederhana, perlu dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah yang berfungsi sebagai penggerak awal.
Masalah utama dalam pengelolaan sampah di masyarakat, adalah tidak adanya sistem yang utuh dan kontinu. Sebagai penggerak awal, pemerintah seharusnya membuat regulasi sistem yang jelas dan tegas dari lingkup yang paling kecil hingga besar.
Seperti, bagi setiap rumah tangga harus membuang sampah yang sudah dipilah tersendiri secara terjadwal setiap minggunya, para pekerja pemungut sampah dibekali dengan pengetahuan, dan perlengkapan keselamatan, dan yang paling penting adalah melengkapi infrastruktur.
Salah satu infrastruktur esensial adalah membangun pabrik raksasa pengelola sampah. Pabrik pengelolaan sampah yang terstruktur, bersistem, dan modern. Disanalah nantinya sampah terakhir didaur ulang.
Dalam hal ini pemerintah bisa langsung melibatkan mahasiswa untuk ikut berpartisipasi pada project pembangunan pabrik raksasa pengelola sampah sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Misalnya, mahasiswa arsitek dilibatkan dalam desain bangunan pabriknya, mahasiswa teknik menyumbangkan pemikiranya mengenai pembuatan mesin modern untuk mempermudah pengelolaan sampah, dan inovasi pemikiran-pemikiran dari mahasiswa seluruh Indonesia untuk menyiptakan Pabrik Raksasa Pengelola Sampah Indonesia yang bisa mendaur ulang segala jenis sampah serta menghasilkan output yang berprofit.
Permasalahan sampah sudah harus kita respon dengan serius, memang “Small steps matter” tetapi dalam hal pengelolaan sampah menurut saya tidak cukup. Raksasa harus dilawan dengan raksasa. Membuat projek Pabrik Raksasa Pengelola Sampah Indonesia adalah langkah besar yang seharusnya bisa diupayakan oleh pemerintah bersama masyarakat.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung angkatan 2021. Saat ini mukim di Jakarta Selatan.