Sore itu, kau masih terlelap dalam mimpi-mimpi surealis. Tiba-tiba satu denting dari ponselmu membangunkanmu. Keringat bercucuran, membuat kaos putih dengan tipografi take time out yang kau kenakan menjadi basah.
Dengan malas kau memicingkan mata pada nama si pengirim pesan. “Oh, nomor tidak dikenal,” gumammu kesal. Jam dinding di kosanmu menunjukkan pukul 04.46. Kalau ayahmu tahu kau tidur hingga sesore itu, kau pasti akan kenyang oleh omelannya.
Pelan-pelan kau baca pesan dari nomor asing itu. “Hai, Wanda. Aku orang yang selalu mengingat namamu, setiap hari, dalam jangka waktu setahun setelah kita bertemu. Arga,”
Kau memerlukan waktu sekitar dua menit untuk bangun dan mengingat-ingat siapa pemilik nama Arga. Hingga akhirnya kau menyerah pada kemampuan cemenmu dalam mengingat nama orang baru.
Semenit kemudian kau telah mengetik balasan, “Terimakasih telah mengingatku. Maaf jika aku gagal menemukan pada momentum apa kita berkenalan.” Kau masih menimbang-nimbang, apakah balasan ini cukup layak untuk pesan asing semanis itu.
Tak perlu waktu lama untuk menantikan balasan dari seorang yang kemungkinan besar pria, bernama Arga itu. “Aku masih mengingat lagu Iris dari Goo Goo Dolls yang kau nyanyikan di acara penggalangan dana. Ketika itu di Alun-alun Bojonegoro. Aku pria yang memanggul kamera dan mengajakmu kenalan,” jelasnya lagi.
Sedetik setelah Arga menjelaskan, memori yang berceceran setahun lalu mulai terangkai menjadi sebuah kisah. Runtut namun samar. Arga kembali mengirim pesan. “Kalau kau ada waktu untuk pulang, tanggal 1 Maret ini aku ingin mengajakmu bertemu. Di Bojonegoro tentunya,”
Kau memilih untuk menunda membalas teks itu. Entah apa yang kau pikirkan. Kau hanya tak suka hal yang terlalu manis dan mengalir deras tanpa jeda. Kau menengok aplikasi kalender yang tertanam di ponselmu.
Hari itu adalah tanggal 1 Februari. Lima hari menuju tanggal resign dari kantor yang sudah hampir jadi rumahmu selama 2 tahun di kota metropolitan ini. “Tak ada salahnya aku pulang ke Bojonegoro,” gumammu dalam hati. Tapi, tetap. Kau tak ingin membalas pesan itu.
28 Februari 2019
Kota metropolitan yang kau tinggali semakin riuh. Sedang isi kepala dan hatimu makin sunyi. Beberapa sudut kota yang biasanya membuatmu bahagia tiba-tiba jadi kehilangan bunyi.
Ponselmu penuh sesak dengan ucapan perpisahan dari rekan-rekan kantor. Tak ada niatan yang muncul untuk membalasnya. Kau memang selalu begitu. Terlalu acuh dan dingin.
Tiba-tiba satu nomor asing muncul di notifikasi ponselmu. “Hai, Wanda. Besok tanggal 1 Maret, dan tawaranku masih berlaku. Aku juga masih menanti jawabanmu,” bunyi pesan dari nomor itu.
“Ah, Arga. Orang asing ini masih ngeyel usaha juga,” ujarmu sambil tersenyum. Kali itu, hatimu sedikit luluh. Yah, sekadar untuk membalas pesan singkat. Lagipula, sulit menemukan orang dengan lelaku manis seperti itu.
Baca juga: Fiksi Akhir Pekan Lainnya
Kau ketukkan jari dengan cepat. Satu pesan meluncur ke nomor Arga. “Jika kemudian aku pulang ke Bojonegoro untuk menemuimu, apakah aku akan menjalani satu hari yang menyenangkan?”
Lima menit kemudian, Arga — yang nomornya tak jua kau simpan itu membalas. “Aku tak pandai berjanji. Tapi aku pandai mengupayakan,” balasnya. Kemudian sebentuk senyuman muncul di raut muka suntukmu.
1 Maret 2019, Pukul 11.00
Kau memutuskan untuk pulang naik kendaraan umum. Tiket kereta sudah ludes diborong para pencari kenyamanan yang hemat kantong. Tinggallah bus antar kota yang bisa dijadikan opsi. Bus yang hobi ngeblong dan menyediakan lagu-lagu patah hati dalam alunan gendang yang ceria.
Pukul 11.23 kau sudah sampai di terminal. Sulit untuk mendapatkan ojek online di daerah ini. Sepertinya tak ada pilihan lain. Selain memberi kabar pada Arga. Sekaligus meminta tolong untuk menjemputnya di terminal.
Arga tak banyak basa-basi. Ia langsung meluncur menjemputmu lima belas menit kemudian. Baru saat itulah kau benar-benar ingat pada sosok Arga. Fotografer yang sempat menyapamu setahun lalu di Alun-Alun Bojonegoro.
“Akhirnya kita ketemu lagi ya, Wanda,” ucapnya sambil tersenyum. Siang itu ia mengenakan kaos bertuliskan tipografi sederhana, panthera tigris. Kau cukup terkesima oleh kaos itu. Tanpa menjawab ucapannya barusan.
“Aku suka kaosmu. Hehe. Jadi, kemana kita?” Arga hanya tersenyum sambil menyalakan motornya. Ternyata ia cukup sigap dengan membawakanmu helm. Setelah memastikanmu duduk di jog belakang, ia menjawab pertanyaanmu. “Aku ingin mengajakmu ke toko buku.”
1 Maret, Pukul 12.00
Kau dan Arga menghabiskan waktu cukup lama untuk membaca satu per satu judul buku. Baik fiksi, buku-buku how to, sampai buku agama sekalipun. Ternyata Arga sangat menyenangkan. Ia sanggup membawa tema-tema receh menjadi percakapan yang mendalam.
Disela percakapan soal buku, Arga juga sering bertanya tentang kehidupanmu di kota metropolitan. Tentang tempat-tempat yang sering kau kunjungi. Makanan-makanan yang layak dicicipi jika berkunjung ke sana. Hingga hal-hal paling kau benci.
Kau menumpuk banyak asumsi dan pertanyaan yang tak terucap untuk Arga. Hingga kemudian ia memegang satu novel fiksi bersampul jingga dengan ilustrasi pohon berdaun merah maroon. Buku itu telah terbebas dari segel plastik tokonya. Lama ia khusyuk pada halaman demi halaman.
Tak tahan akan sepi yang tiba-tiba menyerang. Sedang kepalamu telah sesak oleh ratusan pertanyaan dan pernyataan. Kau memutuskan untuk memutus benang jeda kesunyian. “Kau orang yang sangat berani ya, Arga.”
Arga menengok dan menatapmu lama. “Keberanian seperti apa yang aku lakukan?” jawabnya. Ia tak lagi memperhatikan buku di tangannya. Namun tak jua memindahkan buku itu ke rak.
“Seperti mengirim teks padaku. Lalu memintaku pulang dan menemuimu?” jawabmu lugas. Tatapannya makin tajam. Bola matanya yang ternyata berwarna cokelat terang menembus ke dingin hatimu. Membuat perasaan hangat yang janggal dan tak asing.
Ia tak jua menjawab. Ia hanya memalingkan pandangan dan mengambil buku sampul oren yang masih tersegel. Kemudian mengirimkan kode untuk beranjak ke meja kasir. Dan kau makin bertanya-tanya apa maksudnya. Entah ia tersinggung, marah, atau apa.
Di meja peralatan tulis, ia menyambar highlighter berwarna kuning cerah. Meletakkan dua barang itu ke meja kasir tanpa berkata-kata. Kemudian membayarnya dengan dua lembar uang berwarna biru. Sedangkan kau tahu kau tak punya keberanian untuk mengajukan pertanyaan lain.
Arga kemudian merobek plastik segel dan terlihat sibuk membolak-balikkan halaman novel fiksi itu. Semenit kemudian ia menandai sebaris kalimat dengan highlighter kuning yang baru ia beli. Ia segera mengakhiri menit-menit yang dingin dengan tersenyum dan menyerahkan buku itu padamu.
“Aku bukan orang yang pemberani. Buktinya aku butuh waktu satu tahun untuk berani menyapamu lewat pesan singkat. Buktinya aku juga tak berani mencarimu saat kau tak membalas pesanku. Aku hanya pengecut yang sabar,” ucap Arga dengan tenang namun terlihat kikuk dan canggung.
“Buku ini untukmu. Tapi, baca tulisan yang sudah aku highlight terlebih dahulu,” tambahnya lagi. Kemudian kau hanya diam dan membaca tulisan yang ia maksud.
“Namun, ternyata, jika seseorang hanya memikirkan seseorang, bertahun-tahun, dan dari waktu ke waktu mengenai isi hatinya sendiri dengan cinta hanya untuk orang itu saja, maka saat orang itu pergi, kehilangan menjelma menjadi sakit yang tak tertangguhkan, menggeletar sepanjang waktu.”
Itu kutipan tulisan yang Arga beri highlight kuning terang. Kemudian kau baca judul novel fiksi tersebut. Padang Bulan, tulisan Andrea Hirata. Kau tersenyum canggung, kemudian bertanya, “Tak bisakah kau menjelaskan maksudmu, supaya aku tak larut dalam asumsiku?”
Ia menghela napas sejenak, lalu menjawab. “Aku hanya tak ingin hari-hari yang berlalu dengan ingatan tentangmu berubah menjadi sakit yang tak tertangguhkan, yang menggeletar sepanjang waktu,” Ia menghela napas lagi, kemudian melanjutkan.
“Aku tak ingin kehilanganmu tanpa pernah memilikimu. Aku ingin jadi pengecut yang setidaknya pernah berusaha memiliki memori tentang senyummu.” ujar Arga sambil mengakhirinya dengan senyuman.