Tiga pesan Jibril pada Kanjeng Nabi membuatku percaya adanya karma. Bahkan bagiku, jangankan karma, reinkarnasi pun (kadang) aku percaya.
Aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Perpisahan yang semestinya tak terjadi, kini nyata terjadi. Tak ada lagi suasana nyaman seperti dulu. Sebab seperti zaman, suasana tak luput dari perubahan.
Semua sudah berubah. Setelah kau mengatakan kita harus berpisah. Aku menuruti semua kemauanmu yang telah berkali kau ucap di sela-sela hubungan yang “seolah” mulai merenggang itu.
Aku ikuti semua alur cerita yang kau buat, seakan-akan aku harus patuh berlapang dada dengan keputusan menyakitkan itu. Aku sanggup menahan air mata, bahkan sabar menahan sedih dan rasa pahit itu.
Kadang aku berpikir, cinta tanpa pamrih yang diperjuangkan mati-matian, dengan mudah disia-siakan. Sementara cinta yang sekadar datang untuk memaksimalkan kesempatan, malah dianggap sesuatu yang berorientasi masa depan.
Tentu aku tidak kaget, sebab dia tak datang dengan tangan kosong. Tapi datang membawa aplikasi yang mampu memanjakan obsesi dan fantasi manusiawimu. Sebuah aplikasi yang mungkin belum aku berikan kepadamu.
Apakah aku terluka? Tak ada orang yang baik-baik saja dengan kepergian yang sesungguhnya belum siap untuk dihadapi ini. Meski begitu, sebagai seorang lelaki, aku tetap menghadapinya.
Kau masih ingat? Kita bertemu saat sayapmu sedang robek dan terluka. Disebab oleh takdir, pelan-pelan aku membalut lalu mengobati luka di sayapmu itu.
Saat luka robek di sayapmu telah sembuh, kau memintaku menanam kembali benih bulu di sana, hingga pelan-pelan, kau dan aku merawat sayapmu itu hingga kembali tampak indah.
Kau juga memintaku menemanimu berlatih terbang. Ya, aku tahu. Kau sempat takut terbang karena ingat sakitnya terjatuh. Dan demi agar kau tak takut, aku menemanimu. Kita sering berloncatan kesana-kemari demi mengembalikan keberanianmu terbang tinggi lagi.
Aku senang saat melihatmu kembali bersayap kuat dan berani terbang tinggi mengelilingi lautan imajinasi. Dan kau senang karena aku selalu menemanimu, setia membersamai rasa cemas dan percaya dirimu.
Kau dan aku senang. Kita bahagia telah melampaui proses mengobati, menanam, dan berlatih terbang tinggi. Tapi sayap itu berubah menjadi petaka saat kau terbang terlalu tinggi dan menjauh dariku.
Kau meninggalkanku dengan kesadaran sempurna sebagai sosok yang telah berani terbang lagi. Bahkan ketika kau sulit mencari alasan untuk pergi, kau masih memintaku membantumu mencari alasan, agar kau bisa pergi tanpa beban.
Tahukah kau, seperti apa perasaanku saat itu? Untuk merasakannya, kau cukup mengubah subjek “aku” menjadi “kamu”. Tapi aku tak merekomendasikan itu, demi agar kau tetap baik-baik saja bersama obsesi dan fantasimu itu.
Aku sempat merasa sedih yang amat dalam saat kau meninggalkanku. Aku hanya tak cakap mengekspresikannya. Aku juga sempat merasa kecewa berbalut amarah berhari-hari. Hingga tak tahu lagi, bagaimana cara menunjukkan perasaan sedih ini.
Tapi entah siapa yang membisikiku, dalam kesedihan yang teramat dalam itu, tiba-tiba aku ingat tiga pesan Jibril kepada Kanjeng Nabi. Sebuah ingatan yang membuatku mampu meredam dan mengelola rasa kecewa atas sikapmu.
Pesan Jibril pada Kanjeng Nabi yang pertama: Hiduplah sesukamu, karena sesungguhnya kau akan mati.
Pesan Jibril pada Kenjeng Nabi yang kedua: Cintailah siapa yang kau suka, sesungguhnya kau akan berpisah dengannya.
Dan pesan Jibril pada Kenjeng Nabi yang ketiga: Berbuatlah sesukamu, sesungguhnya kau akan diberi balasan karenanya.
Pesan pertama dan kedua, mungkin untuk diriku dan dirimu. Tapi pesan yang ketiga, meski sesungguhnya aku tak ingin mengatakannya, itu jelas untuk dirimu beserta obsesi dan fantasimu.
Dalam kondisi terluka dan kecewa, amat wajar jika aku mengatakan bahwa karma dan pembalasan ada di tiap agama dan keyakinan. Bahkan bagiku, jangankan karma, reinkarnasi pun (kadang) aku percaya.
Joko Kuncoro atau Jokun adalah mahasiswa dan aktivis progresif, pernah disengat luka karena cinta, tapi baik-baik saja.