Kementerian Pariwisata Republik Indonesia saat ini berfokus untuk mengembangkan wisata khusus, yakni geopark. Dikutip dari laman resmi Kementerian Pariwisata, geopark adalah wilayah geografi yang memiliki warisan geologi dan keanekaragaman geologi yang bernilai tinggi. Termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati dan keragaman budaya yang menyatu di dalamnya.
Sedangkan menurut UNESCO Global Geopark, Geopark merupakan kawasan geografis menyatu yang memiliki warisan keragaman geologi (geodiversity), keragaman hayati (biodiversity), dan keragaman budaya (cultural diversity) tertentu, yang dikelola secara terpadu untuk perlindungan, pendidikan dan pengembangan berkelanjutan.
Terdapat keseriusan Presiden yang diimplementasikan oleh kementerian dan dinas pelaksana untuk mengembangkan kawasan geopark. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2019 yang ditetapkan bulan Februari. Perpres tersebut membahas mengenai percepatan pengembangan geopark. Tidak hanya berfokus pada eksploitasi lokasi wisata. Perpres ini juga berfokus untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat.
Mulai tahun 2016, terdapat dua lokasi taman bumi yang telah diakui oleh UNESCO, yakni Batur dan Gunung Sewu. Kedua lokasi tersebut mendapat predikat taman bumi global UNESCO (UNESCO Global Geopark).
Kemudian pada April 2018, ada dua taman bumi Indonesia yang juga predikat UNESCO Global Geopark, yaitu Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Ciletuh di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Deretan lokasi tersebut menjadi empat dari total enam UNESCO Global Geopark yang ada di Asia Tenggara.
Selain lokasi geopark yang telah diakui UNESCO, Indonesia juga memiliki 8 kawasan Geopark Nasional, serta terdapat lebih kurang 80 kawasan yang menjadi kandidat Geopark Nasional pada 2025.
Dari 8 kawasan Geopark Nasional tersebut, salah satunya juga terdapat di Bojonegoro, yaitu Geopark Nasional Hamparan Minyak Bumi. Geopark Nasional ini merupakan serangkaian fenomena minyak bumi yang terdapat di beberapa lokasi di Bojonegoro.
Termasuk diantaranya adalah Kayangan Api yang menunjukkan kekayaan gas alam. Serta bintang utamanya yaitu pengeboran minyak tradisional yang sudah ada sejak jaman Belanda hingga saat ini, yaitu Teksas Wonocolo.
Demi melakukan persiapan dan percepatan Geopark Nasional menjadi UNESCO Global Geopark, Kementerian Pariwisata melakukan diskusi lintas sektoral. Pada 22 – 23 Februari 2019 yang lalu, Kemenpar menghelat diskusi Penyusunan Pedoman Jalur Geowisata. Agenda pemaparan dan diskusi ini diadakan di Griya Dharma Kusuma Bojonegoro.
Ada 10 dinas terkait yang diundang dalam diskusi ini. Diantaranya adalah Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, PU Cipta Karya, PU Bina Karya, Bidang SDA, Dinas Koperasi UMKM, Dispnerinaker, Bagian Hukum, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, dan BAPPEDA.
Disbudpar yang diwakili oleh Kepala Bidang Pengembangan Kelembagaan dan SDM, Enggarini Mukti menyatakan bahwa harapannya pertemuan lintas bidang ini dapat menjadi wadah diskusi yang menghasilkan cetak biru pengembangan geopark.
“Diharapkan diskusi ini dapat menghasilkan data analisis kebutuhan masing-masing dinas dan pelaksana. Dari data tersebut, nantinya akan dituangkan menjadi program yang bisa dilaksanakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)”, terang Enggarini.
Agenda diskusi ini juga dihadiri oleh penggerak wisata dari masyarakat. Yakni Teksas Tour Management (TTM) yang merupakan kelompok pegiat wisata di Wonocolo, Kecamatan Kedewan. Ketua TTM, Budi Wibowo menyatakan bahwa diskusi lintas sektoral ini sangat penting. Terutama jika dinaungi langsung oleh Kementerian Pariwisata yang getol memperbaiki sistem kelola geopark.
“Saya sudah mempersiapkan data dari lapangan. Baik itu jumlah kunjungan, progress di lapangan hingga saat ini, serta kendala yang ada di lapangan,” ungkap Budi.
Dalam kesempatan yang sama, Budi juga menyampaikan terdapat tiga kendala yang belum mencapai tahap resolusi. Diantaranya adalah akses jalan menuju lokasi wisata, serta listrik dan air di lokasi.
“Selama ini, listrik di Teksas Wonocolo masih memanfaatkan solar cell. Sedangkan air di lokasi kita masih harus membeli dari penyedia. Kebutuhan listrik dan air ini menjadi beban operasional yang tidak sedikit,” tambah Budi.
Momentum diskusi ini menjadi kesempatan baik bagi pengelola geopark untuk menyampaikan kondisi di lapangan. Harapannya, percepatan pengembangan geopark tidak hanya mencakup strategi top down, namun juga bottom up.