Tak sia-sia Tuhan ciptakan narwastu mimpi di laut imaji. Dibiarkan hujan turun ke lautnya. Menguap jadi embun ke paginya.
“Ada apa dengan perasaan yang tak pernah sesal memilih setia memilih rindu dan matamu,” sajak Aldi sambil menatap pintu jendela kamar rumahnya jelas terlihat lelaki berjenggot dan berambut gondrong pirang itu.
Ia memang kerap kali temani Aldi tiap hari tiap malam. Ia pun pernah memberi secuil arahan bahwa setiap perasaan cinta mesti harus diceritakan pada teman curhatnya paling tidak satu minggu dua kali.
“Dulu dan sangat dulu. Wajah itu bagaikan memori yang tak habis usia digilis waktu.” Ucap Aldi suatu malam tepat seminggu setelah lelaki itu menjelaskan dan menceritakan cerita ini kepadaku. Lelaki yang berjenggot dan berambut gondrong pirang itu secara kebetulan masih sepupu dengan penulis cerita ini. Ia sendiri kerap bercerita apa pun alasan risikonya.
Walau rencana merencanakan sebuah hitungan perencanaan, baginya bukan alasan, melainkan rahasia di tangan Tuhan. Ingatan dan khayalan biasa tumbuh menyeruak-sayu menyihir ruang-ruang temu. Itulah makna cinta yang pernah perempuan itu rahasiakan beberapa tahun silam. Perempuan bermata hujan yang menghilang lalu datang.
Ini hari pertemuan Aldi dengan perempuan bermata hujan. Berkabar tentang rindu yang belum reda di teras rumahnya. Petir dan kabut ikutan tandang menerawang pura puri bayang. Terkabar alis mata perempuan itu berbarengan dengan suara-suara hati dari teman terdekat Aldi. Kalau perempuan itu telah lulus dari bangku kuliahnya sekitar satu bulan yang lalu.
Kesenangan dan harapan Aldi lalu-lalang bak cerita Adam-Hawa. Kadang bersambung kadang berulang kadang-kadang berakhir sayang. Seperti secarik cerita yang ditulis teman dekatnya Senin lalu.
Kelanjutan ceritanya begini, hari pertama Aldi berjalan ke persimpangan pasar Gapura sebelah diskotik Murni Jaya. Dengan membawa sepeda motor hitam hasil meminjam sama Murabi, temannya.
Walau ban motornya kini kempes tersebab tertusuk paku di jalan. Terpaksa, Aldi memperbaikinya pada tukang bengkel agar laju kencang sepeda bisa sampai ke pasar Gapura. Berjalan sedikit pincang hujan melanda tanah Gapura. Ia terus berjalan menyusuri lorong asmara. Walau perjalanan itu memakan banyak perasaan rindu. Bagi Aldi tak masalah, yang penting hati senang.
Rada kabut detik gerimis melanda hati setengah puisi. Suara knalpot tidar menyambar seperti petir sesaat hujan. Mobil merah-kuning melaju dari arah timur ke barat. Di pasar ramai sekali.
Seperti biasa di pasar itu banyak pedangang yang berjualan aneka macam perlengkapan, baik perlengkapan rumah tangga, maupun perlengkapan bangunan rumah. Namun tidak untuk alat membangun citra rumah tangga.
Hujan tengah reda. Sejenak Aldi melangkah menuju kerumunan penjual kaset. Tangan kiri dan kanannya ditaruh di sisi kantong celana. Seperti biasa Aldi sering memakai sepatu bila berjalan ke sana-situ. Berpenampilan glamour eksotis gaya ala artis Korea. Alih-alih mata Aldi menoleh ka kanan dan ke kiri. Entah!
Suatu saat akan ada hujan cerita paling gerimis. Pikirnya ketika Aldi diam berada di ubun pasar. Dekat pintu paling depan itu tubuh Aldi menarik napas dalam-dalam.
Pikirnya seolah melayang terbang setengah tak sadarkan diri kalau-kalau di pasar itu ada perempuan yang dicintainya menaruh segelintir perjumpaan gerimis yang belum hilang dari ingatan.
Semalam, perempuan itu sempat berjanji ingin pergi ke pasar itu. Ditambah dengan kepastian Aldi yang sempat mengajak ia berjalan. Mereka samasama berjalan ingin berjumpa menuntaskan derasnya retorika.
“Treeeeng!!!”
Dengan pandangan mata berbinar-binar menoreh ke kanan dan ke kiri. Sehabis bertemu bertukar senyum Aldi kini segera pulang dengan membawa kabar cinta.
***
Perempuan itu bernama Arifah, yang kerap kali Aldi sebut sebagai perempuan bermata hujan. Tubuhnya yang cantik merona tak merubah hiasan kisah. Matanya seputih bola mata waktu jatuh membasahi peristiwa.
Pelan-pelan Aldi berkata, “bibinya adalah rinai dari gumpalan kasih sayang. Lelaki mana yang tak setia melihat ia senyum tertawa,” duduk berpuisi di kamarnya kala hujan turun bertandang. Seakan hujan di luar rumah diibaratkan senyum Arifah.
Ini bulan ke-dua dari perkenalan temanku Aldi dengan perempuan hujan itu. Bulan ini adalah jarak yang ditunggu-tunggu seorang Aldi; melamar Arifah di musim hujan, dan segera menikahinya merupakan tujuan paling doa.
Malam bertabur bintang-bintang kejora di kebun waktu. Begitu pun dengan bulan menyampaikan kedip dan sinarnya lewat senandung gita Ramadan. Malam itu Ramadan hampir segera tiba di depan mata. Kira-kira min tujuh hari dari hari sebelum Ramadan Sabtu kini.
Seminggu yang lalu Aldi gelisah duduk di sana diam di situ. Seakan-akan ia alibi setengah mati. Seolah ia tak bisa hidup tanpa hujan dan gerimis. Matanya lebam mengenang kabun halimun di ubun langit.
Ibaratnya ia berpindah dari tempat ke tempat lain. Dari ingatan ke khayalan dari rayuan ke puisi dari api ke asmara. Apakah yang terjadi ketika Aldi mendengar kabar tentang lamaran-lamaran itu.
Sementara ia masih tak tahu tentang kabar yang sebenarnya. Kali waktu ia sering melamun diri di teras rumah. Memegang bunga perhiasan yang digantung di pinggir teras. Aldi merasa tak sempat mengira dirinya pantas sayang Arifah. Tapi ia tetap bersikeras ingin menimang tubuh Arifah. Apapun yang terjadi tak takut hujan dan petirnya.
Ceritanya memang begitu. Semenjak mengenal waktu Aldi sangat suka hujan. Bila hujan mendadak turun ia bangga dan tertawa. Kadang kala ia hidupkan motor bapaknya ke lorong tujuan kesenangan.
Kadang sekali ia kabur lari-larian, ibarat masa kecil yang kurang bahagia saja, pikirku. Seperti hujan yang tengah turun di perbatasan bulan Ramadan. Bertemu dengan hujan serta tidur di pangkuan. Itulah kesenangan, ucap Aldi kali waktu.
Bagi Aldi, meski di luar ada hujan serta di kamar ada korban. Tak apa ia berkorban berduaan dengan khayalan, tawanya setengah gila tercicik airmata jatuh ke tanah.
Aldi menceritakan kepada temannya itu untuk kesekian kalinya. Kalau hidup butuh cerita serta cinta butuh dia. Dia yang selalu hujan di musimku, katanya penuh ceria. Pas ketika temannya memberi kabar tentang cintanya pada perempuan. Tak sia-sia Tuhan ciptakan narwastu mimpi di laut imaji. Dibiarkan hujan turun ke lautnya. Menguap jadi embun ke paginya. Itulah yang Aldi inginkan bisa bersama dengan wanita pujaannya.
Kabar ini tengah terkenal dan pesat tersiar seketika, baik di kampung desa maupun teman-teman pondoknya. Kabut datang bersama malam. Aldi dan Arifah tengah resmi bertunangan pasca hujan tandang menyerang di rusuk bayang azan Ramadan.
Dalam ceritanya, Arifah memang berdoa demikian ingin sekali punya suami penulis puisi atau atau cerita-cerita fiksi. Katakanlah penyair yang bisa menyulam jahitan kata dan alurnya. Begitu pun dengan sukma hati Aldi; ia ingin mempunyai istri ala lulusan pondok pesantren.
Gumamnya inginkan istri yang sederhana. Kabar berkehendak sesuai masa dan takdir-Nya. Keduanya diterima di mata kedua orang tuanya hingga keduanya pun sama-sama bahagia.
Begitulah cerita singkat yang diceritakan sepupuku Hendri yang merupakan teman dekat Aldi saat ini. Tercatat keindahan waktu di malam sesi pertunangan itu. Orang orang dan tubuh malam di ambang hujan kesekian kali.
Hujan sebagai tanda pertunangan tubuh mereka berdua. Riwayat hujan dan Ramadan berkisah Aldi dan Arifah. Cerita ini dikenal semoga sebelum doa menjadi kita. Sambil lalu melangkahkan kakinya tutup Hendri menceritakan ini di malam kedua bulan Ramadan.
Saiful Bahri kelahiran Sumenep-Madura. Selain menulis, juga aktivis di kajian sastra dan teater “Kosong” Bungduwak, Sumenep.