Terlepas baik buruk sebuah kondisi jalan, melintasinya sebagai ruang perjalanan menjadikan hati amat tenteram.
Kami berangkat dari Bojonegoro usai sholat dhuhur. Deretan hutan jati yang membelah kecamatan Temayang dan Bojonegoro, kami lintasi begitu saja. Tak banyak kata yang kami ucap.
Kami hanya ingin segera sampai ke sebuah alamat: Dukuh Sekidang, Desa Soko, Bojonegoro.
Hutan jati yang lebat, teduh dan teramat panjang memisah Temayang dan Bojonegoro itu, terlalu mudah memantik banyak hal bersahutan di dalam kepala. Sekaligus mengajak mulut untuk sejenak tidak berbicara.
Sebelum kami menuju desa tujuan, kami harus masuk dan melewati beberapa pegunungan yang menjalar di sepanjang jalan. Di setiap tepinya, terdapat jurang yang amat dalam yang banyak bebatuan dan diselimuti pohon rimbun.
Sepintas dalam pikiran, desa itu terlihat dekat tapi memang kenyataan harus melewati pegunungan dan jurang yang curam.
Setelah sampai di mulut Desa Soko, terlihat rumah-rumah kecil penduduk berjejeran seperti di perkotaan. Di belakangnya terdapat sawah luas, dan pegunungan yang menjulang tinggi. Tapi, tujuan kami masih jauh meski sudah masuk ke dalam pedesaan.
Kami menyusuri jalan berpaving yang sudah agak keropos. Lepas dari pusat pedesaan, kau tahu, kami melihat pemandangan yang begitu indah. persawahan masih hijau, sungai bak tempat pemandian sang bidadari, bersih dan asri. Sama sekali belum pernah tereksploitasi.
Seiring berjalan waktu, kami sudah mencapai ujung jalan berpaving dan sempat berhenti, berpikir sebentar agar tak mengurungkan niat menuju rumah kawan kami.
Terlihat, di depan jalan, bebatuan utuh memanjang yang tak pantas dilewati sepeda motor, apalagi berjalan kaki pasti sendal kalian akan terkoyak habis oleh batu-batu tajam itu.
Sungguh, desa indah disertai jalan bebatuan. Kami terpaksa melewati jalan itu, dan cukup membuat isi perut kami terasa berloncat-loncat.
Tanpa banyak kata, kami hanya diam ketika melihat ada tulisan di papan yang tertancap di tepi jalan, bertuliskan, jembatan putus. Kami pun tak mengurungkan niat, dengan melanjutkan perjalanan.
Akhirnya kami melewati jembatan kecil dari kayu yang terkait kawat berkarat. Untung masih sore. Sehingga kami dapat melihat keadaan dan tanda kehidupan di dalamnya. Sebab tak ada satu pun lampu penerang di pinggir jalan desa.
Kawan saya, pria berambut panjang, tampak lelah berkendara. Dia segera melemaskan kedua tangan dan mengambil ponsel untuk menghubungi kawan kami, kalau kami telah sampai di Dukuh Sekidang, Desa Soko.
Kami berdua bersyukur telah sampai dengan selamat, setelah melewati jalan menanjak yang di penuhi bebatuan tajam, ke tempat yang indah lagi menyenangkan.
Joko Kuncoro atau Jokun adalah mahasiswa yang pernah terluka oleh cinta, tapi baik-baik saja.