The history of soccer is a sad voyage, from beauty to duty — Eduardo Galeano, Soccer in Sun and Shadow.
Petikan kalimat dalam buku Soccer in Sun and Shadow itu, secara tak langsung, menggambarkan perjalanan Persibo Bojonegoro. Sebuah klub dari kota kecil yang pernah menoreh catatan positif di kancah nasional hingga internasional.
Tapi sial. Seperti apa yang dikatakan Chairil Anwar: nasib adalah kesunyian masing-masing. Persibo yang seharusnya menjadi klub papan atas, terseok di kubangan nasib yang tak pernah jelas.
Tapi, serupa apa yang diungkapkan Eduardo Galeano, sejarah dan perjalanan sepakbola memang kerap menyedihkan. Untuk mempertahankan keindahannya, bukan tugas yang mudah.
Pasca menerima hukuman kejam selama hampir 5 tahun, perlahan, Persibo kembali merangkak mengikuti kompetisi resmi. Terhitung sejak 2017, Persibo kembali berkiprah di liga amatir PSSI.
Persibo yang terhukum tanpa pernah mengetahui kesalahannya itu, sejak 2017, kembali mengikuti kompetisi resmi. Sebuah kompetisi dengan hirearki liga yang tak pernah terpikirkan oleh para suporter Persibo.
Pada 2017, Persibo gagal promosi ke Liga 2 setelah kalah di fase final melawan Blitar United — sebuah malam kelam yang tak akan pernah terlupakan bagi para suporter Persibo.
Pada 2018, Persibo juga kembali gagal promosi ke Liga 2. Ia gagal entah di fase apa. Yang jelas, bukan final layaknya tahun sebelumnya, 2017.
Kini, pada 2019, Persibo bersiap kembali mengikuti kompetisi liga. Barangkali, Persibo bisa berhasil promosi ke liga 2. Atau barangkali, Persibo memang ditakdirkan selalu eksis di Liga 3 belaka.
Tak ada yang tahu. Sebab, sepakbola tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Bukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Kebenaran dan kesalahan, dalam sepakbola, nisbi berorientasi perspektif.
Kamu, saya, dan semua pendukung Persibo, berada dalam sebuah kondisi yang diistilahkan oleh Ariel Haryanto sebagai: diselingi nostalgia kejayaan masa lalu dan bayang ketidakpastian akan masa depan.
Tak ada yang tahu nasib Persibo tahun ini. Semuanya serba buram. Kita mirip kesunyian seorang kiper. Berdiri sendiri di ujung lapangan dan berkawan sepasang tiang bisu. Tapi, kecemasan dan kekhawatiran tetap membuat kaki kita tegak berdiri.
Kembali Mengawali Liga 3 2019
Bermain di laga pembuka, Persibo akan bertandang ke markas PSM Madiun besok (26/7/2019). Tentu, ini laga yang berat. Selain bermain tandang, PSM adalah klub tua legendaris yang usianya lebih tua dari Persibo.
Sama seperti Persibo. PSM adalah klub yang telah lama tertidur dan kini sedang merangkak membangun eksistensi. Tak hanya adu strategi, perang wibawa pun bakal terjadi.
Pada laga perdana ini, Persibo hadir bukan tanpa persiapan. Pada akhir Juni hingga pertengahan Juli, Persibo menggelar laga uji coba. Dari 4 laga, Persibo hanya kalah sekali.
Melawan FBI Jatim, Persibo menang (9-0), melawan Brondong Lamongan, Persibo menang (4-0), melawan timnas U-19, Persibo kalah (2-1), dan melawan Arema Malang United, Persibo menang (4-1).
Dengan riwayat uji coba yang teramat memukau tersebut, sudah seharusnya Persibo mampu meraih hasil positif pada laga perdana melawan PSM Madiun, meski harus bermain tandang.
CEO Persibo, Abdulloh Umar saat dikonfirmasi mengatakan, laga perdana melawan PSM Madiun menjadi laga krusial. Karena itu, kemenangan adalah harga mati. Sebab, start awal sangat menentukan kemampuan Persibo ke depan.
“Karena itu, harus didukung semua pihak. Dan harus menang,” kata Umar.
Apa yang dikatakan Umar, tentu serupa apa yang dikatakan para pendukung Persibo. Semua ingin Persibo menang. Semua ingin Persibo kembali ke jalur yang seharusnya. Yakni kompetisi liga profesional.
Memori kolektif masyarakat Bojonegoro mengingat bahwa Persibo adalah klub papan atas. Klub yang melahirkan sejumlah pemain timnas. Bukan klub ecek-ecek. Bukan klub yang bermain di liga amatir.
Persibo, semoga tahun ini kamu bisa naik kelas ke Liga Profesional lagi.