Di tiap zaman, selalu hadir sa’adah alawiyin (habaib ) yang jadi “pilar suwuk” dan “paku bumi” di belakang tegaknya Indonesia dan kokohnya konsep Pancasila.
Jalan Pengangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, pada pagi 17 Agustus 1945, bisa aman tanpa gangguan, tentu barokah suwuk doa para ulama dan sejumlah habaib ahlul wilayah yang berada di Jakarta kala itu.
Sebab, andai tak disuwuk dan didoakan para ulama, Indonesia beserta proklamasi kemerdekaannya mungkin tak akan pernah ada.
Ini tentu bukan tanpa alasan. Beberapa bulan sebelum proklamasi kemerdekaan, Soekarno merasa cemas dan agak ketakutan. Sebab, Jepang dan Belanda masih punya taring untuk menggagalkan rencana kemerdekaan Bangsa Indonesia yang akan ia dan kawan-kawannya agendakan. Hal ini membuat Soekarno harus punya jalan lain, selain sekadar konsolidasi lahiriah.
Tapi berkat M Husni Thamrin (1894-1941), tokoh pergerakan Betawi sekaligus kawan baiknya, presiden pertama RI itu dianjurkan untuk sowan pada Habib Ali Kwitang Jakarta, untuk disuwuk agar mendapat keberanian sekaligus ketenangan batin.
Dalam tradisi Islam Aswaja, suwuk (doa) merupakan perkara penting yang jadi penyeimbang upaya manusia dalam mencapai tujuan, agar tak nggeblak di tengah jalan.
Ini juga alasan utama di balik kredo: dalam menjalani hidup, santri harus bisa nyuwuk (batiniah) dan bisa nggepuk (lahiriyah).
Hal itu pula yang direkomendasikan MH Thamrin pada Soekarno. Tak hanya sowan, pada pertengahan 1945 itu, Bung Karno nyantri di bawah asuhan Habib Ali Kwitang selama 4 bulan. Selain mendapat barokah suwuk, ia juga ngaji sekaligus berlindung dari ancaman Belanda dan Jepang, agar memiliki keberanian untuk membaca teks proklamasi.
Soekarno akhirnya menemui kemantapan hati. Bahkan, Soekarno kian percaya diri karena ada sederet habaib dan ulama waliyyun minauliyaillah yang berdiri di belakangnya, sebagai “pilar suwuk” yang ikut pasang kuda-kuda agar Indonesia berdiri tegak dan merdeka.
Di era modern, ada dua habaib paling sepuh di Jakarta, yang sangat mencintai Indonesia. Mereka adalah Habib Husein bin Abubakar Alaydrus atau Habib Luar Batang (c.1716-1756) dan Habib Utsman bin Yahya atau Mufti Betawi (1822-1913). Mereka berdua adalah ulama waliyyun minauliyaillah yang menjadi paku bumi sekaligus pilar suwuk di Jakarta.
Ini belum para habaib di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang juga masyhur banyaknya. Jika diurut dengan periodisasi, ada sejumlah habaib yang memang berada di belakang Pancasila, sebagai pilar penyangga di Jakarta.
Pilar Suwuk Generasi Pertama
Pada masa awal pendirian Indonesia, ada sejumlah nama habaib khowas yang secara intensif mengawal dan mendampingi kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Mereka adalah penerus dari Habib Luar Batang dan Mufti Betawi. Mereka dikenal sebagai Triumvirat Waliyullah Jakarta.
Diantaranya; Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsy atau Habib Ali Kwitang (1870-1968), Habib Ali bin Husein Al Athos atau Habib Ali Bungur (1889-1976), dan Habib Salim bin Djindan (1906-1969). Yang mana, Pancasila bisa aman di Jakarta, barokah suwuk doa beliau semua.
Mereka dikenal sebagai Triumvirat Waliyullah Jakarta yang menjadi punjer bagi sanad keilmuan semua ulama Aswaja Jakarta, pada masa itu. Selain memiliki jalur sanad yang jelas, jalur nasab mereka juga sangat jelas hingga Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Semua ulama Aswaja Jakarta, tak ada yang tak bersanad ilmu pada mereka. Jika tidak gurunya, pasti guru dari guru-gurunya. Karenanya, jika saat ini ada habaib atau ulama atau ustaz atau agamawan atau motivator agama di Jakarta yang kerap mengganggu stabilitas Indonesia, kita semua boleh meragukan sanad keilmuan mereka.
Pilar Suwuk Generasi Kedua
Pasca era pertama, Pancasila masih dijaga dan dikawal para habaib yang merupakan penerus generasi pertama. Yang paling terkenal, tentu saja Habib Muhammad bin Habib Ali Kwitang (1913-1993) dan Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih Malang (1935-1993).
Keduanya adalah dua habaib, dari sisi barat dan timur, yang punya pengaruh besar terhadap stabilitas Indonesia. Hampir semua habaib (pada zamannya) bersanad ilmu pada beliau berdua. Keduanya sosok besar dibalik konsep hubbul wathan minal iman di kalangan para Habaib Indonesia.
Habib Muhammad Kwitang (putra Habib Ali Kwitang) dan Habib Abdullah Bilfaqih punya peran besar terhadap Indonesia. Beliau berdua memiliki andil besar terhadap sistem perundang-undangan negara. Yakni, jadi tenaga ahli Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4), dengan tugas mencari dalil Qur’an dan Hadis untuk 5 sila pada Pancasila sebagai dasar negara.
Sementara Habib Abdullah Bilfaqih (putra Habib Abdul Qodir Bilfaqih), merupakan ulama nan waliyullah yang melahirkan istilah “Jadilah seorang pancasilais yang muslim, dan muslim yang pancasilais.” Istilah itu terdapat dalam esai beliau berjudul “Mengapa Umat Islam Menerima Pancasila?” yang dimuat di surat kabar era 1970-an.
Beliau juga pernah ditunjuk sebagai penasehat ahli Menkokesra, membina beberapa majelis di departemen pemerintahan, sekaligus ikut membina kajian “Moral dan Spiritual Umat” di kalangan sipil maupun TNI.
Habib Muhammad Kwitang dan Habib Abdullah Bilfaqih adalah dua ulama habaib yang menjadi punjer sanad keilmuan semua habaib di Indonesia pada zamannya. Hampir semua habaib bersanad ilmu pada beliau berdua. Karenanya, jika ada habaib atau ulama yang kerap mengganggu stabilitas Indonesia, kita semua boleh meragukan sanad keilmuan mereka.
Pilar Suwuk Generasi Berikutnya
Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan (lahir 1947), Habib Ahmad Assegaf Pasuruan (lahir 1955), adalah diantara sejumlah habaib punjer yang jadi paku bumi Indonesia saat ini.
Beliau-beliau inilah sosok besar dibalik nasionalisme para habaib Indonesia saat ini. Daftar ini tentu bisa sangat panjang kalau diteruskan. Kita bisa meneruskannya sendiri.
Tapi, yang pasti, mayoritas habaib yang benar-benar ulama dan waliyyun minauliyaillah, sangat melindungi dan menjaga Indonesia.
Karenanya, jika ada habaib atau ulama yang kerap mengganggu stabilitas Indonesia, kita semua boleh meragukan sanad keilmuan mereka.